Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Yang Berbeda, Ngopi di Rumah Produksi Kopi Merapi Stabelan

Di rumah kopi ini lupakan seduhan ala moderen, dan nikmati sensasi ngopi yang disangrai secara tradisional.

25 Januari 2018 | 17.05 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Boyolali - Bosan dengan kopi yang diseduh menggunakan bermacam peralatan modern di kafe? Di Rumah Produksi Kopi Merapi Stabelan anda bisa merasakan sensasi segarnya menyeruput kopi yang baru disangrai secara tradisional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Proses sangarai itu dilakukan oleh ibu-ibu petani kopi dengan menggunakan tungku arang, wajan, dan serok.`

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rumah Produksi Kopi Stabelan berada di Dukuh Stabelan, Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Stabelan adalah permukiman tertinggi di Boyolali, berada di lereng Gunung Merapi sisi barat daya pada ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut.

Di dukuh yang berjarak sekitar 3,5 kilometer dari puncak Merapi itu, pohon kopi arabika tumbuh liar dan subur di halaman rumah warga.

“Rumah Produksi Kopi Stabelan ini dibangun menggunakan anggaran Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) pada 2014,” kata Kepala Desa Stabelan, Widodo, Kamis, 25 Januari 2018.

Jangan bayangkan Rumah Produksi Kopi Stabelan layaknya kafe-kafe di perkotaan dengan meja bar yang dilengkapi mesin penggiling kopi dan mesin espresso. Di rumah berdinding batu dan berlantai semen itu hanya ada satu meja kayu sederhana tempat sang barista menyeduh kopi secara manual (tubruk) menggunakan teko jadul bermotif blirik hijau.Ilustrasi kopi. shutterstock.com

Di atas tikar, kopi disajikan bersama camilan khas pedesaan seperti singkong rebus. Ditambah sejuknya suasana khas pedesaan serta ramahnya warga sekitar, meski sederhana, ngopi di Rumah Produksi Kopi Stabelan benar-benar menawarkan pengalaman yang tak terlupakan.

“Tapi mohon bersabar, baristanya baru belajar,” kata Kepala Dusun Stabelan, Maryanto, sembari menyeduh kopi.

Tidak seperti kopi arabika Lencoh dari Desa Lencoh, Kecamatan Selo, yang sudah termasyhur namanya, kopi arabika Stabelan belum banyak dikenal di kalangan pecinta kopi.

Meski sebagian warga sudah mulai menanam kopi sejak pasca-erupsi Merapi 2010, kopi di Stabelan baru dibudidayakan secara serius pada 2017 berkat pendampingan dari Business Watch Indonesia (BWI).

BWI adalah organisasi yang menangani isu agrokomoditasi yang didukung Solidaridad South and Southeast Asia, lembaga nirlaba dari Belanda yang berbasis di India. Dalam program pendampingan bertajuk Market Development selama 2017 - 2020, BWI memberikan bantuan 30 ribu bibit kopi secara bertahap untuk ditanam di kawasan tanah kas desa Desa Tlogolele.

“Selain memberikan bantuan bibit kopi, kami juga mendampingi petani sejak awal masa tanam, cara memanen, cara mengolah biji kopi pasca-panen, hingga membantu mengembangkan jaringan penjualannya,” kata Ketua BWI, Arys Buntara.

Sementara pohon kopi bantuan dari BWI yang baru ditanam sejak Juni 2017 belum dapat dipanen, produksi kopi di Stabelan saat ini masih mengandalkan hasil panen dari kebun-kebun warga.

Kendati demikian, stok biji kopi di Rumah Produksi Kopi Stabelan tetap dapat memenuhi rasa penasaran pengunjung yang ingin mencicipi segarnya kopi sembari menikmati indahnya panorama Gunung Merapi.

“Sekarang kami baru menjual green bean (biji kopi hijau) dengan harga berkisar Rp 100 ribu per kilogram. Kalau produksi kopinya sudah stabil, kami akan membuat desa wisata kopi,” kata Widodo. Ditanya berapa harga secangkir kopi di Rumah Produksi Kopi Stabelan, Widodo menjawab, “Kalau sekadar mengicipi masih gratis,” kata Widodo.

DINDA LEO LISTY (Boyolali)

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus