Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kusumo sangat istimewa. Ia sangat cantik dan hampir 400 kali menjadi juara pertama lomba tingkat nasional. Ia bisa ngekek hingga enam menit. Satu lagi, ia disebut bisa meniru suara lain yang didengarnya. Burung lovebird milik Sigit Marwanta, asal Klaten, Jawa Tengah, itu pernah ditawar seharga Rp 2,2 miliar. Tapi ia tidak melepasnya. Sayang, takdir berkata lain. Pada 19 November 2018, burung kesayangannya itu dipanggil Yang Maha Kuasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Burung-burung yang menjadi jawara lomba memang kerap menjadi incaran orang lain untuk dibeli. Semakin sering memenangi lomba, nilai tawaran akan semakin tinggi. Dan kini terus saja bermunculan burung-burung yang berhasil memenangi banyak kontes. Salah satunya adalah Yakin, milik Rohili, 28 tahun. Yakin sudah memenangi ratusan kontes di berbagai tingkatan, termasuk menjadi juara kedua di Piala Presiden tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak itu, popularitasnya semakin menanjak dan tawaran harganya juga semakin tinggi. Yakin pernah ditawar orang seharga Rp 500 juta, namun tawaran ini tak membuatnya tergiur. Si pemilik hanya akan melepas burungnya jika mendapat tawaran di atas Rp 500 juta.
Aneka jenis burung lovebird di Jakarta Timur, 22 September 2018. Burung yang berasal dari Afrika ini menjadi primadona di kalangan pencinta hewan ini karena memiliki warna yang bagus dan suara yang indah. Tempo/Fakhri Hermansyah
Ade Sulistio, 34 tahun, adalah pemilik lovebird bernama Jalal, yang sudah lebih dari 300 kali memenangi lomba di berbagai tingkat, termasuk tingkat nasional. Jalal, dengan kicauan merdunya, pernah ditawar Rp 750 juta.
Ade mengatakan ada dua alasan ia rajin mengikutkan lovebird peliharaannya dalam kontes. Pertama, ia ingin bersilaturahmi dengan para pencinta lovebird lain yang berasal dari berbagai kota di Indonesia. Ia menjelaskan, bertukar pengalaman dengan sesama pencinta lovebird dapat dengan mudah dilakukan di kontes karena orang yang berkumpul sangat banyak.
Alasan kedua, menurut Ade, agar ia mengetahui apakah cara perawatan yang dilakukannya sudah benar. Bagi dia, pembuktiannya hanya bisa dilakukan di lapangan kontes. "Ini menguji keterampilan kami dalam merawat burung. Ujiannya di lapangan." Selain itu, ia mengungkapkan, sejak awal memelihara burung pada 2011, ia memang ingin mengikutkannya dalam kontes.
IRSYAN HASYIM | DIKO OKTARA | KORAN TEMPO