Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Kegelapan Mampir Lebih Dini di Hoga

Pulau Hoga salah satu pulau di Wakatobi. Terpencil, tapi indah, sehingga memancing banyak wisatawan dalam dan luar negeri.

11 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pulau Hoga adalah surga bagi para penyelam untuk menikmati keindahan beragam jenis terumbu karang.

  • Pulau berpasir putih itu berada di sebelah timur atau berhadap-hadapan dengan Pulau Kaledupa.

  • Tidak semua tempat ada sinyal seluler dan Internet di pulau itu alias banyak blankspot.

Pulau Hoga dengan langit kelabu terasa sunyi. Ganggang hijau yang tumbuh subur di pinggir pulau di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, mulai tertutup air laut setinggi betis pada siang itu. Dari permukaan air berwarna hijau toska bercampur biru, bintang laut berduri terlihat tenang, merangkak di antara alga yang bergerak melayang-layang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ami, 17 tahun, membuang sauh dari atas bodi, perahu kayu berukuran kecil khas Wakatobi. Robi, 18 tahun, cepat-cepat mematikan mesin. Kedua pemuda Suku Bajo itu menemani saya berlayar menuju Pulau Hoga, surga bagi para penyelam untuk menikmati keindahan ratusan spesies terumbu karang. Kami ke Hoga sehari setelah saya mengamati kepercayaan lokal orang Bajo yang tinggal di permukiman laut di Desa Sama Bahari, Kecamatan Kaledupa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Angin musim barat yang mengandung curah hujan tinggi memang bukanlah waktu yang tepat untuk berlayar, sebulan lalu. Petir, hujan, dan badai membuat saya waswas sepanjang perjalanan. Apalagi tak tersedia pelampung. Namun Kepala Desa Sama Bahari, Ganis, yang juga orang Bajo, meyakinkan saya berkali-kali bahwa ombak di laut masih tenang dan aman untuk berlayar. “Dua pemuda kami teruji di laut,” ujar Ganis.

Orang Bajo yang biasa disebut gipsi laut terkenal pandai menyelam. Tebersit dalam benak, bila saya tenggelam, merekalah yang saya andalkan untuk memberi pertolongan karena saya tak mahir berenang.

Hoga, pulau berpasir putih yang berada di sebelah timur atau berhadap-hadapan dengan Pulau Kaledupa, merupakan satu dari gugusan Kepulauan Wakatobi atau biasa disebut dengan Taman Nasional Wakatobi. Berdasarkan survei World Wide Fund for Nature dan The Nature Conservancy, di Hoga ditemukan 396 spesies karang. Gugusan karang di Kaledupa dinobatkan sebagai salah satu karang terluas dan terpanjang di Indonesia.

Selain karang, pulau ini memiliki ratusan jenis ikan, teripang, alga, bakau, ular, siput, dan bintang laut. Kaledupa paling hijau dibanding pulau lain di Wakatobi karena dikelilingi hutan mangrove dan kelapa di sepanjang pantai.

Suasana dalam kapal kayu, berlayar dari Pulau Wangi-wangi menuju Pulau Kaledupa, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, 10 Januari 2024. TEMPO/Shinta Maharani

Di sana juga ada burung tekukur atau merpati hutan, maleo, kakaktua hijau, dan nuri. Bukan hanya di Kaledupa, di Wakatobi terdapat Pulau Wangi-wangi, Tomia, dan Binongko. Pulau Hoga berjarak 214 kilometer dari Kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara.

Dari Kota Kendari, saya berlayar menggunakan kapal feri cepat Jetliner Pelni dengan waktu tempuh 13 jam menuju Wangi-wangi atau Pulau Wanci, ibu kota Wakatobi. Saya beristirahat selama sehari di penginapan pinggir pantai yang dikelola komunitas lokal. Setelah itu saya baru menyeberang ke Pulau Kaledupa pada pagi hari menggunakan kapal kayu Nur Rizky dengan waktu tempuh selama empat jam.

Di atas dek kapal, 50 orang duduk berjejalan bersama barang kebutuhan sehari-hari, seperti telur serta dus-dus yang berisi air mineral dan makanan ringan. Bau asap menyengat dari mesin kapal berpacu dengan bunyi mesin. Pagi itu udara terasa sedikit pengap, meski penumpang bisa menghirup udara dari jendela-jendela kapal di sisi kanan dan kiri.

Selepas jangkar dilempar, kapal berlabuh di perairan Kelurahan Ambua, Pelabuhan Kaledupa. Siang itu, sinar terik matahari membakar kulit, menusuk hingga pori-pori. Ami dan Robi sudah menanti di ujung pelabuhan. Kami bergegas menuju permukiman Bajo Sampela menggunakan kapal selama setengah jam.

Kepala desa orang Bajo Sampela, Ganis, 39 tahun, sempat mengajak saya menyusuri kawasan ekowisata hutan bakau, berjarak satu kilometer dari permukiman Bajo. Di hutan bakau yang rimbun itu, kami bisa melihat kupu-kupu beterbangan dan mendengar cericit burung. Bila air sedang surut, kepiting melimpah.

Dari permukiman Bajo Sampela, saya bergeser ke Pulau Hoga keesokan harinya bersama Ami dan Robi. Kami menempuh lautan berpayung langit yang sedang mendung itu selama setengah jam. Sesampainya di Hoga, pantai tampak senyap. Hanya dua remaja Bajo berambut keperakan terlihat berjalan-jalan di pantai. Tak ada satu pun wisatawan yang melintas.

Setelah diantar dua remaja Bajo menuju penginapan Hoga Island Resort, saya menyelonjorkan kaki di atas hamparan pasir putih sembari mendengarkan debur ombak dan menikmati nyiur yang melambai. Kaok burung dan kadal yang merayap di sekitar penginapan yang dikepung berbagai pepohonan lebat menambah kesyahduan.

Penginapan itu berlantai dan berdinding kayu. Atapnya dari daun kelapa. Selain kelapa, penginapan itu dikitari pohon cantigi, beringin, dan ketapang laut. Namun saya belum bisa masuk penginapan saat itu karena masih terkunci. Kedua remaja tadi sudah pergi. Saya tinggal sendiri.

Sanawiah, 49 tahun, pengelola penginapan tersebut, bersama anaknya, Aulia Ulfa, 8 tahun, pada siang itu sedang bepergian ke Kaledupa. Hampir seharian mereka di sana. Sejak pukul 02.00, mereka berlayar menggunakan ketinting, perahu kecil bermesin milik nelayan, sebelum laut surut.

Penginapan di Pulau Hoga, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, 11 Januari 2024. TEMPO/Shinta Maharani

Bila laut surut pada subuh hari, perahu tak bisa berlayar menuju Kaledupa. Padahal Aulia harus bersekolah di Kaledupa dan Sanawiah mesti ke pasar untuk membeli kebutuhan sehari-hari, seperti beras, air, sayur, serta bahan kebutuhan bahan pokok lainnya yang hanya ada di Kaledupa. “Tak akan ada makanan bila kami tak pergi. Stok habis,” ujar Wia, begitu Sanawiah biasa dipanggil.

Ia meninggalkan penginapan karena memang sedang tidak ada tamu. Ini bukan musim kunjungan wisata. Tak mengherankan bila penginapan itu sepi. Biasanya wisatawan ramai pada April-Mei dan September-November. Mereka datang dari dalam dan luar negeri.

Menurut Wia, mayoritas atau 80 persen wisatawan mancanegara berkunjung untuk menyelam maupun melakukan riset. Turis-turis itu berasal dari Australia, Eropa, dan Amerika. Jejak mereka juga terlihat dari buku-buku yang ditinggalkan di balkon ruang tengah penginapan yang biasa untuk ruang makan. Sebagian buku-buku dalam bahasa Inggris itu berisi tentang dunia penyelaman.

Tiap tahun Pulau Hoga menjadi markas riset Operation Wallacea. Pakar antropologi dan biologi asal Inggris, Alfred R. Wallace, pada April 1854 berlayar ke sebelah timur Pulau Sulawesi. Dia kepincut dengan fenomena perbedaan tegas jenis satwa dan flora di dua daerah yang dipisahkan laut dalam di dekat Sulawesi.

Hewan di sebelah timur Sulawesi berbeda dengan sebelah barat. Namanya Garis Wallace. Sejak 1995 muncullah riset yang disebut Operation Wallacea. Sejak saat itulah ratusan periset datang rutin setiap tahun. Wia menyebutkan penginapannya ramai kedatangan peneliti pada Juli hingga Agustus. Setiap hari, mereka menghabiskan waktu berjalan di pinggir pantai dan menyelam. “Mengamati berbagai spesies biota laut,” tutur Wia.

Suasana Pulau Hoga di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, 11 Januari 2024. TEMPO/Shinta Maharani

Hoga minim penerangan listrik dan sulit sinyal untuk berkomunikasi. Hanya tempat-tempat tertentu ada sinyal. "Ada sinyal di ruang makan," kata Wia, yang berasal dari Kabupaten Muna dan tinggal di Pulau Hoga sejak 25 tahun lalu. Atau di kursi dekat pasir pinggir pantai. Berkunjung ke sana pun seperti melepaskan diri dari hiruk pikuk kota sekaligus keriuhan di Internet dan media sosial.

Untuk penerangan, sebagian warga menggunakan genset diesel. Adapun untuk penerangan penginapan, Wia mengandalkan panel surya. Namun sejak pukul sembilan malam, penginapan gelap gulita. Hanya lampu senter satu-satunya penerangan bila kami hendak ke kamar mandi dan ingin membaca buku. Itu pun harus dihemat.

Bila sewaktu-waktu ada ular masuk dan lampu senter mati, celakalah penghuni penginapan. Menurut Wia, ular dan kepiting beracun sering masuk ke penginapan itu. Saat saya ke kamar mandi tengah malam, dua kepiting beracun sedang berjalan di lantai kamar mandi.

Sore hari, Wia, Aulia, dan Duda, seorang instruktur selam dari Suku Bajo, mengajak saya bertandang ke Furake, bertemu dengan anak-anak dan melihat pengolahan kelapa yang dikeringkan menjadi minyak. Duda menakhodai kapal saat hujan turun beserta angin kencang. Kami duduk berimpitan dalam perahu mungil dalam empasan ombak.

Furake adalah kampung terdekat dari Hoga. Berjarak 3 kilometer dan harus dilalui dengan berlayar, Furake dihuni puluhan keluarga.

Bintang laut di Pulau Hoga, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, 12 Januari 2024. TEMPO/Shinta Maharani

Pada hari kedua, kami mencari teripang dan siput laut untuk sarapan. Kami bergegas pada pagi hari saat laut surut. Berbekal besi panjang dan timba, kami berburu teripang. Wia bertugas mencungkil pasir laut dan mengeruk pasir dengan tangan untuk mendapatkan teripang yang cepat berlari.

Warga Wakatobi mengenal teripang sebagai tihou dan siput laut sebagai kiwolu. Selain tihou dan kiwolu, kami mendapati bintang laut dalam beragam bentuk dan ukuran. Ada yang berkelir merah dan hitam berbentuk segi lima. Ada pula yang berukuran lebih besar mirip bongkahan batu segi lima yang berduri pada bagian tengahnya. Di sela mengambil siput laut yang melimpah, kami melihat ular laut berbisa yang mematikan berwarna hitam putih.

Satu jam setelah kami berjalan di pantai, timba berisi penuh teripang berbentuk silindris memanjang yang membikin geli saat menyentuhnya. Menggunakan sebilah kayu kecil, Aulia mengajari saya mengeluarkan kotoran dari perut teripang berupa pasir yang kerap menyembur di wajah.

Di dapur, Wia menyiapkan siput laut yang direbus untuk sarapan. Dia melumuri siput dengan perasan jeruk nipis. Pagi itu, kami menyantap siput laut yang lezat hingga tandas bersama teh hangat. Pulau Hoga kaya makanan yang bersumber dari laut yang segar dan menyehatkan. Selain siput laut, kami makan dengan menu ikan kakap goreng atau orang lokal menyebutnya kodawo.

Sarapan siput laut yang diambil saat laut surut di Pulau Hoga, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, 12 Januari 2024. TEMPO/Shinta Maharani

Langit biru dan hawa laut yang hangat mengaliri sekujur tubuh. Keheningan kembali menjalar bersama desir angin laut.

Sore hari saya beranjak kembali ke Pulau Wanci, menempuh dua jam perjalanan. Ami dan Robi mengantar saya mengarungi lautan dalam guyuran hujan dan angin. Petir dan badai terlihat dari kapal kami di ujung pulau. Dari kapal, saya takjub melihat hiu hitam yang berseliweran, bangau putih, dan burung kecil-kecil, serta pemandangan laut berwarna biru sebiru lazuardi dan hijau toska yang tembus, hingga sebagian karangnya terlihat dari atas kapal.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal macet. Pipa pendingin kapal terlepas dan mesin mati. Air laut terus-menerus masuk ke kapal. Ami menyerok air menggunakan timba dan membuangnya ke laut. Sementara itu, Robi mengecek mesin. Dia lalu memindahkan tas ke perahu bagian depan supaya tak basah terendam air laut.

Jantung saya berdebar saat mesin mati. Beruntung keduanya gesit memperbaiki pipa yang copot selama 20 menit. Mesin kapal kembali berfungsi dan kami kembali berlayar.

SHINTA MAHARANI (Wakatobi, Sulawesi Tenggara)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Shinta Maharani

Shinta Maharani

Kontributor Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus