Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Ini Dia 5 Destinasi Wisata Sejarah Ikonis Jakarta

Pada usia hampir 500 tahun, Jakarta memiliki beragam peninggalan sejarah, terutama pada era Batavia. Berikut 5 objek wisata sejarah ikonis di Jakarta.

25 Juni 2020 | 09.36 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pengunjung melintas di depan restoran yang kembali buka di Kota Tua, Jakarta, Sabtu, 20 Juni 2020. Kawasan wisata Kota Tua yang dijadwalkan dibuka untuk umum pada 20 Juni ditunda, tapi sejumlah museum di kawasan wisata Kota Tua telah dibuka kembali untuk umum dengan menerapkan protokol kesehatan bagi pengunjung. ANTARA FOTO/Galih Pradipta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Jakarta dengan usia nyaris setengah milenium, menjadi salah satu megapolitan dunia yang bersejarah. Kota yang dulunya bernama Sunda Kelapa, sebuah pelabuhan di wilayah Kerajaan Sunda, menjadi salah satu pusat perdagangan rempah dunia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada usianya yang ke-493, bangunan-bangunan Belanda pada era Batavia, terus dipelihara. Wisatawan bisa mengunjungi Kota Tua Jakarta, untuk menikmati romansa Jakarta, saat jadi pusat perdagangan rempah dunia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dinukil dari ANTARA, berikut beberapa tempat ikonik dalam tur virtual bersama Atourin.

Pelabuhan Sunda Kelapa
Sebelum dinamakan Jakarta, kota ini bernama Sunda Kelapa karena berada di bawah kekuasaan kerajaan Sunda serta ditumbuhi banyak pohon kelapa. Nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta setelah Fatahillah merebut kekuasaan.

Pengunjung berjalan-jalan di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, Selasa, 12 Juni 2018. Pelabuhan ini juga menjadi salah satu tujuan wisata di utara DKI Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan

Selma Isnaini, pemandu dari Wisata Kreatif Jakarta, menyarankan wisatawan untuk datang ke pelabuhan Sunda Kelapa sebelum petang agar tidak bersamaan dengan proses bongkar muat barang ke kapal-kapal kayu.

Pelabuhan Sunda Kelapa, kerap dijadikan objek foto bagi penggemar fotografi. Selain itu, wisatawan bisa mencoba menaiki kapal besar melewati jembatan bambu di pelabuhan. Banyak juga nelayan dengan perahu kecil menawarkan jasa mengantarkan turis menyusuri dermaga.

Menara yang jadi bagian Museum Bahari ini dulu berfungsi sebagai menara pantau utama yang mengontrol keluar masuknya kapal, yang disebut Menara Syahbandar. Nama Syahbandar diambil dari istilah profesi pengawas menara, "Menaranya agak miring, kadang disebut menara miring," ujar dia.

Kemiringan menara yang dibangun pada 1839 ini disebabkan usia getaran dari kendaraan berat yang melewati jalan di sampingnya, "Setiap tiga tahun sekali, miring 0,3 derajat," imbuh dia.

Warga saat mengunjungi Museum Bahari, Jakarta, 23 Januari 2018. Setelah dilanda kebakaran beberapa waktu lalu, Museum Bahari, akhirnya resmi dibuka kembali. TEMPO/Subekti.

Dulu, orang-orang masih bisa naik hingga ke puncak menara. Namun Selma menuturkan tahun lalu bagian atasnya ditutup karena menara semakin miring. Menara Syahbandar dulu merupakan tempat titik nol kilometer Jakarta sebelum dipindahkan ke Monas.

Museum Bahari
Dulu kala, saat Batavia menjadi pusat perdagangan rempah dunia, gedung yang saat ini menjadi Museum Bahari merupakan kompleks pergudangan rempah. 

Museum ini menyimpan koleksi miniatur kapal serta sejarah Indonesia pada masa pendudukan Belanda. Mengingat museum ini dulu berfungsi sebagai gudang rempah, bangunannya dilengkapi dengan banyak jendela agar sirkulasi udara lancar.

Pengunjung memadati pelataran di sekitar Museum Fatahillah, Kota Tua, Jakarta, Selasa, 20 November 2018. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Kota Tua
Museum Sejarah Jakarta alias Museum Fatahillah adalah bangunan mencolok yang ada di Kota Tua. Bangunan yang dulu berfungsi sebagai Balai Kota Batavia atau Stadhuis van Batavia itu, memiliki beragam fungsi administrasi pemerintahan pada masanya.

Pada tanggal 30 Maret 1974, bangunan ini kemudian diresmikan sebagai Museum Fatahillah. Museum itu menyimpan koleksi perjalanan sejarah Jakarta. Gedung ini memiliki penjara bawah tanah yang pernah ditempati oleh Pangeran Diponegoro dan Cut Nyak Dien sebelum mereka diasingkan ke kota lain.

Lapangan di depan Museum Fatahillah jadi tempat berkumpul sekaligus tempat mempertontonkan proses eksekusi tahanan. Ketika eksekusi berlangsung, semua orang di sana mau tidak mau harus menjadi saksi mata.

Gedung Chandra Naya, situs cagar budaya yang berada dalam komplek Hotel Novotel. Foto: @novoteljakartagajahmada

Gedung Chandra Naya
Di dalam area Novotel Gajah Mada, terdapat gedung bersejarah bernama Chandra Naya. Cagar Budaya ini merupakan rumah milik kapiten China terkaya pada masanya. Pengunjung bebas mengunjungi Candra Naya yang pernah didiami keluarga Khouw van Tamboen, tanpa dipungut bayaran. Namun tak diizinkan untuk berswafoto ataupun memotret interior rumah tersebut. 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus