Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Serangan di Kala Lemah

Kematian akibat pneumonia yang didapat dari rumah sakit dan lembaga kesehatan masih tinggi. Kenapa?

21 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rachmat, sebut saja begitu, terbaring lemah di ranjang Intensive Care Unit Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Selasa pekan lalu. Di atas dadanya yang telanjang, terlihat beberapa selang, termasuk selang jalan napas (ventilator) yang langsung masuk ke trakea (corong hawa) melalui lubang di lehernya. Pria 39 tahun ini sudah lebih dari sebulan dirawat karena pneumonia alias radang paru.

Awalnya, Rachmat jatuh dan mengalami trauma kepala. Saat ­menjalani perawatan di rumah sakit lain dan harus menggunakan ventilator untuk membantu pernapasan, bakteri menclok. Trauma kepala belum sembuh, kini dia justru mendapat penyakit baru: pneumonia. Rachmat pun dirujuk ke RSCM dan terbaring koma hingga kini.

Rachmat bukan satu-satunya pasien yang tertular penyakit radang paru saat dirawat di rumah sakit. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia memperkirakan infeksi nosokomial (tertular penyakit lain di rumah sakit) pneumonia ini terjadi pada 5-10 kasus per 1.000 pasien. Mereka tertular setelah dirawat 48 jam di rumah sakit, padahal sebelum dirawat pasien tersebut tidak terjangkit pneumonia.

Penularan antara lain terjadi pada pasien yang dipasangi ventilator, atau disebut ventilator-associated pneumonia (VAP). Penelitian yang dilakukan Cleophas Martin Rumende, dokter spesialis penyakit dalam FKUI-RSCM, menyebutkan kejadian VAP di ICU sekitar 10-15 persen.

Ada banyak penyebab penularan itu. Dalam kasus VAP seperti yang terjadi pada Rachmat, penularan terjadi karena ventilator dimasukkan menuju trakea melalui mulut, yang belum tentu bersih dari bakteri. Meski ventilator yang dipakai baru, kemungkinan tertular tetap ada. "Organ yang dilewati selang kan tidak steril, sehingga terbuka kemungkinan pasien terpapar bakteri penyebab pneumonia," kata Rudyanto Sedono, Kepala ICU Departemen Anestesiologi FKUI-RSCM.

Gawatnya, angka kematian akibat VAP ini cukup tinggi. Yang tertinggi adalah yang disebabkan pemasangan ventilator ini. "Angka kematiannya cukup bermakna, yakni 24-50 persen, bahkan pada kondisi tertentu bisa mencapai 76 persen," kata Rumende.

Di bawahnya ada health care associated pneumonia (pneumonia yang berhubungan dengan sistem pelayanan kesehatan, misalnya saat menjalani rawat jalan) dan nosocomial atau hospital ­acquired pneumonia (pneumonia yang didapat di rumah sakit) dengan kematian sebesar 20 persen. Adapun community acquired pneumonia (pneumonia yang tertular di luar rumah sakit/klinik), angka kematiannya hanya 10 persen.

Kalangan dokter paru sepakat, penularan pneumonia di rumah sakit ini kerap terjadi karena sang pasien yang tertular biasanya dalam kondisi lemah, misalnya baru saja menjalani operasi pembedahan. Selain itu, pasien sebelumnya telah mendapat pengobatan antibiotik. Dengan demikian, kuman lebih kebal. "Jika resistensi terjadi, penanganan pasti akan jadi lebih sulit," kata Dianiati, dokter spesialis paru dari Departemen Pulmonologi FKUI Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta.

Untuk mengatasi kuman yang bandel ini, kalangan medis melakukan diagnosis yang lebih terperinci, termasuk dengan pemeriksaan kultur dan roentgen. Dengan pemeriksaan kultur, diharapkan diketahui jenis kuman yang bersarang, hingga antibiotik yang diberikan bisa lebih tepat. Untuk lebih pastinya, pasien juga harus di-roentgen sebelum dan 2-3 hari sesudah pemberian obat. Dari hasil roentgen itu, dokter mengamati gambaran berawan di paru. Jika gambaran awan berkurang atau menghilang, antibiotiknya dinilai cocok.

Periode emas pengobatan pneumonia adalah empat jam setelah diagnosis ditegakkan. Kalau terlambat memberikan pengobatan, "Peluang kesembuhannya jelek dan tingkat kematiannya tinggi," kata Arifin Nawas, Ketua Divisi Infeksi Departemen Pulmonologi FKUI Rumah Sakit Persahabatan.

Dwi Wiyana


Fenomena Pneumonia

Pneumonia adalah infeksi akut yang menyebabkan paru-paru meradang. Kantong-kantong udara dalam paru (alveoli) dipenuhi nanah dan cairan, sehingga kemampuan paru menyerap oksigen menjadi berkurang. Penyebabnya bisa beragam, antara lain bakteri, virus, mikroplasma, dan fungi atau jamur. Pneumonia menyerang semua umur, dari bayi hingga orang tua, termasuk kaum lanjut usia. Gejala yang muncul adalah demam, sesak napas, dan batuk. Secara fisik, dahak pada penderita pneumonia berwarna kuning, hijau atau cokelat/merah tua jika bercampur darah.

Secara umum, angka kematian akibat pneumonia di Eropa 5-50 kasus per 100 ribu penduduk. Adapun di Amerika Serikat, angka kematian akibat infeksi pneumonia mencapai 40.000 hingga 70.000 orang per tahun. Di Indonesia, dalam sejumlah survei kesehatan, pneumonia juga menjadi ancaman karena selalu masuk dalam 10 penyebab kematian.

Bahkan ada yang menyebut penyakit ini merupakan penyebab kematian ketiga setelah jantung (kardiovaskuler) dan TBC (tuberkulosis). "Masih banyak pekerjaan rumah untuk menangani masalah ini," kata Dianiati, dokter spesialis paru dari Departemen Pulmonologi FKUI Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta.

Untuk mengingatkan ancaman pneumonia itulah, saban 12 November warga dunia memperingati World Pneumonia Day. Di Jakarta, Departemen Pulmonologi FKUI Rumah Sakit Persahabatan menggelar simposium bertajuk "How Big the Burden of Pneumonia".

Selain mengancam orang dewasa dan lanjut usia, menurut Profesor Tjandra Yoga Aditama, Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, pneumonia menjadi ancaman bagi anak-anak. Di dunia, penyakit ini merupakan penyebab kematian 1,5 juta (20 persen) anak balita per tahun. Lebih banyak dari gabungan kematian akibat AIDS, malaria, dan campak.

"Setiap 20 detik ada 1 balita yang meninggal di dunia karena pneumonia," kata Tjandra, yang juga dokter spesialis paru, dalam simposium tentang pneumonia itu. Sejauh ini program penanggulangan pneumonia di dunia dinilai berhasil menurunkan 35 persen kematian anak. Khusus ihwal pneumonia di Indonesia, Tjandra menyebut penyakit ini merupakan penyebab kematian 13,2 persen balita dan 12,7 persen kematian pada anak.

Selain pengobatan yang tepat, kunci lain untuk menumpulkan taring pneumonia, ya, vaksinasi. Menurut Dianiati, vaksin pneumococcal perlu bagi mereka yang berisiko tinggi atau memiliki daya tahan tubuh rendah, yakni anak-anak dan kaum lanjut usia. "Vaksin ini belum termasuk yang diwajibkan, tapi sudah ada di pasaran," katanya.

Dwi Wiyana


Kalau terlambat memberikan pengobatan, ”Peluang kesembuhannya jelek dan tingkat kematiannya tinggi.”

Sejumlah etika yang perlu dijaga agar penularan penyakit tak terjadi.

  1. Saat batuk, tutup mulut dan hidung Anda dengan tisu.
  2. Jika tak ada tisu, tutuplah mulut dan hidung dengan tangan dan lengan baju. Menutup mulut dan hidung dengan telapak tangan telanjang bisa menularkan penyakit jika Anda berjabat tangan dengan orang lain dan belum sempat mencuci tangan.
  3. Segera cuci tangan setelah batuk atau bersin dengan air mengalir atau larutan mengandung alkohol.
  4. Membuang tisu sembarang bisa meningkatkan penularan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus