Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Yang menarik dari Flores, selain bentang alam, kopi, dan kekayaan bahasa, adalah pola kehidupan masyarakatnya. Sebab, beberapa di antaranya masih mempertahankan pola hidup mengelompok dan menjunjung adat-istiadat yang diwariskan dari nenek moyang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka umumnya tinggal di kampung-kampung adat. Sejumlah kampung adat membuka diri untuk masyarakat luar. Satu di antaranya sukses mendunia dan diakui oleh UNESCO sebagai situs warisan dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berikut ini tiga kampung adat Flores yang menjadi primadona wisatawan.
Kampung BenaKampung adat Bena, Flores. Tempo/Francisca Christy Rosana
Di tengah Pulau Flores, tepatnya 19 kilometer di sisi selatan Bajawa, masih di Kabupaten Ngada, berporoskan Gunung Inerie (2245 mdpl), kampung adat yang lekat mengesankan kehidupan zaman batu atau megalitikum bisa dijumpai.
Di tanah adat itu, sekitar sembilan suku yang terdiri atas 326 orang menempati 45 rumah kayu yang dibangun sejajar dan berhadap-hadapan. Sembilan suku itu adalah Bena, Dizi, Dizi Azi, Wahto, Deru Lalulewa, Deru Solamae, Ngada, Khopa, dan Ago.
Pembedanya, rumah mereka dipisahkan oleh tingkatan-tingkatan. Masing-masing suku menempati satu tingkat. Tingkat paling tengah dihuni oleh suku Bena. Sebab, suku itu dianggap paling tua dan menjadi pionir pendiri kampung.
Pelancong, jika kali pertama menginjakkan kaki di sana, bakal merasa memasuki lorong waktu dan menatap kehidupan masa lalu. Sebab, modernisasi minim dirasakan.
Pun, orang-orang masih cukup mempertahankan budaya lampau, layaknya mengunyah sirih pinang, melakoni aktivitas berladang, dan menenun kain tradisional. Tak seperti di kota, satu-satunya kemewahan yang dirasakan penduduk yang menganut paham matrilineal itu adalah bercengkerama satu sama lain.
Tentu sambil menikmati pemandangan berupa barisan pegunungan yang mengelilingi kampung tersebut. Komunikasi antarsuku berlangsung menggunakan bahasa daerah, yakni Nga’dha.
Perlu perjalanan darat kurang lebih 9 jam dari Labuan Bajo untuk menjangkau lokasi ini. Atau, bisa juga menggunakan jalur udara menuju Bandar Udara Soadi, dilanjutkan perjalanan darat kurang lebih satu jam.
Kampung Wae Rebo
Tujuh rumah kerucut berjuluk mbaru niang—yang dipercaya merupakan warisan nenek moyang dari Minang—berdiri gagah di puncak gunung sebuah desa bernama Wae Rebo yang berlokasi di daratan Flores, Nusa Tenggara Timur. Ketujuhnya disusun melingkar, membentuk sebuah perkampungan mini yang misterius.
Rumah itu menjulang tinggi, mencapai 15 meter. Di dalamnya bercokol ruangan lima lantai, tempat segala aktivitas penghuninya dilakukan. Tiap tingkat memiliki makna berlainan.
Tingkat pertama disebut luntur. Biasanya digunakan untuk tempat berkumpul keluarga. Tingkat kedua adalah loteng atau lobo. Fungsinya untuk menyimpan logistik dan kebutuhan sehari-hari. Tingkat ketiga ialah lentar, yakni tempat untuk menyimpan benih tanaman.
Selanjutnya, tingkat keempat disebut lempa rae, digunakan untuk menyimpan stok makanan bila tengah terjadi kekeringan. Terakhir, kelima, yakni hekang kode, biasanya dipakai untuk tempat sesaji.
Selain bangunan yang unik, kehidupan masyarakatnya patut disoroti. Sehari-hari, mereka melakukan aktivitas yang tak jauh-jauh dari tempat tinggalnya. Para perempuan, misalnya, menenun kain. Sementara para lelaki menjadi peladang.
Komoditas utama yang dihasilkan ialah kopi. Sayangnya, masyarakat belum cukup informasi untuk mengetahui cara merawat kopi dengan baik, termasuk ihwal menjemur dan menumbuk kopinya.
Menjangkau desa yang sudah terdaftar dalam konservasi warisan budaya UNESCO Asia-Pasifik ini tidak mudah. Pelancong harus menuju Desa Denge, yang bisa ditempuh sekitar 2 jam dari Ruteng, menggunakan kendaraan bermotor atau mobil. Setelahnya, jalur ditempuh dengan mendaki kurang lebih 3-4 jam dengan medan cukup ekstrem.
Kampung Gurusina
Tak hanya Bena, Kabupaten Ngada juga punya Kampung Gurusina. Letaknya di Desa Watumanu, Jerebu’u, masih di kaki Gunung Inerie.
Kampung tersebut ditengarai sudah ada sejak 5.000 tahun lalu dan digadang-gadang menjadi yang tertua di tanah bunga, Flores. Di sana, berdiri 33 rumah yang dihuni oleh tiga suku besar: Kabi, Agoazi, dan Agokae.
Penataan rumahnya mirip dengan yang ada di Kampung Bena, yakni berjajar dan berhadap-hadapan. Mata pencahariannya pun hampir sama. Mereka, para lelaki, menjadi peladang cengkeh, kemiri, kakao, dan jambu mete.
Hanya, tradisi masyarakatnya yang membikin kampung ini memiliki ciri khas unik. Di sana, setiap keluarga menyimpan ari-ari anaknya di dalam batok kelapa, lantas ditempatkan di dahan pohon yang paling tinggi dan rindang. Dengan tradisi ini, anak-anak dipercaya akan menjadi penurut dan pelindung. Juga, kelak dapat menyemai perdamaian di mana pun.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA
Berita Lain: