Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta- Di pintu selatan komplek Masjid Kauman Sri Sultan Hamengku Buwono X menendang setumpukan batu bata. Batu bata yang disusun sekitar dua meter itu ambruk berserakan. Ribuan warga mengikuti dengan berdesakan, berebut, berusaha mendapatkan batu bata-batu bata itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Warga Yogyakarta dalam tradisi mataraman percaya bekas batu bata yang dijejak oleh Sultan bisa membawa berkah jika dijadikan material rumah. "Saya berhasil dapat satu bata utuh, akan saya pakai membangun fondasi rumah biar prengkuh (kuat)," kata Paryanto, 45, warga Wonosobo, Jawa Tengah, Kamis, 30 November 2017, malam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prosesi Jejak Beteng hanya dilakukan sekali dalam satu windu, yakni pada tahun Dal atau tahun kelima dalam kalender tahun Jawa. Jejak Benteng pada tahun 1951 Dal ini dilangsungkan di pintu selatan komplek Masjid Kauman. "Ceritanya, Jejak Beteng ini untuk mengingat Sultan HB II dulu ketika sedang salat di masjid lalu ada musuh yang mengepungnya, lalu lari kembali ke keraton dengan cara menjebol tembok," ujar Maryono, 52, seorang sesepuh prajurit keraton.
Paryanto yang malam datang ke Yogyakarta, mengikuti acara Grebeg Maulid Nabi Muhammad di Keraton Yogyakarta. Ia masuk kerumunan dan ikut berebut batu bata yang telah dijejak oleh Sultan. Seumur hidup, Paryanto sudah tiga kali mengikuti prosesi Jejak Beteng. Pertama kali ia ikut pada usia 21 tahun.
Sri Lestari, 63 tahun, warga Banguntapan Kabupaten Bantul, Yogyakarta tak berhasil mendapat bata. Tapi ia mengambil pasir sisa-sisa beteng yang berserak. "Saya takut jatuh dan terluka diinjak-injak orang lagi seperti pas rebutan delapan tahun lalu," kata dia. "Pasir ini saja cukup untuk syarat campuran membangun rumah."
Sri mengaku merasakan manfaat bata dari prosesi Jejak Beteng. Seperti Paryanto. ia sudah tiga kali mengikuti prosesi itu. "Rumah saya kuat, pas gempa tahun 2006 juga tetap kuat, nggak rusak dan roboh," kata dia.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, sehari sebelum perayaan Maulud Nabi di Kraton, Gerebeg Maulud ditandai dengan ritual Kundur Gangsa. Prosesi mengembalikan dua gamelan pusaka Kraton, Kanjeng Kyai Gunturmadu dan Kanjeng Kyai Nagawilaga, dari Pagongan Masjid Gedhe Kauman ke dalam keraton. Maulud di Kraton Yogyakarta ditandai penabuhan dua pusaka itu selama tujuh hari.
Grebeg Maulud dilangsungkan pada Jumat 1 Desember 2017 di alun-alun utara kraton Yogyakarta. Ribuan orang berdatangan sejak pagi memadati komplek Kraton, Alun Alun Utara, dan Masjid Gedhe Kauman. Mereka ingin melihat gunungan-gunungan yang diarak para prajurit Kraton untuk dibagikan ke berbagai titik.
Adik Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gusti Bendoro Pangeran Haryo Yudhaningrat, selaku Manggala Yudha Prajurit Kraton memimpin prosesi Gerebeg Maulud. "Melalui peringatan Maulud Nabi ini kami berdoa agar bencana akibat cuaca di Yogya tidak bertambah parah," ujar Yudhaningrat ditemui Tempo di sela prosesi.
Prosesi Grebeg Maulud tahun ini berbeda dengan adanya gunungan tambahan, yakni Gunungan Bromo. Kalau tujuh gunungan lain berisi hasil bumi, Gunungan Bromo disusun lebih tinggi, juga mengeluarkan asap. "Gunungan Bromo ini sebagai simbol untuk penghormatan pada gunung berapi," ujar Yudha.
Gunungan Bromo pun mendapat perlakuan berbeda dari gunungan lain. Bromo dibawa ke Masjid Gedhe Kauman, lalu diarak ke dalam kraton.
Begitu pula perlakuan terhadap pusaka-pusaka kraton. Tahun ini seluruh pusaka dikeluarkan dari Bangsal Proboyekso. Tapi karena bertepatan dengan hari Jumat, Sultan memerintahkan pusaka diarak hanya sampai Bangsa Kencono, atau bagian depan kraton.
PRIBADI WICAKSONO