Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Sebab Remaja Lebih Senang Membahas Seks dengan Teman Sebaya

Remaja lebiih senang membahas soal seks dengan teman sebaya dibanding dengan orang tua. Ada yang salah dengan pendidikan seks?

23 November 2019 | 11.25 WIB

Ilustrasi pasangan remaja. Gettyimages
Perbesar
Ilustrasi pasangan remaja. Gettyimages

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah survei oleh Reckitt – Benckiser (RB) Indonesia, baru-baru ini mengadakan sebuah survei online yang melibatkan JAKPAT (Jajak Pendapat) di lima kota besar yakni Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya dan Yogyakarta dengan mengambil total 1.500 responden, mencakup berbagai macam status sosial, berjenis kelamin seimbang antara pria dan wanita. Respondennya dibedakan menjadi tiga kategori, yakni remaja hingga dewasa usia 16-25 tahun, orangtua usia 30-50 tahun, dan pasangan yang baru menikah pada usia 20-30 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Dari survei ini ditemukan 84 persen kelompok remaja mengakui mengalami masa pubertas pertama kali di usia 12 hingga 17 tahun, namun pendidikan seksual baru diperkenalkan pada usia 14 hingga 18 tahun. Sayangnya, topik mengenai pendidikan seks dan kesehatan reproduksi ini kebanyakan tidak dibicarakan remaja dengan orang tua karena persentase terbesar menunjukkan remaja lebih senang berbicara mengenai topik tersebut dengan teman sebaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Sebanyak 33 persen dari remaja ini pun mengaku mereka mendapatkan sumber yang kredibel dari praktisi kesehatan atau dokter dibandingkan dari orang tua sendiri. Sebanyak 61 persen di antaranya mengakui mereka takut dihakimi oleh orang tua jika bertanya tentang hal yang berhubungan dengan topik yang dianggap sensitif tersebut.

“Sementara anaknya tidak mau membicarakan mengenai topik seks, takut dihakimi orang tuanya, orang tua pun galau, 59 persen mengatakan tabu untuk berdiskusi dengan anak mengenai kesehatan reproduksi, sedangkan 63 persen khawatir kalau memberitahu seolah-olah orang tua memperbolehkan hubungan seksual pranikah. Inilah problem kita. Ini wajah bagaimana edukasi seksual di Indonesia,” ujar dr. Helena Rahayu Wonoadi, Direktur CSR Reckitt Benckiser Indonesia.

Secara umum, 76 persen orang tua setuju mereka kekurangan referensi yang baik untuk mengajarkan tentang pendidikan seks bagi anak-anak. Bahkan, 65 persen dari orang tua mengatakan mereka hanya menggunakan pengalaman sendiri sebagai informasi dalam mendidik anak. Padahal, pengalamanan pribadi mungkin bersifat dinamis dan tidak relevan.

“Orang tua juga kalau misalkan membicarakan seksualitas dengan anak, tentunya harus membekali diri sendiri, enggak mungkin orang tua enggak tahu tapi mengajarkan anaknya. Kedua, tidak mungkin orang tua yang memiliki jarak dengan anak tapi membicarakan seksualitas, kurang bisa diterima oleh anaknya. Semua orang perlu memfamiliarisasikan dirinya juga dengan konten berbau pendidikan seksual,” ujar Inez Kristanti, psikolog klinis.

Dikatakan, pengetahuan seksual pun sebenarnya sudah seharusnya diajarkan pada anak usia dini, yakni ketika anak diajarkan mengenai organ tubuh, bukan saat anak masuk dalam usia remaja, karena hal ini akan sulit diterima oleh mereka nantinya.

“Pengetahuan seksual mudahnya dimulai sejak dini, bahkan dari usia 1 sampai 2 tahun, saat kita memperkenalkan mata, mulut, hidung, kita sebutkan juga organ seksual dengan cara yang benar, misalkan penis, tidak pakai kata seperti burung atau gajah,” sambung Inez.

Sepakat dengan Inez, dr. Hanny Nilasari, Ketua Umum Kelompok Studi Infeksi Menular Seksual Indonesia (KSIMSI) PERDOSKI, mengungkap pendidikan seks harusnya dilakukan bertahap, tidak dimulai hanya saat anak berusia remaja.

“Orang tua biasanya ragu-ragu dari mana membicarakan pendidikan seksual, seks edukasi itu luas. Bagaimana anak menjaga kesehatan reproduksinya supaya sehat, bertahap bisa dimulai dengan kenapa laki-laki dan perempuan itu berbeda, perbedaannya apa, kenapa harus berbeda, apa tujuan Tuhan menciptakan kita berbeda, itu sesuatu yang harus dikomunikasikan,” ungkapnya.

“Baru nanti saat remaja, seorang anak akan menghadapi haid atau mimpi basah, tentunya nasihatnya juga pada suatu saat alat reproduksi sudah siap. Ini sudah harus dikomunikasikan, sebelum bicara tentang penyakit seks menular,” sambungnya.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus