Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Gajah Sumatera Tak Sekadar Untuk Wisata, Tapi Penting Bagi Dunia

Gajah Sumatera telah masuk dalam kategori terancam punah untuk itu manusia harus menyelaraskan diri hidup dengan gajah Sumatera.

3 Juli 2020 | 22.41 WIB

Mahout menunggangi gajah Sumatera membawa bendera merah putih seusai mengikuti peringatan Hari Pahlawan di Conservation Response Unit (CRU) Sampoiniet, Aceh Jaya, Ahad, 10 November 2019. ANTARA
Perbesar
Mahout menunggangi gajah Sumatera membawa bendera merah putih seusai mengikuti peringatan Hari Pahlawan di Conservation Response Unit (CRU) Sampoiniet, Aceh Jaya, Ahad, 10 November 2019. ANTARA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ada alasan untuk tak menempatkan gajah Sumatera sebatas atraksi wisata di kebun binatang atau taman safari. Pasalnya, Gajah Sumatera telah masuk dalam kategori terancam punah (critically endangered) International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Gajah Sumatera hanya ada di Indonesia, Sumatera. Itu sebabnya Gajah Sumatera yang tersisa sangat penting bagi dunia," kata Direktur Conservation Response Unit (CRU) Aceh, Wahdi Azmi, dalam sesi percakapan daring video bertema 'Bincang Hutan Tropis: Apa Kabar Gajah Sumatera?' yang diadakan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati), Jumat, 3 Juli 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Wahdi menjelaskan, bahwa gajah adalah satwa bertubuh paling besar yang hidup di darat. Kehidupan gajah berkelompok, sehingga membutuhkan sumber pakan alami yang sangat banyak. "Gajah sendiri (satu ekor) butuh (pakan) 150 kilogram sehari," ujarnya.

Sebab itu, gajah membutuhkan habitat alami yang memastikan ketersediaan sumber pakan. "Itu yang membuat gajah harus mempunyai home range (daerah jelajah) yang sangat luas," ucap Wahdi.

Gajah akan menjelajah jauh, hal itu juga terkait siklus ketersediaan pakan, "Ini bersaing dengan kebutuhan lahan tantangan konservasi gajah," katanya.

Wahdi menjelaskan, maka kehidupan manusia harus serasi dengan gajah. "Belajar dari masyarakat Aceh dulu zaman indatu hidup berdampingan dengan gajah," tuturnya.

Pada abad ke-16 Aceh memegang peranan penting sebagai daerah transit barang-barang komoditi dari Timur ke Barat. Para pedagang dari Arab Saudi, Turki, Gujarat dan India singgah di Aceh dalam perjalanan mereka mencari berbagai komoditi dagang dari Nusantara, antara lain lada, pala, cengkih.

"Kejayaan Kesultanan di Aceh menanam komoditi unggulan pala dan lada. Dua jenis ini komoditi yang sudah ada, secara empiris terbukti survive (bertahan) dengan keberadaan gajah," katanya. Wahdi menjelaskan, gajah tidak merusak perkebunan warga saat itu, karena bukan bagian dari pakan.

"Jangan menuntut gajah menyesuaikan diri. Kita manusia yang punya akal pikiran mencari cara untuk hidup bersama gajah," kata Wahdi.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus