Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Waspadai Rematik Autoimun pada Penyintas Covid-19

Rematik autoimun kerap terjadi pada penyintas Covid-19. Pakar pun memberi penjelasan.

4 Desember 2021 | 09.01 WIB

sxc.hu
Perbesar
sxc.hu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Penyakit rematik terjadi saat ada gangguan yang melibatkan sistem organ muskuloskeletal, yakni sendi, otot, tulang, dan struktur jaringan ikat dan autoimun. Sementara COVID-19 disebabkan infeksi virus SARSCoV-2 yang menimbulkan kelainan atau gangguan pada sistem organ pernapasan dan organ lain.

Spesialis penyakit dalam kosultan rematologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Rudy Hidayat, mengungkapkan saat ini data belum mencukupi untuk memastikan apakah sembuh dari COVID-19 bisa memicu penyakit rematik autoimun. Penyakit ini diketahui merupakan hasil interaksi adanya faktor genetik yang memudahkan munculnya kondisi autoimun, ditambah dengan faktor lingkungan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

"Faktor lingkungan yang banyak diteliti salah satunya adalah infeksi virus, tetapi untuk infeksi COVID-19 tentu belum cukup data untuk memastikan hal tersebut," kata dokter yang berpraktik di RS Pondok Indah – Pondok Indah itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Menurutnya, para ahli kesehatan masih melakukan penelitian untuk menjawab pertanyaan itu karena dari berbagai observasi selama ini kemungkinan tersebut cukup besar.

"Beberapa jurnal melaporkan adanya pasien-pasien yang didiagnosis arthritis rheumatoid (RA) pascainfeksi COVID-19. Namun, hasil penelitian belum diungkapkan secara luas," tutur Rudy.

Lebih lanjut, terkait kondisi yang terjadi pada pasien rematik, terutama rematik-autoimun pascacovid-19, Rudy merujuk berbagai laporan yang ada mengatakan infeksi COVID-19 lebih besar dampaknya pada pasien dengan autoimun, apalagi dengan terapi imunosupresan atau obat yang menekan sistem imun.

Di samping itu, infeksi juga dapat menjadi pemicu aktivitas penyakit autoimun. Hal ini menjadi dasar mengapa pasien autoimun dianjurkan untuk segera melakukan vaksinasi COVID-19, terutama pada kondisi autoimun yang terkendali karena keuntungannya yang lebih besar dibandingkan risiko.

"Sedangkan untuk kondisi pascainfeksi, tampaknya tidak terdapat perbedaan yang signifikan yang berkaitan dengan kondisi autoimun yang diderita, kecuali adanya post-covid syndrome yang dapat memperberat kondisi autoimun," tutur Rudy.

Dia mengatakan hal ini perlu dievaluasi dengan baik dan teliti oleh dokter yang menangani untuk membedakan mana yang merupakan manifestasi dari reumatik-autoimun atau merupakan manifestasi sindrom pascacovid, atau justru kombinasi dari keduanya. Rudy menyarankan tak ragu segera berkonsultasi dengan dokter spesialis penyakit dalam atau spesialis penyakit dalam konsultan rematologi jika mengalami gejala sindrom pascacovid yang menuju kepada gejala rematik atau rematik autoimun.

"Penanganan dini pada gejala dapat membantu mempercepat pemulihan," ujarnya.

Para pakar kesehatan masih membahas kaitan penyakit rematik, terutama kelompok rematik autoimun atau rematik yang disebabkan autoimun dengan kondisi pascainfeksi COVID-19. Berbagai laporan dari seluruh pelosok dunia, tentang kondisi individu pascainfeksi COVID-19 menunjukkan lebih dari 50 persen pasien masih memiliki beberapa gejala gangguan muskuloskeletal yang menetap dalam jangka waktu yang cukup lama hingga 6-9 bulan setelah infeksi.

Kondisi yang dikenal dengan sindrom pascacovid atau long COVID ini sangat mungkin juga disertai gangguan pada sistem organ lain, terutama paru dan jantung. Beberapa gejala gangguan muskuloskeletal yang dilaporkan antara lain kelemahan lengan atau tungkai, nyeri otot, nyeri sendi, kekakuan, bengkak dan kesemutan, juga keluhan kelelahan.

Pasien-pasien dengan keluhan-keluhan yang menetap ini bukan hanya yang sebelumnya dengan infeksi COVID-19 sedang atau berat tetapi juga pasien dengan infeksi ringan.

"Para dokter ditantang untuk dapat mengenali kondisi ini dan membedakan dengan kondisi kronis lain, termasuk rematik autoimun yang memerlukan terapi jangka panjang," kata Rudy.

Dia mengatakan terapi pada kondisi pascaCOVID-19 nantinya lebih bersifat simtomatik dan rehabilitatif, baik dengan obat-obatan maupun dengan modalitas terapi atau latihan fisik.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus