PANIK mungkin sering muncul saban usai membaca temuan tim medis. Misalnya, telepon seluler mengakibatkan kanker otak, kopi memicu penyakit jantung, dan kebotakan pertanda berisiko terkena serangan jantung. Bahkan tahun 1991, Fakultas Kedokteran Universitas Harvard, AS, menyodorkan hasil risetnya: 60% orang yang tingginya kurang dari 1,7 meter punya risiko sakit jantung. Jika siaran tentang temuan itu ditelan mentah-mentah, memang runyam. Penderita jantung di AS pasti berlipat-lipat, sebab di negara itu ada 35 juta pria berkepala botak. Dengan risiko seperti itu, orang bisa ketakutan. ''Hidup serba hati-hati dan tidak rasional,'' tulis Jane E. Brody di koran International Herald Tribune dua pekan silam. Jadi, dalam menelaah hasil penelitian, pembaca harus cermat. Sebab, dua fenomena yang saling berhubungan belum tentu menimbulkan penyakit. Contohnya, ada yang bilang televisi bisa membuat sakit jantung. Padahal, yang doyan nonton televisi itu jarang berolah raga dan senang ngemil justru bisa berakibat buruk bagi jantung. Pil KB (keluarga berencana) juga pernah dituding menyebabkan kanker rahim. Ini keliru. Wanita yang menelan pil KB lebih bisa terkena kanker rahim daripada pemakai spiral, karena spiral dapat menangkal penularan penyakit kelamin. Tapi itu tak berarti pil KB penyebab kanker rahim. Sedangkan penderita kanker prostat di AS memang tinggi. Mestinya pasien diperiksa latar belakang perilaku seksualnya sebelum dan sesudah vasektomi. Dan rajin ke dokter? Ini lebih rasional ketimbang menuding vasektomi sebagai penyebab kanker prostat. Karena itu, jangan mudah terpana headline berita. Temuan di sebuah universitas terkemuka seperti Harvard pun, tulis Brody, belum tentu valid apabila tidak dipublikasikan dalam jurnal kedokteran. Dan kalaupun sudah dimuat dalam jurnal, pembaca harus teliti siapa tahu temuan itu cuma berbau pesan dari sponsor. Pembaca juga harus pintar menyimpulkan angka. Peningkatan 200% pada kelompok risiko kecil tak ada artinya dibandingkan dengan kenaikan 50% pada kelompok risiko tinggi. Maka, penggunaan hormon pengganti pada wanita menopause yang menyebabkan kanker payudara lebih diperhatikan ketimbang efek rapuh tulang dan penyakit jantung. Spd
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini