Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hutan-hutan Indonesia umumnya merupakan cagar biosfer dan paru-paru dunia. Menyusurinya bisa dengan aktivitas hiking, tracking, maupun arung jeram. Jangan harap vila yang nyaman dan tempat tidur yang empuk, biasanya pengelola hanya menyediakan pemondokan yang sederhana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, bagi wisatawan minat khusus menikmati kicau burung, teduhnya hutan, dan hawa yang sejuk adalah kenikmatan yang mereka buru. Berikut taman-taman nasional yang menyediakan wisata minta khusus dari melihat burung langka, pepohonan, atau sekadar tracking.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cikaniki-Citalahab, Jawa Barat
Hawa sejuk langsung meruap begitu Anda menjejakkan kaki ke dalam hutan hujan tropis Cikaniki-Citalahab. Kesejukan itu semakin lengkap dengan naungan tajuk ratusan pohon raksasa di kanan-kiri sepanjang jalan setapak: rasamala, puspa, beunying, dan kimokla. Semua berdiri rapat. Terasa teduh.
Cikaniki-Citalahab merupakan kawasan wisata hutan tropis yang masuk Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Letaknya di perbatasan wilayah Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor. Kondisi hutannya masih sangat alami, meski salah satu sisinya berbatasan dengan perkebunan teh peninggalan zaman Belanda dan permukiman penduduk.
Dekat dengan Ibu Kota, wajar kawasan ini jadi tujuan wisata alam warga Jakarta, Bandung, dan sekitarnya. Tapi, bukan hanya turis lokal, wisatawan mancanegara juga menggandrungi lokasi ini. "Turis dari Belanda banyak datang ke sini," ujar Suryana, pengelola Citalahab Central, kompleks permukiman warga yang menyewakan fasilitas penginapan bagi pengunjung.
Ada 14 rumah di desa wisata ini yang menyewakan kamar-kamar penginapan dengan harga terjangkau. Di wisma milik Suryana, misalnya, Anda cukup merogoh kocek Rp 75 ribu per malam untuk satu kamar berisi dua tempat tidur. Tarif untuk turis asing Rp 150 ribu. Anda bisa memperoleh makan dan camilan tiga kali sehari dengan menambah Rp 75 ribu. Untuk pemandu, Anda cukup membayar Rp 100 ribu per hari.
Cikaniki-Citalahab menawarkan bermacam obyek wisata, dari jalan-jalan menembus hutan sampai memotret sunrise di perkebunan teh. Sembari trekking, Anda bisa mampir ke sejumlah curug atau danau kecil sekadar mengamati pepohonan, serangga, dan burung. Jika cukup beruntung, Anda bisa menjumpai owa Jawa, lutung, atau surili, tiga jenis primata yang suka bergelantungan di pepohonan.
Apabila Anda gemar pelesir beramai-ramai, ada area perkemahan yang patut dicoba. Warga setempat yang mengelola wisata di sini sedang menyiapkan camping ground seluas dua hektare untuk menambah area berkemah yang telah ada.
Taman Nasional Wasur, Merauke
Kekayaan flora dan fauna membuat Taman Nasional Wasur dijuluki sebagai Serengeti-nya Indonesia. Serengeti adalah taman nasional superlapang di Tanzania, Afrika, yang terkenal karena biodiversitasnya. Terletak di Merauke, ujung barat Indonesia, Wasur—yang ditetapkan sebagai taman nasional pada 1990—berlahan 4.138 kilometer persegi.
Fotografer Komunitas Titik Nol, Muhammad Abdul Syah, yang kerap menyambangi Wasur, menyebut taman nasional itu gudang obyek wisata menarik. Jika Anda ingin berwisata budaya, ada sejumlah kampung suku Kanum yang bisa dikunjungi. "Adat penduduk setempat, yang gemar berburu dan meramu, menarik dipelajari," ujarnya.
Jika ingin tambahan tantangan, bisa saja menyambangi Kampung Rawa Biru, yang memiliki sumber mata air terbesar di Merauke. Dari jalan nasional yang ada di dalam kawasan Wasur, kata Abdul, Anda bisa mencapai Rawa Biru dalam waktu satu jam dengan perahu. Tak mengapa datang malam, karena taman nasional ini buka 24 jam.
Hutan Gunung Tompotika, Sulawesi Tengah
Anda tertarik melihat burung langka maleo bertelur pada malam hari? Anda bisa melihatnya di hutan Gunung Tompotika, Sulawesi Tengah, tepatnya di dekat Desa Taima. Tapi akses ke sana lumayan sulit. Dari Makassar, Anda harus terbang ke Luwuk, Kabupaten Banggai, kemudian menyewa mobil penduduk yang akan memakan waktu satu jam ke lokasi. Selanjutnya adalah trek hutan.
Lokasi lahan konservasi seluas 200 meter persegi ini memang agak jauh dari kota dan sepi. Djoko Iskandar, Ketua Dewan Pembina Yayasan Aliansi Konservasi Tompotika, menyarankan Anda meminta bantuan pemandu. Di konservasi ini cuma ada 10 maleo. Maka, sewaktu melihat mereka, pastikan Anda menjaga jarak agar tidak mengganggu.
Kenapa malam hari? Kata Djoko, ini karena pada waktu itulah maleo merasa aman bertelur. Karena harus malam hari, mau tidak mau Anda mesti menginap. Sayangnya, tidak ada resor, apalagi hotel, di sana. Djoko mempersilakan turis bermalam di rumah penduduk, tapi dengan konsekuensi tidak bisa mandi, karena di sana sulit air.
Yang pasti, tidak ada tarif khusus untuk melihat burung maleo. Selain maleo, di obyek wisata ini ada penyu dan burung gosong. Panorama alam di kaki Gunung Tompotika juga menarik. Ada air terjun dan pemandangan hutan di semenanjung terpencil Sulawesi ini.
Wisatawan sebrangi Canopy Bridge (jembatan gantung antar pohon) di Kawasan Wisata Bukit Bangkirai, Balikpapan, Kaltim, 20 Agustus 2014. ANTARA/Yudhi Mahatma
Bukit Bangkirai, Kalimantan Timur
Menikmati panorama hutan tropis paling bagus di hutan Bukit Bangkirai, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara Timur, Kalimantan Timur. Tidak perlu harus trekking keluar-masuk belukar hutan. Cukup memakai sepatu olahraga, naik tangga yang melilit pohon setinggi 30 meter, dan berjalan-jalan melewati jembatan gantung sepanjang 64 meter yang menghubungkan lima pohon bangkirai setinggi 50 meter, kita bisa menikmati hutan itu.
Bukit Bangkirai adalah kawasan konservasi pohon bangkirai, pohon khas hutan Kalimantan yang semakin langka. Ada koleksi pohon bangkirai berusia lebih dari 150 tahun setinggi 40-50 meter. Hutan seluas 1.500 hektare ini juga menjadi tempat hidup burung-burung migrasi dari Taman Nasional Bukit Soeharto. Kawasan konservasi itu dapat dicapai sekitar satu setengah jam dengan mobil dari pusat Kota Balikpapan.
Dokumen foto Danau Tambing di kawasan Taman Nasional Lore Lindu. ANTARA
Taman Nasional Lore Lindu, Poso
Ingin mendapatkan danau, sungai, gunung, hutan, dan lembah sekaligus? Taman Nasional Lore Lindu jawabannya. Menurut Farchan Noor Rachman, seorang pendaki, Lore Lindu menawarkan bentang alam yang sangat mempesona. Bukan hanya itu, taman nasional yang terletak di Poso ini juga dihuni belasan spesies satwa endemik Sulawesi.
Di jantung Lore Lindu, terdapat danau yang luasnya lebih dari 200 hektare. Danau Lindu dan panorama di sekitarnya disebut Farchan amat cantik. Di sekitar danau, kita bisa melihat gugusan pegunungan Nokilalaki, Adale, Kona'a, Tumaru, Gimba, Jala, Rindi, dan Toningkolue, yang berjajar gagah.
Wisata di Lore Lindu tak sekadar menikmati alam. Anda juga bisa mengunjungi kampung suku asli daerah ini dan menginap di kediaman mereka. Atau, jika waktu berlibur Anda panjang, tak ada salahnya menapakkan kaki ke Kamarora, Doda, dan Bada, yang letaknya tak begitu jauh dari Lore Lindu. Trekking ke empat tempat itu memakan waktu sepekan.
Sementara di Kamarora kita bisa melihat tarsius alias monyet hantu pada malam hari, di lembah Doda dan Bada tersebar banyak batu peninggalan zaman megalitikum. Mengunjungi tempat-tempat ini disarankan pada Juli-September. "Pemandangan di Doda-Bada luar biasa indah. Batu-batunya mirip seperti yang ada di Pulau Paskah," ujar Farchan.
Hutan Arfak, Papua
Hutan Gunung Arfak menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi bird of paradise atau burung surga. Sayangnya, nama keren ini tak berlaku di sana. Masyarakat asli dengan sederhana menyebutnya burung cenderawasih atau burung kuning. Tapi, yang pasti, Arfak merupakan destinasi pengamatan burung cenderawasih terpopuler di dunia.
Untuk menuju ke sana, harus ingat waktu yang pas agar penjelajahan Gunung Arfak tidak sia-sia. Waktu yang tepat adalah pada pagi hari. Datanglah sekitar pukul 8 atau 9 pagi, karena saat itulah burung-burung cantik tersebut terlihat seperti menari dan berdansa di dahan-dahan pohon memamerkan bulu-bulunya yang indah.
Lokasi Arfak berjarak 35 kilometer dari Manokwari, ibu kota Papua Barat. Dari titik awal pendakian hingga ke tempat pengamatan cenderawasih, jaraknya tak terlalu jauh. Sekitar satu setengah jam, Anda akan menyusuri lereng pegunungan yang lumayan terjal. Tak apa, lelah mendaki akan terbayar lunas saat melihat indahnya tarian si burung surga.
Perahu hias Suku Dayak Tamambaloh berlayar melintas di Danau Sentarum pada acara penutupan Festival Danau Sentarum Betung Kerihun di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Sabtu (28/10). ANTARA FOTO/Timotius
Taman Nasional Betung Kerihun, Kalimantan Barat
Kepala Bidang Pengelolaan Betung Kerihun Wilayah II Kedamin, Garendel Siboro, menjelaskan, banyak hal menarik bisa didapat saat mengeksplorasi taman nasional ini. Di antaranya bertemu dengan burung enggang, fauna mistik khas Borneo yang menginspirasi tari tradisional suku Dayak. Ada pula anggrek jenis baru yang mitosnya mengandung zat yang bisa memperpanjang umur.
Bagi mereka yang suka memancing, Betung Kerihun adalah pilihan tepat. Sembari menikmati bentang alam nan cantik, Anda bisa memancing di lokasi khusus. Garendel menyebutkan banyak tangkapan menarik di sungai area taman nasional. Satu di antaranya ikan semah yang berukuran jumbo dan harganya mahal.
Jika ingin tantangan lebih, Anda bisa ber-water trekking di bagian sungai yang mengarah ke hulu Kapuas. Menurut Pengendali Ekosistem Hutan Betung Kerihun, Nur Rohman, trekking menyusuri Sungai Kapuas-Mahakam perlu waktu 7-8 hari. Di perjalanan, tak hanya bertemu dengan bunga bangkai dan rusa, Anda bisa mempelajari budaya Dayak Punan—jika berkunjung ke kampung suku Dayak tertua di Kalimantan itu.
Taman Nasional Manupeu Tanah Daru, Nusa Tenggara Timur
Kawasan taman nasional di bagian barat Sumba ini merupakan habitat terbaik burung-burung Sumba. Di sana ada 123 jenis burung dan 8 jenis burung endemik. Bahkan 14 jenis di antaranya terancam punah.
Manupeu Tanah Daru juga menawarkan kesempatan bertemu dengan rusa Timor dan tujuh jenis kupu-kupu endemik. Perkenalan dengan satwa khas Sumba ditunjang panorama taman nasional yang kaya sabana atau padang rumput. Ada pula sejumlah pantai berpasir putih yang cantik.
Trekking di seluruh wilayah Manupeu Tanah Daru menghabiskan waktu 5 hari 4 malam. Namun, jika Anda sekadar melakukan pengamatan burung, seperti kakatua cempaka, julang Sumba, dan kepodang-sungu Sumba, 2 hari 1 malam sudah cukup. Wisatawan yang ke taman nasional ini memang berprofil wisata minat khusus. Waktu kunjung terbaik adalah Maret-Juni dan Oktober-Desember.
Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Sulawesi Utara
Di bantaran sungai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Gorontalo, kita bisa menjumpai banyak buaya berkaki lima. Konon, buaya-buaya itu bersahabat dengan Pokkambango, pahlawan wong cilik dalam legenda Gorontalo. "Pokkambango, jika bepergian, naik buaya berkaki lima tersebut," ujar peneliti sejarah swadaya Gorontalo, Abdul Wahab. Wahab biasa mendampingi ilmuwan asing melakukan penelitian di Bogani Nani Wartabone.
Di Bogani Nani Wartabone banyak terdapat air panas yang rasanya asin. Salah satu titik idola wisatawan adalah air terjun panas di dalam gua stalaktit. Lokasi itu kerap disambangi penduduk lokal yang mencari air panas untuk diminum dan dibawa pulang.
Di taman nasional seluas 193.600 hektare ini ada "markas" burung khas Sulawesi, maleo. Adapun saat malam, kita bisa melihat langsung tarsius alias monyet hantu. Bila ingin pengalaman berbeda, Anda bisa menyambangi Desa Tua Tinogu, yang ditinggali klan Wartabone keturunan Sultan Bone, Aru Palaka. Desa Tua bisa dicapai dengan berjalan kaki selama sepuluh jam dari gerbang taman nasional. Di sana, Anda bisa menginap di rumah penduduk Wartabone, yang terkenal ramah dan bersahabat.
Sebuah taman tempat Kupu-kupu di Pusat penangkaran kupu-kupu di Taman Nasional Bantimurung, Maros, Sulsel, Jumat 02 Januari 2015. Umur hidup kupu-kupu sangatlah pendek berkisar, seminggu. Namun ada beberapa spesies kupu-kupu yang mampu hidup hingga setahun lamanya.TEMPO/Iqbal Lubis
Bantimurung , Sulawesi Selatan
Di Sungai Salenrang, pohon-pohon bercahaya ketika malam. Bukan oleh pantulan cahaya bulan atau lampu-lampu di pohon Natal, melainkan oleh kunang-kunang. Serangga itu beterbangan di tanaman bakau yang berjela-jela di sepanjang sungai di Dusun Rammang-rammang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan—50 kilometer dari Makassar. Mereka juga tak sungkan hinggap di tangan manusia yang berada di sekitar pohon itu.
Sungai yang gelap dan sepi itu pun terang hingga cahayanya terbantun di ombak payaunya yang tenang. Menurut Daeng Baco, penduduk setempat, jumlah kunang-kunang bertambah saat musim hujan seperti hari-hari ini, memenuhi garis sungai yang bermuara di gua-gua pegunungan karst Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung seluas 40 ribu hektare.
Bantimurung tak hanya menyimpan 256 spesies kupu-kupu hingga dijuluki Alfred Wallace sebagai "Kingdom of Butterfly", tapi juga merupakan "Kingdom of Firefly", kerajaan kunang-kunang untuk wisata hutan tengah malam.