Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Baru-baru ini masyarakat dihebohkan dengan kemarahan Presiden Joko Widodo kepada para menteri di Sidang Kabinet Paripurna. Secara garis besar, ia menyuarakan kekecewaan sekaligus arahan tegas dalam penanganan Covid-19 di Indonesia. Kata Jokowi marah pun sempat menjadi trending topic di media sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya lihat masih banyak kita ini yang seperti biasa-biasa saja. Saya jengkelnya di situ, ini apa tidak punya perasaan, suasana ini krisis,” katanya dalam unggahan video berdurasi 10 menit di akun Youtube resmi Sekretariat Presiden pada 28 Juni 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jokowi bukan orang pertama yang pernah melontarkan kemarahannya dan disaksikan oleh publik. Beberapa pejabat lain seperti Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, dan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), juga pernah naik pitam akibat kinerja para aparatur sipil negara (ASN).
Menanggapi kemarahan para petinggi negara yang dilihat oleh publik, psikolog sekaligus praktisi sumber daya manusia (SDM) Dian Puty Osarini pun angkat bicara. Menurutnya, kemarahan adalah suatu hal yang wajar dan bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk pejabat.
“Yang penting marah itu alasannya dua. Pertama karena anak buahnya melakukan kegiatan fatal yang menyebabkan kerugian, dan kedua sebagai bentuk koreksi agar mereka menyadari kesalahan dan berubah menjadi pribadi yang lebih baik,” jelasnya saat dihubungi Tempo.co pada Kamis, 2 Juli 2020.
Sayangnya, di pemerintahan konteks rapat umumnya terbuka alias dibuat online dengan tujuan transparansi dan tanggung jawab kepada masyarakat. “Hal tersebut membuat kemarahan kesannya ditampilkan ke depan publik sehingga menimbulkan banyak persepsi,” katanya.
Persepsi yang dimaksudkan Dian termasuk pihak oposisi akan melihat kemarahan sebagai bagian dari pencitraan dan ketidakmampuan pemimpin untuk menahan emosi. Sebaliknya, sebagai pendukung, tindakan tersebut dianggap sebagai bentuk ketegasan.
“Ini sudah jadi bagian dari kehidupan sebagai seorang figur publik,” ujarnya.