DEBATA Sitongal Singarajai, dalam bahasa Karo berarti Tuhan
Yang Maha Kuasa. Tapi sebagaimana banyak kepercayaan animis
lain, Pelbegu menganggap roh nenek moyang bergabung dengan
Debata Sitonggal sebagai kesatuan super natural. Toh roh itu
sendiri menjadi perantara antara manusia dan Si Pencipta.
Komunikasi itu bisa saja terjadi lewat mimpi sewaktu tidur --
tapi kebanyakan melalui guru dewa, yaitu dukun (pria atau
wanita) yang konon dikehendaki sang roh. Guru dewa punya
keistimewaan dibanding dukun pengobat biasa. "Lehernya bisa
bersuara," ujar Muhammad Yamin Depari (51), staf di Kantor
Departemen Agama Kabupaten Karo, bekas penganut Pelbegu. Suara
desah di leher guru dewa ketika kesurupan itulah dianggap suara
sang roh. Arti suara itu tentu saja hanya diketahui sang guru,
yang kemudian "menterjemahkannya" untuk yang berkomunikasi.
Sebelum komunikasi, biasanya disediakan sesajen terdiri dari
daun sirih minyak kelapa, pinang dan kapur, ditaruh di loteng
rumah, di atas lemari, atau di tempat lain yang tinggi dalam
rumah. Doanya misalnya begini: Reh kam begu jabu mate sadawari,
bicara guru, junjung-junjunganku. Enda kecibalkan belau. Man
bandu krina. Adi malem pinakit aku berjanji kuperumahken
kam/begundu krina. Maksudnya, kira-kira: datanglah kamu roh,
makanlah sajian ini. Kalau penyakit sembuh kamu akan kupanggil
ke rumah. Ini doa untuk minta kesembuhan. Untuk keperluan lain,
misalnya membuka ladang, pindah rumah, tentunya lain lagi.
Bila penyakit sembuh, maka dipanggil guru dewa dan diadakan
upacara memanggil roh ke dalam rumah. Tapi terkadang roh itu tak
cukup hanya diberi sesajen. Dia masih meminta yang lain,
misalnya kambing atau kerbau. Maka diadakanlah kenduri dengan
merebahkan kambing atau kerbau.
Atau dia meminta jiwa seseoran. Dan ini gawat. Tapi jangan
khawatir: ternyata bisa dibuat tebusan, yaitu dengan upacara
mbikin ganti. Untuk pengganti seseorang, batang pisang diberi
baju dan dirias sebagaimana manusia. Lalu ditaruh di tempat
sunyi atau perempatan jalan. Mbikin ganti bisa juga dengan
melilitkan rumput padang teguh (sejenis rumput di daerah itu)
di lengan orang yang seharusnya mati itu. Bukankah manusia
memang pintar?
Roh ternyata punya tempat tinggal. Di mana? Itu tergantung
pemberitahuan yang disampaikan lewat mimpi atau guru dewa yang
kesurupan tadi. Biasanya dia senang di rerumpunan pohon pisang.
Karena itu di depan atau di belakang rumah penganut animisme
sering kelihatan rumpun pisang terawat rapi. Atau ada gubuk
kecil (2 kali 2 meter) -- karena ada juga roh yang rupanya lebih
menyukai gubuk yang hangat itu.
Karena upacara harus memakai guru dewa, fungsi dukun jadi
penting. Kalau guru dewa meninggal, di kuburannya dipancangkan
bendera kecil berwarna putih. "Agar ilmu guru dewa tidak
mengganggu orang yang masih hidup," dijelaskan oleh Muhammad
Yamin Depari.
Sekarang ini penganut Pelbegu hidup berdampingan secara damai
dengan saudara-saudaranya yang Islam atau Kristen. "Mereka tidak
pernah menentang Islam atau Kristen," ujar Anggapen Ginting
Suka, Ketua GBKP itu. P. Sitepu, Kepala Subdit Sospol Kabupaten
Karo, juga membenarkan hal itu. "Mereka patuh kepada peraturan
pemerintah, termasuk membayar Ipeda atau kewajiban lainnya."
Artinya mereka orang-orang baik, yang ganti rupa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini