Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Tetap Enak, Gudeg Yu Djum Kini Bergerilya di Jagat Maya

Bahan-bahan yang digunakan Gudeg Yu Djum, tak banyak berubah dan masih mengusung citarasa dominan manis.

26 Februari 2019 | 11.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Gudeg Yu Jum (TEMPO/Pribadi Wicaksono)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Yogyakarta - Nama Gudeg Yu Djum tiba-tiba menjadi pusat perhatian saat perhelatan apresiasi Juara Partner Go-Food yang digelar operator layanan aplikasi Go-Jek di Yogyakarta pekan lalu, Kamis 21 Februari 2019.

Baca juga: Sri Mulyani Dinas ke Yogyakarta, Tak Lupa Mampir Makan Gudeg

Usaha kuliner yang dirintis almarhum Djuwariyah sejak 1951 silam itu turut masuk sebagai penerima penghargaan sebagai Juara Partner Go-Food dengan Pelayanan Driver Terbaik.

Para penerima penghargaan lain dalam ajang itu sebagian besar kuliner kekinian, yang usahanya dibangun kurang dari satu dasawarsa. Oleh generasi yang lebih akrab dan melek dengan apa yang disebut revolusi industry 4.0.

“Saat layanan Go-Food muncul, mulai tahun 2016 kami langsung daftar sehingga pecinta gudeg Yu Djum gampang pesan,”  ujar Badai Permadani, cucu atau generasi ketiga Yu Djum kepada TEMPO.

Badai menuturkan dengan menggabungkan usaha gudeg keluarganya dengan jasa pemesanan online itu, omset usahanya kini meningkat dua sampai tiga kali lipat setiap hari. Rata-rata di satu outlet gudeg Yu Djum melayani 300-400 porsi setiap hari normal. Saat masa liburan, satu outlet dalam sehari bisa melayani lebih dari seribu porsi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani saat melihat dapur gudeg Yu Djum di Yogyakarta. Instagram
Badai yang mengelola dua dari total 15 outlet Yu Djum di Yogya, tepatnya di Jalan Kaliurang dan AM Sangaji  menilai di masa sekarang usaha yang hanya mengandalkan kunjungan langsung ke outlet tidak akan mampu bersaing. Walaupun kuliner itu basisnya tetap produksi tradisional yang menjadi klangenan.

“Toh tak ada yang berubah dari gudeg Yu Djum, semua  memasaknya masih memakai kayu bakar dan memanasinya pakai arang,” ujar Badai.

Proses memasak gudeg itu memakan waktu hampir seharian. Gudeg yang dijual hari ini merupakan gudeg yang di masak kemarin.

Badai menuturkan dalam meneruskan usaha kuliner keluarga yang sudah mendapat kepercayaan masyarakat itu, bagian yang perlu beradaptasi hanya luarnya, bukan proses dapurnya.

Sebab memasak gudeg secara tradisional justru kunci utama menjaga citarasa khas Gudeg Yu Djum selama puluhan tahun berjalan. Urusan produksi pun tak bakal diotak-atik walau semaju apa teknologi di luar sana berkembang.
Gudeg Yu Djum di Jalan Wijilan Yogya. TEMPO/Pribadi Wicaksono
Menjaga proses masak secara tradisional itu, ujar Badai, membuat gudeg Yu Djum sampai sekarang bisa bertahan lama atau sekitar 2 x 24 jam. Selebihnya masa tahan itu, gudeg bisa disimpan ke lemari pendingin lalu esoknya dipanasi lagi dan sim salabim! Gudeg pun bertambah enak.

Bahan-bahan yang digunakan Gudeg Yu Djum, ujar Badai, tak banyak berubah dan masih mengusung citarasa dominan manis.

“Gudeg Yu Djum tetap membuat jenis gudeg kering, bukan gudeg basah, agar bisa tahan lama untuk oleh-oleh,” ujarnya.    

Bahan nangka untuk gudeg yang dipakai Yu Djum masih mendatangkan dari Prembun Kebumen. Sedangkan untuk sambel krecek kulit sapi masih mengandalkan pasokan dari Muntilan. Untuk telurnya masih menggunakan telur bebek dan daging ayam tetap menggunakan ayam kampung.

Saat musim hujan seperti sekarang, Badai mengakui, seringkali mendapatkan bahan nangka yang lembek teksturnya. Hal itu membuat proses memasak gudeg menjadi lebih lama dan boros kayu bakar.

“Tapi bagaimana lagi, kualitas harus selalu dijaga apapun kondisinya,” ujarnya.

Badai menuturkan, saat ini ke -15 outlet gudeg Yu Djum di Yogyakarta dikelola seluruhnya oleh empat anak Yu Djum berikut para mantu serta cucu-cucunya. Setiap outlet rata-rata mempekerjakan 15 karyawan. Tak ada persaingan antar outlet itu satu sama lain karena semuanya masih di bawah bendera yang sama dan keluarga.

Badai menuturkan, gudeg Yu Djum hanya memiliki satu cabang di luar Yogya, yakni di Solo.”Kalau kami buka di cabang di berbagai kota sudah bukan khas Yogya lagi dong hehe,” ujar Badai.  

Baca juga: Gudeg Solo Adem Ayem, Langganan Para Presiden

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Susandijani

Susandijani

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus