Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hiburan

Batik dari Indonesia. Mengapa Malaysia Selalu Mengklaim?

Perdebatan asal muasal batik antara Indonesia dan Malaysia kembali mencuat. Hari Batik dirayakan pada hari ini.

2 Oktober 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Perdebatan asal muasal batik antara Indonesia dan Malaysia kembali mencuat setelah dipertanyakan oleh YouTuber kondang, IShowSpeed.

  • Antropolog menyatakan kain serupa batik telah digunakan masyarakat Jawa Barat sekitar abad VI dan VIII.

  • Indonesia merayakan Hari Batik Nasional setiap 2 Oktober.

PERDEBATAN antara warga Indonesia dan Malaysia seperti tak ada habisnya, dari soal sepak bola, makanan, sampai batik. Saling klaim soal asal muasal batik memang bukan barang baru. Namun perbantahan kembali mencuat lewat kunjungan IShowSpeed di Malaysia pada pertengahan bulan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat itu, di Kuala Lumpur, YouTuber asal Amerika Serikat dengan 32 juta pengikut itu dihadiahi tujuh potong kemeja batik oleh penggemar. Dia menyebutnya sebagai pakaian tradisional Malaysia. Speed, yang bernama asli Darren Jason Watkins Junior, 19 tahun, kemudian membuka Google di ponselnya dan mendapati informasi bahwa batik berasal dari Indonesia. Namun pendamping lokalnya berkukuh bahwa Malaysia merupakan tempat kelahiran batik. IShowSpeed pun dibuat kebingungan. Kegaduhan antar-netizen kedua negara terus berlangsung hingga sekarang, saat Indonesia merayakan Hari Batik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tangkapan layar YouTuber IShowSpeed yang kebingungan soal asal-usul batik saat live streaming di Malaysia. Youtube/ IShowSpeed

Antropologi bisa menjawab dari mana asal batik. Notty J. Mahdi, antropolog dari Universitas Indonesia yang juga pemerhati wastra Nusantara, mengatakan batik merupakan percampuran berbagai budaya asing yang datang ke Indonesia, lalu melebur dengan budaya masyarakat lokal.

Antara abad VI dan VIII, Notty melanjutkan, masyarakat di Jawa Barat sudah mengenakan kain yang menyerupai batik masa kini dan dipakai untuk upacara-upacara keagamaan. Istilah ambatik—"amba" berarti kain lebar dan "titik"—mulai muncul pada abad XI. “Menurut hasil penelitian saya, kira-kira istilah ambatik digunakan di kerajaan-kerajaan kecil di Jawa Tengah, yang kemudian menjadi mbatik,” kata Notty kepada Tempo, Selasa, 1 Oktober 2024.

Pendapat itu diperkuat oleh Shalihah S. Prabarani, pamong budaya ahli muda Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Menurut dia, seni batik mencapai masa keemasan di Yogyakarta dan Surakarta setelah perjanjian Giyanti—pakta yang membagi Kerajaan Mataram Islam menjadi Kasunanan Surakarta dan Keraton Ngayogyakarta pada 13 Februari 1755. 

Shalihah mengatakan, pada periode tersebut, batik diapresiasi sebagai kain dengan nilai filosofi adiluhung yang erat kaitannya dengan falsafah kejawen. Penggunaannya pun diatur sesuai dengan motif dan struktur sosial pemakainya.

Sejarah panjang tersebut membuat Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menetapkan batik Indonesia sebagai warisan budaya tak benda atau intangible cultural heritage of humanity pada 2 Oktober 2009. UNESCO mengakui bahwa teknik membatik dengan malam atau lilin sebagai perintang warna untuk menciptakan motif dan menggunakan pewarna tertentu yang berasal dari bahan nabati atau bahan lain berasal dari Indonesia. 

Dalam perjalanan ratusan tahun, batik mengadopsi banyak pengaruh asing. "Batik tidak hanya berkembang di Jawa, tapi juga di daerah lain dengan motif setempat," kata Shalihah. Misalnya, batik besurek Bengkulu yang khas dengan nuansa kaligrafi Arab, batik Bali yang mengisahkan para dewa dan berbagai hikayat Hindu, serta motif batik tubo yang melukiskan kehidupan sehari-hari masyarakat Ternate yang lekat dengan rempah-rempah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat ada 5.849 motif batik yang tersebar dari Aceh hingga Papua. Modifikasi lain, termasuk batik berlogo Manchester United yang dikenakan IShowSpeed di Jakarta, pun sah-sah saja.

Musa Widyatmodjo, perancang mode yang banyak melahirkan karya berbahan batik, mengatakan batik melekat pada budaya di banyak daerah di Indonesia. "Digunakan sejak kelahiran sampai kematian," ujarnya.

Proses pembuatan kain batik tulis Tobal di Pekalongan, Jawa Tengah. Dok. TEMPO/Fakhri Hermansyah

Seperti halnya kuliner, tarian, dan produk budaya lain, seni tekstil berkembang secara lintas batas. Maka tak mengherankan batik juga menjadi budaya Malaysia. 

Shalihah mengatakan penyebaran kultur itu merupakan efek pelayaran antarbangsa yang ramai melintasi Selat Malaka sejak abad XI. Awalnya masyarakat setempat menggunakan balok kayu untuk menghasilkan gambar di kain yang menyerupai batik. Pada 1920-an, para pembatik Jawa memperkenalkan penggunaan lilin dan tembaga di kalangan masyarakat pesisir timur Malaysia. Kemudian mereka mengembangkan teknik dan desain sendiri yang bisa diproduksi lebih massal, dengan Batik Indonesia yang dibuat dengan tangan. 

Shalihah menyebutkan pengaruh batik Indonesia paling terasa pada batik Johor. "Mengingat populasi masyarakat pendatang dari Jawa dan Sumatera paling banyak di Malaysia bagian selatan,” kata alumnus Universitas Indonesia ini.

Wilayah lain di Malaysia yang juga dikenal sebagai penghasil batik adalah Kedah. Notty mengatakan awalnya batik semata-mata merupakan barang dagangan. Namun, karena kelewat lama menunggu, sultan yang berkuasa di pesisir barat Malaysia itu mendatangkan perajin batik dari Jawa dan Sumatera sekitar abad XV dan XVI. "Namun ini sebatas sejarah lisan, belum ada bukti tertulis," kata Notty.

Hijrah pembatik seperti itu masih berlangsung. Pada 2004, Notty menjalani penelitian di negeri jiran tersebut dan mendapati sekelompok pembatik Indonesia yang didatangkan oleh pengusaha Malaysia. Para pembatik itu mengatakan taraf hidup mereka meningkat. Anak-anak mereka lebih terjamin pendidikan dan kesehatannya, sementara suami mereka bekerja di perkebunan sawit. "Sementara itu, di Indonesia, mereka hidup susah," kata Notty. "Berapa banyak lagi pembatik yang akan pergi kalau keadaan tidak membaik?"

Desainer batik Era Soekamto menilai klaim Malaysia atas batik tak terlepas dari lemahnya pemahaman masyarakat Indonesia akan sejarah dan budayanya sendiri. Dia mencontohkan banyak orang Indonesia pernah datang dan berfoto di Candi Borobudur, tapi hanya segelintir yang mengenal Samaratungga serta Pramodawardhani.

Maka, Era melanjutkan, masyarakat Indonesia hanya bisa mengomel saat Malaysia menyatakan batik bermotif parang merupakan produk budaya mereka. Padahal motif itu dibuat oleh Panembahan Senopati—raja pertama Mataram—pada abad XV saat bertirakat di Pantai Selatan. "Jadi jangan menyalahkan orang lain, tapi kita yang harus lebih paham budaya dengan membaca sejarah," ujarnya. Hari Batik Nasional menjadi momen yang pas untuk mempelajari budaya batik.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus