Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Arswendo Atmowiloto meninggal pada 19 Juli 2019. Kecintaan orang-orang di sekitarnya menggugah untuk 'menghidupkan' kembali sang budayawan melalui acara Tribute to Arswendo Atmowiloto pada Sabtu, 30 November 2019, di Grha Muncul Mekar, Jakarta Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah seniman yang hadir mengenang kisah menarik bersama almarhum Arswendo Atmowiloto. Mereka antara lain Butet Kartaredjasa, Slamet Rahardjo Jarot, Reny Djajoesmaan, Dian Piesesha, Sandy Nayoan, Mudji Sutrisno, Efix Mulyadi, dan lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka menyampaikan kenangan berinteraksi dengan Arswendo, mengenang saat-saat tak terlupakan bersamanya. Butet Kertaredjasa mengatakan Arswendo bukan hanya pembimbing dan teladan hidup, tapi juga seorang legenda yang senantiasa hidup. Berkat Arswendo, Butet mengenal teater dan bertekad menghidupkan teater, belajar menjadi penulis.
Butet Kertaredjasa mengatakan hidupnya mirip Arswendo, menikah di usia muda dalam kondisi yang spekulatif. Mengenal Arswendo pertama kali di Taman Ismail Marzuki, saat mementaskan naskah teater Sang Pangeran pada 1976. "Sejak saat itu saya bertekad, 'awas, saya mau jadi pemain teater'," ujar Butet disambut tawa penonton. Dari situ, dia mulai rajin membaca dan menjadi penulis.
Sastrawan dan wartawan senior, Arswendo Atmowiloto meninggal pada Jumat petang di kediamannya di Kompleks Kompas, Petukangan, Jakarta, pada Jumat sore, 19 Juli 2019. Kabar duka ini telah dikonfirmasi kebenarannya oleh salah satu sahabat dekatnya, Eros Djarot. TEMPO/Nurdiansah
Perkenalan berlanjut dan Butet Kertaredjasa ditawari oleh Arswendo untuk menjadi penulis lepas di Majalah HAI. "Jadi freelance di HAI, saya bisa beli susu kaleng untuk anak saya," ujar Butet. Kenangan yang paling membekas saat Butet diminta meliput Hari Pers di Ujung Pandang, Makassar.
Butet harus meliput dengan dibiayai penuh oleh kantor. "Saya belum pernah keluar Pulau Jawa. Saya menulis apa saja, terserah saya. Ditugasi, kepercayaan, menulis seenaknya," ujar pemimpin Teater Gandrik ini. "Pesannya satu, jujur jangan nyathut."
Kenangan lain yang juga tak bisa dilupakan ketika Butet Kertaredjasa mendapat kesempatan menjadi karyawan tetap di KKG. Butet harus memenuhi sejumlah syarat dan mengikuti tes, salah satunya tes Bahasa Inggris. Menurut dia, ini kesempatan bagus karena punya gaji tetap. Tapi Butet tak mahir berbahasa Inggris.
Akhirnya Butet Kertaredjasa tetap mengerjakan tes semampunya. "Besoknya saya diomelin Pak Ndo (panggilan Arwendo), seluruh soal bahasa Inggris saya isi dengan bahasa Jawa," ujar Butet disambut tawa penonton.
Namun Butet tak lama menjadi karyawan. Butet mundur bersamaan dengan tutupnya Monitor, yang membuat Arswendo Atmowiloto mendekam di penjara. Mereka bertemu lagi di dunia seni. Butet Kertaredjasa bertekad mengimitasi hidup Arswendo. "Sudesi, Sukses dengan Satu Istri. Biar istriku senang," ujarnya.