Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Awal tahun baru adalah momen yang tepat untuk melakukan refleksi diri terhadap apa-apa yang pernah Anda lakukan dan apa saja yang hendak Anda lakukan ke depan. Tujuan utama dan yang paling tinggi adalah mencapai kebahagiaan hidup (eudaimonia).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setiap diri manusia memiliki cara pandang tersendiri dalam memaknai kebahagiaan. Ada yang berhasil tercapai dan ada juga yang luput dengan pemaknaannya itu. Bagi yang belum tercapai, barangkali bukan karena usaha Anda yang salah atau kurang dalam menggapai kebahagiaan hidup. Namun, letak kesalahannya justru terjadi pada bagaimana Anda memaknai arti kebahagiaan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak ada salahnya, Anda melakukan refleksi dan kemudian membuat resolusi hidup bahagia di tahun baru 2022 ini. Dalam hal ini, penting dan perlu untuk merefleksikan pandangan hidup bahagia menurut Stoicisme atau filsafat Stoa. Seperti diketahui, filsafat Stoa adalah salah satu aliran filsafat klasik yang memiliki pengaruh besar hingga saat ini.
Dilansir dari buku berjudul “Di Mana Letak Kebahagiaan?” (2014), Stoicisme mengatakan bahwa suatu kebodohan jika seseorang menempatkan kenikmatan, kepuasan, kesenangan, dan kesuksesan sebagai pilihan utama di dalam hidup. Orang-orang pada umumnya berpikir bahwa hal itu semuanya adalah kebahagiaan. Namun, bagi Stoicisme, hal ini hanya datang dari luar yang bersifat sementara.
Secara tegas Stoicisme mengatakan, kebahagiaan adalah menjalani hidup menurut kebajikan yang tidak lain adalah hidup sesuai dengan kodrat manusia. Cicero menambahkan kebajikan lain, bahwa hidup dengan pantas dan jujur adalah suatu kebahagiaan. Karena itu hendaknya orang menginginkannya di dalam hidup ini.
Lebih lanjut, jika hidup manusia di jalan kodratnya, maka ia tidak membutuhkan lagi intervensi peraturan dan undang-undang. Sebab, kebajikan bukanlah berupa peraturan, pun bukan berupa teori tentang kebajikan dan keadilan, melainkan suatu bentuk perpanjangan kodrat yang sekaligus menjadi pembentuk kehendak manusia itu.
Stoicisme lalu merumuskan paling tidak enam kebajikan yang berfungsi untuk membentuk etika yang baik bagi hidup manusia. Di antaranya pendidikan, keadilan, moderat, konsistensi, discernment, dan kebaikan.
Dikutip dari Clemen dan Alexandria dalam bukunya yang berjudul “Quod deteris Poriori”, prinsip baik tertinggi menurut Stoicisme adalah hidup berdasarkan kodrat dan kebajikan yang berdasarkan pada kodrat tersebut. Artinya, tidak ada kebahagiaan di luar itu. Kebahagiaan, seperti misalnya dalam rupa keindahan tubuh, kecantikan, kesuksesan bukanlah kebahagiaan dan keindahan sesungguhnya, karena sifatnya hanyalah sementara.
Akan tetapi, kebahagiaan bagi Stoicisme adalah yang tidak berakhir. Kebahagiaan yang seperti itu hanya bisa ditemukan ketika menjalani hidup menurut kodrat manusia. Clemen dari Alexandria mensintesiskan dengan berkata, “Dogma para filsuf Stoicisme adalah hidup menurut kodrat.”
HARIS SETYAWAN