Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Singapura -Makanan memang tak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia di tiap belahan dunia memerlukan makanan untuk beraktivitas dan bertahan hidup, termasuk masyarakat di Singapura yang hidup di tengah kemodernan..
Ternyata survei online pada Mei 2022 menilai literasi gizi orang Singapura menunjukkan bahwa meskipun 76 persen dari 1.000 responden sadar akan diet selama pandemi, hanya 54 persen yang berpikir bahwa mereka makan dengan sehat sepanjang waktu.
Separoh Paham Nutrisi, Separoh Minim Pemahaman
Dilansir dari cnalifestyle.channelnewsasia.com, Direktur pelaksana perusahaan konsultan nutrisi Health Can Be Fun, Fiona Chia, 50 persen warga Singapura memahami dasar-dasar nutrisi, tetapi 50 persen lainnya memiliki pemahaman yang sangat minim tentang kelompok makanan dan fungsinya bagi tubuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara mayoritas orang Singapura mungkin menyadari bahwa apa yang mereka makan sekarang dapat mempengaruhi kesehatan mereka di masa mendatang. Namun menurut survei, mereka tidak mengambil tindakan yang tepat.
Misalnya, 43 persen jarang atau tidak pernah menghindari makanan tinggi kolesterol, sedangkan 34 persen melakukan hal yang sama pada makanan yang tinggi gula atau sodium.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala pemasaran Etiqa, Shirley Tan, memiliki beberapa teori terkait adanya persepsi bahwa makanan yang lebih sehat harus memenuhi kriteria tertentu. Misalnya, makanan sehat harus organik yang mana memiliki harga lebih tinggi.
Abai Efek Jangka Panjang
Selain biaya, kebiasaan makan yang buruk yang telah dibudayakan sejak muda mungkin sulit untuk dihilangkan. Misalnya, makanan cepat saji atau dessert sering dijadikan sebagai hadiah untuk anak-anak.
"Sementara budaya jajanan kami menyediakan makanan yang terjangkau dan lezat. Makanan ini biasanya tinggi garam dan minyak yang tentunya sangat tidak sehat jika dimakan secara teratur”, kata Tan.
Terdapat pula orang yang lebih suka hidup saat ini dan menikmati apa yang ingin mereka makan sekarang daripada memikirkan efek jangka panjang dari kebiasaan makan tersebut, atau sering disebut sebagai sindrom You Only Live Once (YOLO).
Suka Ngemil Keripik dan Kerupuk
Maka tak mengherankan jika hampir semua orang di Singapura suka ngemil. Perbedaannya terletak pada seberapa seringnya. Ternyata menurut survei, satu dari dua orang yang sering mengemil, memakan cemilan tiga kali atau lebih dalam seminggu. Hampir sepertiga atau 28 persen masyarakat ngemil sekali atau dua kali seminggu. Sementara seperlima atau 21 persen melakukannya kurang dari sekali seminggu.
Ilustrasi ngemil keripik. Freepik.com
Tiga jenis makanan ringan yang paling umum dimakan ialah keripik dan kerupuk dengan 59 persen, coklat, kue dan manisan 51 persen, serta kacang-kacangan di 45 persen.
Selain itu diketahui semakin muda responden, semakin tak sehat pilihan camilan mereka. Menurut survei 80 persen dari penduduk yang berusia 18 dan 24 tahun mengakui bahwa mereka mengemil makanan ringan yang tidak sehat, yang memiliki nilai gizi rendah tetapi tinggi lemak, gula, dan kalori dibandingkan 37 persen dari mereka yang berusia 55 tahun ke atas.
Sebab kelompok yang lebih tua mungkin akan menjalani pemeriksaan kesehatan dan menerima beberapa ketakutan akan penyakit yang mungkin dideritanya.
“Mereka yang berusia lanjut juga lebih sadar akan masalah kesehatan kronis. Oleh karena itu umumnya mereka akan lebih sadar kesehatan dan tahu bahwa ngemil berlebihan tidak sehat bagi mereka," lanjutnya.
Selain itu, pencernaan seseorang akan memburuk...
Selain itu, pencernaan seseorang akan memburuk seiring bertambahnya usia, yang membuat sistem pencernaan akan kurang mampu menangani makanan ringan tertentu.
Seiring menuanya usia, pencernaan cenderung melambat karena saluran pencernaan kehilangan elastisitas dan fungsinya. Oleh karena itu, makanan berminyak, gorengan, tinggi sodium, dan tinggi gula dapat menyebabkan masalah seperti kembung, kram, dan masalah saat buang air besar.
Saat berbelanja bahan makanan, hampir setengah dari responden akan membaca label kesehatan atau fakta nutrisi, tetapi 30 persen akan mengabaikan semua informasi tersebut. Ada pula 42 persen yang tidak membaca label kesehatan di antaranya adalah Gen Z atau mereka yang berusia antara 18 dan 24 tahun.
Menariknya, responden yang berusia sekitar 25 hingga 34 tahun sedikit lebih banyak mempelajari kemasan makanan mereka dibandingkan dengan orang yang berusia di atas 45 tahun. Hal ini dapat disebabkan oleh peningkatan peminat kesehatan dan kebugaran pada kelompok ini.
Selain itu survei menemukan bahwa 59 persen warga Singapura bersedia makan makanan kedaluwarsa, terutama kalengan. Sebanyak 34 persen diantaranya dapat melakukannya jika makanan tersebut satu sampai tiga hari melewati tanggal kedaluwarsa. Sedang 14 persen masih akan memakan makanan tersebut jika sudah lewat satu minggu. Dan 11 persen sisanya mungkin makan makanan yang sudah lewat lebih dari seminggu.
Menurut Tan, ada beberapa alasan mengapa warga Singapura tetap mengonsumsi makanan yang sudah melewati tanggal kedaluwarsa.
Pertama, mereka mungkin tidak menyadari implikasi kesehatan dari mengkonsumsi makanan kadaluarsa. Kedua, mereka mungkin menilai berdasarkan pandangan mereka pada penampilan luar kemasan atau kaleng.
Ketiga, konsumen di Singapura mungkin tidak tahu perbedaan antara tanggal 'kedaluwarsa' dengan 'baik digunakan sebelum'. Padahal makanan yang melewati tanggal kedaluwarsa tidak boleh dikonsumsi sama sekali.
ANNISA FIRDAUSI
Baca juga : Eks Menlu Timor Leste: Singapura Jadi Salah Satu Penghambat Masuk ASEAN
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung.