DALAM 10 tahun mendatang, seluruh orang Karo yang animis diharap
sudah menerima pekabaran. Ini target dari Sidang Sinode Gereja
Batak Karo Protestan (GBKP) di Kabanjahe, Kabupaten Karo
Sumatera Utara, 18-24 November lalu. "Kampung-kampung yang jauh
pun dalam 10 tahun ini sudah harus menerima berita ini (Injil
red.)", kata Anggapen Ginting Suka, Ketua GBKP yang memimpin
sidang sinode ke-28 itu.
Harapan GBKP tak berlebih-lebihan. Seperti ditunjukkan oleh
catatan Kantor Departemen Agama Kabupaten Karo, dalam perlombaan
da'wah tiga agama (Protestan, Katolik, Islam), plus kepercayaan
asal (Pelbegu), ternyata Protestan keluar sebagai pemenang dalam
jumlah. Urut-urutannya: Protestan 96.970, Islam 57.568, Pelbegu
27.571, Katolik 25.336 -- ditambah Budha 996 orang. Itu semua
dari jumlah 208.441 penduduk kabupaten tersebut -- tentunya
termasuk orang suku lain atau keturunan asing.
Tapi menurut Ginting Suka sendiri, di luar kabupaten masih ada
orang Karo bahkan dalam jumlah sekitar 300.000 jiwa -- tersebar
di Deli Serdang, Langkat, Medan, Jakarta dan bahkan Irian Jaya.
Dan ke daerah-daerah luar-Karo itu pula target GBKP dikenakan.
Tidak adakah masalah yang dihadapi Gereja dalam program itu?
"Kami hanya kekurangan tenaga," jawab pendeta keluaran Sekolah
Tinggi Theologia Jakarta itu kepada Amran Nasution dari TEMPO.
Maklum jaringan operasi begitu luas. Sedang pendekatan yang
digunakan harus tidak sama caranya -- mengingat orang Karo yang
masih Pelbegu tak hanya yang bodoh dan tinggal di dusun, tapi
juga yang "modern" dan tinggal di kota. Malah yang masih Pelbegu
ternyata lebih banyak yang di luar daerah. Pendeta Ginting
sendiri sudah mengkristenkan jenis kedua itu-misalnya Kantor
Tarigan, bekas walikota Tebing Tinggi, 1959. Atau RO Sembiring,
pemilik bis 'Saudaranta' di Jakarta, 1966.
Sekarang ini 140 petugas GBKP beroperasi baik di dalam maupun di
luar kabupaten. Dan lancar: bila di tahun 1965 misalnya jemaat
Gereja tersebut seluruhnya baru berjumlah 35.000 orang, sekarang
(di dalam dan di luar) 118.000. Patut dicatat bahwa Kristen
sudah dikenal di Karo sejak 1890, dan GBKP sendiri berumur 89
tahun. Jadi kemajuan itu terasa terutama pada dasawarsa
terakhir.
Hal itu juga dirasakan oleh kelompok Islam. Seperti dituturkan
Syahbuddin Siregar (50 tahun), Ketua Badan Koordinasi Da'wah
Islam Kabupaten Karo, kegiatan penyiaran Islam -- yang baru
mulai sejak 1950 -- mulai menggebu sejak 1966. Badan koordinasi
da'wah itu sendiri dibentuk 1967 -- terdiri dari Muhammadiyah,
Al Ittihadiyah, Al Washliyah dan Dewan Da'wah Islamiyah
Indonesia (DDII). Waktu itu pemeluk Islam berjumlah 22.150 jiwa
(tahun 1939 hanya 1.000, itu pun umumnya pendatang), tapi
sekarang sudah terhitung 57.568 jiwa -- hanya dalam kabupaten.
Bila GBKP mempunyai 140 juru da'wah untuk dalam dan luar, pihak
Islam punya 14 orang untuk dalam saja. Yang 12 di antaranya
dikirim oleh DDII Jakarta. Mereka berda'wah dari desa ke desa
dengan honor Rp 12.000, berasal dari para donatur. Dan bagaimana
target mereka?
"Dua ribu lima ratus orang per tahun," kata Siregar sebagai
target resmi. Dan bila masalah yang dihadapi GBKP terutama
kekurangan tenaga, di pihak Islam tak lain kekurangan biaya.
Bukan hanya untuk para da'i. Sebab rupanya pengislaman
memerlukan suatu upacara, "dan kami kekurangan biaya untuk itu."
Sekarang saja sudah ada 1.450 orang yang mau masuk Islam, tapi
terpaksa belum disyahadatkan -- "menunggu amal para donatur,"
kata Siregar.
Tuntutan "biaya syahadat" itu timbul karena menurut adat
setempat, tiap ada 'hajat' semua kaum diundang -- dan tentu saja
ada jamuan makan segala. Kalau tidak begitu mereka tentunya
merasa tidak mantap. Upacara pengislaman 335 jiwa di Kecamatan
Munte misalnya, 11 November kemarin, menghabiskan Rp 500.000.
"Kalau ada biaya, sebenarnya tiap hari ada saja yang bisa kita
Islamkan," kata Siregar.
Dukun Aceh
Sebab di samping faktor-faktor lain, konon ada yang membuat
Islam mudah diterima disana. Menurut Siregar, sebelum abad XX
Masehi (1889), dari Aceh datang ke Tanah Karo seorang dukun
bernama Tengku Laubahun. Dia menetap di Desa Lingga, Kecamatan
Simpang Empat, dan buka praktek. Ketika itu berjangkit penyakit
reme (cacar) -- dan ternyata para penderita bisa disembuhkannya.
Maka dukun asal Pidie (Aceh) yang nama aslinya Tengku Muhammad
Amin itu jadi populer. Memang, ketika hendak membangun surau di
Suka Nalu, Kecamatan Barus Jahe, 16 km dari Lingga, dia dibunuh
orang yang merasa curiga kalau orang asing ini mau "menjajah".
Tapi ternyata kuburannya di Lingga toh tetap dihormati orang.
Sampai sekarang banyak yang berziarah -- menganggapnya keramat.
Dan bekas Tengku Laubahun masih terasa -- terutama di kalangan
para dukun, yang dominan pengaruhnya bagi orang Pelbegu. Banyak
dukun yang sampai sekarang konon mempraktekkan cara pengobatan
Tengku Laubahun -- dan lebih dahulu membaca
bismillahirrohmanirohim dalam mantranya. "Padahal mereka tak
tahu artinya," kata Syahbuddin. Selain itu kebanyakan mereka
dikhitan (disunat).
Syahdan di Kabupaten Karo sekarang terdapat 22 masjid, 8
musholla, 35 surau (entah apa beda mushola dan surau dan
langgar) serta 12 sekolah Islam. Sebagai perbandingan, Kristen
yang lebih dahulu mapan punya 4 SMP, 2 SMA, 4 SD yang diasuh
baik oleh Katolik maupun GBKP. GBKP sendiri punya tiga ratusan
gereja.
"Saya belum masuk agama, karena belum bisa memindahkan kuburan
orangtua," ujar Parjeki Ginting (48 tahun), penduduk Desa Lingga
kepada TEMPO. Petani sayur ini memang sudah pasang kaul: akan
masuk agama setelah bisa memindahkan kuburan orangtuanya yang
menuntut biaya sekitar Rp 100.000.
Mau pilih agama apa? "Nantilah berunding dengan keluarga. Islam
atau Kristen, terserah nanti," katanya gampang saja. Dan setelah
menarik napas panjang, dia bilang "Masa tak punya agama. Mana
boleh. Nantilah kalau ada duit. "
P. Sembiring, tetangganya, juga sama. Mereka "mesti beragama."
"Tapi nantilah, sekarang pikiran saya belum senang. Harga sayur
tetap murah saja ...."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini