Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Wonogiri - Kabut tipis melayang turun menutupi Kabupaten Wonogiri. Pusat Kota Wonogiri memang dikepung pegunungan yang ketinggiannya antara 600-1.000 mdpl. Gunung Gandul menjadi gunung yang terdekat dengan Kota Wonogiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pagi itu, hawa sejuk dan kabut tipis menyapa TEMPO, saat bersiap menuju Puncak Joglo yang lokasinya di sekitar Gunung Gandol. Kami hanya memiliki waktu yang sangat pendek menikmati Wonogiri, mulai pukul 05.30 hingga 10.00.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tujuan awal kami – dalam rekreasi instan itu – adalah Puncak Joglo. Puncak Joglo dan sekitarnya, dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Sendang Pinilih. Lokasi Puncak Joglo memang berada di Desa Sendang.
Dari Puncak Joglo, wisatawan bisa menyaksikan abut yang turun menutupi Kota Wonogiri dan Waduk Gajah Mungkur. Panorama eksotik ini menciptakan pemandangan negeri di atas awan. Pucuk-pucuk perbukitan dan lampu-lampu serta rumah penduduk di lereng bukit, timbul tenggelam di antara kabut. Sang fajar yang menguning di ufuk timur juga terlihat jelas dari Puncak Joglo.
Lanskap Waduk Gajah Mungkur dilihat dari Puncak Joglo. Foto: Nurdiyanto Khoirurrohman
“Wisatawan umumnya datang ke Puncak Joglo untuk bermain paralayang dan gantolle,” ujar Sekretaris Desa Sendang, Agung Susanto yang menemani rombongan kami.
Setelah kabut sirna, kini lanskap Waduk Gajah Mungkur terlihat jelas. Cahaya kekuningan masih tersisa di permukaan air danau, menanda pagi yang mulai sibuk. Dari atas Puncak Joglo, keramba dan perahu boat yang hilir mudik terlihat jelas.
Puncak Joglo juga merupakan tempat balap sepeda gunung. Lerengnya yang berkelok-kelok digemari para pesepeda gunung, terutama untuk downhill. Tak jauh dari Puncak Joglo, wisatawan bisa menemukan situs-situs peninggalan era Majapahit. Kabarnya, pelarian Majapahit akibat Perang Paregreg dan perseteruannya melawan Kesultanan Demak, membuat para bangsawan Majapahit mengungsi ke Wonogiri.
Watu Cenik
Watu Cenik hanya sepelemparan batu dari Puncak Joglo. Dulu, lokasi itu merupakan landasan untuk paralayang dan gantole – sebelum dipindah ke Puncak Joglo yang lebih tinggi namun memiliki area lepas landas yang lebih landai.
Kini Watu Cenik menjadi tempat bersantai sekaligus gardu pandang untuk menyaksikan keindahan lanskap Danau Gajah Mungkur. Wisatawan juga bisa berswafoto dengan berbagai spot yang instagenik, salah satunya berfoto dengan balon udara. Di sekitar Watu Cenik, pengunjung bisa menikmati wifi dan gazebo untuk bersantai.
Kegiatan paralayang di Puncak Joglo. Selain paralayang, kejuaraan gantole kerap dihelat di Puncak Joglo. Foto: @desasendangwonogiri
Untuk meningkatkan daya tarik para wisatawan pengelola Watu Cenik menawarkan beberapa fasilitas. Antara lain free wifi dengan kecepatan 10 Mbps sehingga memudahkan Anda yang aktif di media sosial dan gasebo untuk tempat beristirahat sejenak para wisatawan.
Waduk Gajah Mungkur
Sekitar sejam lebih kami berada di Puncak Joglo. Kami lalu meluncur ke Waduk Gajah Mungkur. Waduk yang merupakan bendungan di hulu Sungai Bengawan Solo ini, menjadi pengendali banjir, saluran irigasi, dan juga pembangkit listrik.
Waduk ini membentang seluas sekitar 8.800 hektar yang mencakup tujuh kecamatan, yakni Wonogiri, Ngadirojo, Nguntoronadi, Baturetno, Giriwoyo, Eromoko, dan Wuryantoro. Lokasinya hanya sekitar 6 km dari Kota Wonogiri atau hanya 10 menit dengan berkendara.
Dari atas Puncak Joglo, kami melihat banyak keramba, “Budi daya ikan nila merupakan komoditas unggulan Waduk Gajah Mungkur,” ujar Agung. Di waduk itu, selain keramba, banyak pula terdapat ikan patin, mujair, dan berbagai ikan jenis ikan air tawar lainnya.
Keramba milik UB Mulya Barokah Keramba Jaring Apung. Foto: Nurdiyanto Khoirurrohman
“Danau ini subur, kaya dengan plankton. Segala ikan bisa tumbuh dengan baik, termasuk ikan patin dan ikan nila,” ujar Saryono, Ketua Usaha Bersama (UB) Mulya Barokah Keramba Jaring Apung.
Saryono menjemput kami dengan perahu wisata, yang biasa ia sewakan antara Rp200.000-Rp300.000 untuk berkeliling Waduk Gajah Mungkur. Tarif untuk perorangan sekitar Rp15.000, namun bila membayar per orang harus menunggu penuh atau terisi di atas 10 orang.
Ikan nila dari Waduk Gajah Mungkur sangat lezat, karena lingkungan perairannya subur dan banyak mengandung plankton. Ikan nilanya pun tak berbau lumpur, demikian pula dengan ikan patinnya. Nah, bila ingin mencoba, kunjungi warung-warung di dekat pintu masuk Waduk Gajah Mungkur.
Biasanya, untuk pembuka, pengunjung oleh pemilik warung disediakan ikan wader atau ikan belis yang digoreng garing bersalut tepung. Renyah dan gurih. Untuk minum, kami memesan lemon tea, yang rasanya jeruknya segar mengimbangi rasa pekat teh, “Tehnya mantap dan lemonnya segar,” ujar Khoir salah satu peserta rombongan.
Saat hidangan utama diantar, kami mendapati ikan nila gemuk yang dibakar dengan bumbu kecap, nila goreng, botok nila yang menggunakan kelapa muda berbumbu, sambal, kerupuk, dan lalapan. Dengan porsi yang luar biasa itu, kami berenam hanya menghabiskan uang sekitar Rp250.000.
“Harga makanan di Wonogiri masih murah, inilah salah satu daya tarik untuk wisata kuliner. Apalagi Wonogiri juga terkenal dengan baksonya,” ujar Weda Wakil Sekretaris PB Persinas ASAD yang menemani kami berkeliling Wonogiri.
Watu Cenik tempat bersantai menikmati lanskap Waduk Gajah Mungkur. Foto: @explore.solo
Oh ya, di Waduk Gajah Mungkur juga terdapat kebun binatang mini. Koleksinya antara lain gajah, jerapah, rusa dan berbagai jenis satwa lainnya. Bagi kami, lima jam di Wonogiri cukup mengensankan. Suasananya sejuk dan kulinernya lezat.