Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Kisah Taman Wisata Alam Tinggi Raja, Amanat Para Raja Simalungun

Dulu, Dolok Tinggi Raja adalah kawasan cagar alam di Medan. Namun kini, sebagian wilayah Dolok Tinggi Raja menjadi taman wisata alam.

5 Juli 2019 | 12.46 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pengunjung menikmati keindahan Kawah Putih Tinggi Raja pada Ahad, 2 Juni 2019. Wisatawan bisa menikmati aliran air panas belerang, memandang hamparan dan tumpukan batuan kapur berwarna dominan putih, hijau muda, dan coklat di atas sungai. TEMPO/Abdi Purmono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Medan - Dolok Tinggi Raja adalah sebuah tempat yang terletak di Desa Dolok Merawa, Kecamatan Silau Kahean, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Lokasinya masih dalam wilayah kewenangan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam atau BBKSDA Sumatera Utara yang terpisah jarak 90 kilometer dari pusat Kota Medan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dulu, Dolok Tinggi Raja adalah kawasan cagar alam. Namun kini, sebagian wilayah Dolok Tinggi Raja menjadi taman wisata alam. Para pelancong perlu mengetahui status ini agar tak salah kaprah ketika berkunjung lantaran statusnya sudah berubah dari cagar alam yang tak boleh disentuh sama sekali, menjadi taman wisata alam.

Di masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, Cagar Alam Dolok Tinggi Raja merupakan kawasan Hutan Lindung Sianak-anak I dan Hutan Lindung Sianak-anak II. Kedua kawasan konservasi ini masing-masing ditetapkan sebagai hutan lindung pada 1916 dan 1918. Penetapannya dilakukan berdasarkan hasil kesepakatan bersama raja-raja di Simalungun.

Lantaran keunikan ekosistem dan keanekaragaman hayati yang dimilikinya, maka raja-raja di Simalungun bersepakat lagi untuk meningkatkan status kedua hutan lindung tersebut menjadi cagar alam seluas 167 hektare. Kesepakatan ini diterakan dalam bentuk Zeelfbestuur Besluit No. 24 Tanggal 18 April 1924.

Pengunjung menikmati kehangatan air di objek wisata Kawah Putih Cagar Alam (CA) Dolok Tinggi Raja, Desa Dolok Merawa, Kecamatan Silau Kahean, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara, Ahad, 2 Juni 2019. Pada 2017, cagar alam itu berubah status menjadi Taman Wisata Alam (TWA) Dolok Tinggi Raja yang pengelolaannya menjadi tanggung jawab Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Sumatera Utara. TEMPO/Abdi Purmono

Tinggi Raja ditetapkan jadi cagar alam bersama Cagar Alam Batu Gajah. Batu Gajah terletak di Dusun Pematang, Desa Negeri Dolok, Kecamatan Dolok Panribuan, di kabupaten yang sama. Luas cagar alam Batu Gajah hanya 0,80 hektare.

Bagaimana bisa raja-raja Simalungun menetapkan sebuah kawasan konservasi sebagai hutan lindung maupun cagar alam di saat rezim Hindia Belanda berkuasa?

Pertanyaan itu bisa dijawab dengan membaca artikel berjudul Peran Sultan dan Raja dalam Penunjukan Kawasan Konservasi dan Pelestarian Jenis (1920-1938) di laman Direktorat Pemolaan dan Informasi Konservasi Alam (PIKA) Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).

Pemerintah Hindia Belanda di masa itu mengakui para sultan dan raja sebagai kepala pemerintahan kesultanan dan kerajaan yang memiliki otonomi daerah sehingga mereka memiliki wewenang untuk menunjuk kawasan konservasi di bagian-bagian wilayah sebagai cagar alam (natuurmonument) maupun suaka margasatwa (wildreservaat) untuk melindungi kekayaan alam Hindia Belanda yang perlu dilestarikan.

Sesuai dengan sistem pemerintahan yang berlaku di masa itu, penunjukan kawasan konservasi oleh sultan atau raja harus diketahui oleh pengawas daerah (controlleur), dinas kehutanan (dienst van het boschwezen), asisten residen, dan residen, serta harus disetuji oleh gubernur.

Penunjukan kawasan konservasi di luar Pulau Jawa dalam peraturan perundangan waktu itu dikenal istilah ZB (zeelfbestuur besluit). ZB merupakan surat keputusan bersifat otonom yang diterbitkan oleh tingkat pemerintahan yang diwakili oleh gubernur dan raja/sultan yang diberi kewenangan untuk menerbitkan surat keputusan dalam menunjuk kawasan konservasi.

Pengunjung menikmati keindahan Kawah Putih Tinggi Raja pada Ahad, 2 Juni 2019. Objek wisata ini berada di dalam kawasan Cagar Alam Dolok Tinggi Raja seluas 176 hektare, yang 4 hektare di antaranya merupakan zona manifestasi panas bumi berupa mata air panas yang dikelilingi endapan travertin (batu kapur). TEMPO/Abdi Purmono

Surat keputusan yang diterbitkan mengacu pada peraturan, antara lain, Undang-Undang Cagar-Cagar Alam (Natuurmonumenten Ordonnantie) 1916 No. 278; Undang-Undang Perlindungan Binatang (Dierenbescherming Ordonnantie) 1931 No. 134; serta Undang-Undang Cagar-Cagar Alam dan Suaka-Suaka Margasatwa (Natuur-monumenten en Wildreservaten Ordonantie) 1932 No. 17.

Sejak dulu sampai sekarang, orang-orang sebenarnya dilarang sembarangan memasuki kawasan Tinggi Raja karena statusnya sebagai cagar alam. Di masa kini, larangan itu mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

"Memang sebenarnya siapa pun dilarang masuk kawasan konservasi seperti Tinggi Raja jika tujuannya ke sana tidak berkaitan dengan fungsi kawasan,” kata Kepala BBKSDA Sumatera Utara Hotmauli Sianturi kepada Tempo, Kamis pagi, 4 Juli 2019.

Dalam UU Konservasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 disebutkan kegiatan pemanfaatan yang bisa dilakukan dalam kawasan cagar alam hanya riset dan pengembangan sains, pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam, penyerapan atau penyimpanan karbon, serta pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk menunjang budidaya.

Faktanya, cagar alam Dolok Tinggi Raja sudah kerap dikunjungi banyak orang sejak dekade 1980. Sebagian besar pengunjung yang datang untuk melihat dan menikmati kawah putih, sebutan untuk sumber air panas bercampur belerang yang dikelilingi travertin atau endapan kapur.

Waktu itu, semburan air panasnya bisa setinggi dua sampai 2,5 meter dengan volume air bisa dua tong sekali sembur, serta hampir seluruh area sekitar mata air panas memutih akibat endapan kapur yang luas. Endapan kapurnya pun sangat tebal dan berteras-teras mirip model pertanian terasering. Dominasi warna putih menjadi rujukan para pengunjung untuk menyebut hamparan kapur itu sebagai salju panas.

Menurut Yanti Supri, seorang pengunjung dari Kecamatan Bangun Purba, Kabupaten Deli Serdang, lokasi Kawah Putih sering dijadikan tempat pemotretan pre-wedding. Banyaknya wisatawan merupakan fakta yang tak bisa dipungkiri dan sekaligus bukti besarnya potensi Tinggi Raja sebagai destinasi wisata.

Kenyataan inilah yang menjadi dasar Pemerintah Kabupaten Simalungun saat mengusulkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan supaya sebagian kawasan diubah fungsinya sebagai kawasan wisata. Usulan disampaikan beberapa tahun silam, sebelum Hotmauli menjabat Kepala BBKSDA Sumatera Utara.

Pemerintah Kabupaten Simalungun melibatkan tim Kebun Raya Bogor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk menguatkan dalil usulan. Hasil penelitian menyebutkan Kawah Putih Tinggi Raja layak dijadikan sebagai objek wisata seperti halnya Kawah Putih Ciwidey di Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Usulan Pemerintah Kabupaten Simalungun disetujui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya kemudian keluar Surat Keputusan tentang Perubahan Fungsi dalam Fungsi Pokok Kawasan Hutan dari Sebagian Kawasan Cagar Alam Dolok Tinggi Raja menjadi Taman Wisata Alam. Surat keputusan ini ditandatangani Menteri Siti Nurbaya pada 18 September 2018.

Kawasan yang ditetapkan jadi tawan wisata alam seluas 60,94 hektare atau 36,5 persen dari total luas cagar alam Dolok Tinggi Raja, dengan Kawah Putih sebagai pusatnya. "Kawasan yang jadi taman wisata alam meliputi kolam-kolam yang airnya biru, tidak sampai ke zona inti yang masih ditumbuhi pohon-pohon besar," ujar Hotmauli.

Dia memastikan, penetapan taman wisata alam sudah disosialisasikan kepada masyarakat. Sejak ditetapkan sebagai taman wisata alam, siapa pun yang masuk ke Dolok Tinggi Raja dikenai tarif Rp 5.000 sebagai pendapatan negara bukan pajak (PNBP).

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus