Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masuk ke kantor itu, kami merasa seperti gadis kecil yang terjatuh ke lubang Kelinci Putih dalam kisah Alice in Wonderland. Di novel karangan Lewis Carroll tersebut, Alice menemukan dunia fantasi yang penuh keanehan setelah terperosok ke lubang kelinci. Begitu juga kami, saat "terperosok" di kantor baru Kaskus—situs komunitas online terbesar di Indonesia. Dari lobi di lantai 11, kami memasuki lorong yang berlantai dan berdinding hitam, mirip lubang kelinci di dalam tanah.
Di ujung lorong itu kami menemukan ruangan. Tidak seperti Alice yang memerlukan kunci rahasia guna memasuki ruangan di ujung lubang, kami malah dipersilakan memasukinya. Ya, tentu saja, karena inilah ruang tunggu tamu. Kami seperti berada di lapangan hijau dengan hamparan rumput (yang tentu saja sintetis) dan sejumlah bukit kecil di sudutnya. Di mana pohonnya? Cobalah menengadah, di langit-langit terpasang pohon dalam posisi terbalik, seolah-olah melayang di udara.
Kursi merah, oranye, dan kuning tersebar di sekeliling ruang. Terdapat sebuah panggung kecil tempat meja dan sofa berwarna cerah juga. Tapi tidak seperti di ruang tunggu praktek dokter, di sini kami tak menjumpai majalah lusuh. Lalu, bagaimana tamu membunuh kebosanan saat menunggu tuan rumah? Ambil saja tiga senjata plastik, lalu main perang-perangan ala Rambo. Tak usah sungkan, kita sekarang berada di dunia fantasi.
Kemudian, sekali lagi, kami memasuki lorong. Kali ini bernuansa kayu. "Lorong kayu itu menjadi transisi sebelum ke alam lain, dalam hal ini dunia Kaskus," kata arsitek Raul Renanda, yang mendesain kantor tersebut.
Di ujung lorong terdapat ruang berwarna putih yang nantinya akan menjadi tempat menaruh grafiti atau tanda tangan para Kaskuser—anggota komunitas Kaskus yang saling menyapa dengan sebutan "juragan". Di sini semua orang bebas berekspresi tanpa ada batas. Sebuah kakus putih tergantung terbalik di salah satu dinding sehingga dudukannya menghadap muka orang yang melewatinya. Instalasi ini merupakan sebuah guyonan karena nama komunitas ini mirip dengan kakus.
Dari area putih itu, barulah masuk menuju ruang kerja staf bidang pemasaran, kreatif, dan programmer. Penyusunan meja dan kursinya sederhana. Setiap meja tersambung dengan yang lainnya, sehingga bentuknya seolah-olah melengkung di sisi-sisi ruangan. Warna kayu, abu-abu, dan putih mendominasi ruang kerja. Tidak ada sekat. Hanya kaca tembus pandang yang menjadi partisi antar-ruang—termasuk ruang rapat dan ruang direksi.
Tapi ruang direksi kosong. Ke mana mereka? Tepat di tengah kantor terdapat ruangan kaca seluas sekitar 5 x 5 meter. Di balik kaca tembus pandang itulah kami melihat Direktur Utama Kaskus, Ken Dean Lawadinata, 26 tahun. Apakah dia sedang rapat atau bekerja serius? Tidak.
Ketika kami datang pada pukul dua siang Selasa pekan lalu, dia bersama stafnya sedang bermain boling digital dengan Nintendo Wii. Mereka mengayunkan tongkat pengendali untuk meluncurkan bola di jalurnya. Wusss, bola bergerak dengan cepat. Mata keduanya itu tidak lepas dari layar televisi. Sepuluh pin virtual gugur seketika. Mereka berteriak spontan, "Strike!" sambil tertawa-tawa.
"Suasana kantor memang dibuat homy," kata Ken tentang kantor barunya di lantai 10 dan 11 gedung parkir Menara Palma, Kuningan, Jakarta, itu. Gedung parkir dipilih karena mereka ingin bekerja tanpa aturan waktu layaknya orang kantoran. Di gedung perkantoran, waktu adalah uang. Penyejuk udara (AC sentral) akan dimatikan pengelola begitu jam kantor lewat. Demikian juga dengan listrik. Di gedung parkir, mereka bisa mengaturnya sesuka hati, karena instalasi penyejuk udara dilakukan sendiri.
Suasana kantor yang ceria dan tak kaku diharapkan mampu membuat seluruh staf menikmati pekerjaan. Ujung-ujungnya, produktivitas meningkat. Karena itu, Ken meminta Raul membuat konsep ruang kerja yang cair, tidak kaku, dan tidak simetris. Salah satunya adalah dengan menyediakan ruang bermain tadi. Selain ada Nintendo Wii, di ruang kaca itu tersedia game musik teranyar Guitar Heroes. Karena game itu letaknya tepat di tengah kantor dan transparan, semua karyawan yang serius di depan komputer pasti tergoda untuk ikut bermain.
Di depan pintu ruang bermain itu ada sofa besar berwarna merah. Di sanalah kami menjumpai pendiri Kaskus, Andrew Darwis. Dia duduk bersila di sofa itu sambil memangku komputer jinjing ultratipis keluaran Mac. Lajang berusia 32 tahun ini bekerja tanpa meja dan kursi. "Ruang kerja direksi malah tidak terpakai," ujarnya. Padahal meja kerja direksi sudah dibuat seperti meja pingpong.
Tidak jauh dari Andrew duduk terdapat ruang para programmer. Di sinilah semua rahasia dapur situs Kaskus berada. Dinding kaca yang mengelilingi ruangan itu penuh dengan coretan. Mirip ruang kerja detektif perlente dalam serial CSI. Lima orang bekerja dengan komputernya masing-masing. Mereka sibuk mempersiapkan tampilan baru situs yang akan diluncurkan pada akhir bulan ini. Meski sibuk, mereka bisa keluar dari ruangan itu dan bermain-main di ruang tengah. Kapan pun mereka bisa menjadi Peter Pan, pria yang menolak menjadi dewasa dan ingin terus bermain.
Konsep kantor yang nyeleneh seperti itu bukan karena Andrew dan Ken ingin terlihat aneh. Ini adalah cerminan dari komunitas Kaskus—singkatan dari kasak-kusuk—yang bebas berekspresi, cenderung nyeneleh, dan transparan. Dalam situs itu, pro dan kontra sering terjadi. Setiap orang datang dengan sudut pandang berbeda. Suasana yang tercipta seperti chaos, tapi tetap terorganisasi. Citra seperti ini, menurut Raul, perlu dipertahankan. Tapi, di sisi lain, Kaskus ingin menunjukkan kematangan bisnis. "That’s the beauty of Kaskus," kata Ken.
Sorta Tobing
Kaskus
Situs komunitas ini baru saja berulang tahun yang ke-12 pada 6 November lalu. Awalnya, Kaskus hanya sebuah proyek kecil-kecilan Andrew Darwis bersama dua temannya di Amerika Serikat, Ronald dan Budi. Modal mereka US$ 3 (sekitar Rp 30 ribu pada 1999). Kini Kaskus berkembang dengan jumlah halaman terakses mencapai 15 juta per hari. Posting dari para juragan—sebutan bagi anggota komunitas Kaskus—telah mencapai 416 juta.
Konten "Jual Beli" dan "Lounge" menjadi tempat terfavorit Kaskuser. Setiap hari 80 ribu barang diperjualbelikan dalam situs itu. Setelah menjalin kerja sama dengan anak usaha Grup Djarum, Global Digital Prima, pada awal 2011, memang perusahaan terus berbenah, misalnya menambah server, sumber daya manusia, dan kantor baru. "Kami tidak ada pesta, tapi berfokus pada pengembangan situs," kata Direktur Utama Kaskus, Ken Dean Lawadinata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo