Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Langit biru dan sinar matahari yang membakar kulit, serta deburan ombak menyambut wisatawan pada siang itu. Puluhan umat Hindu duduk bersila di Pura Segara Wukir tepi Pantai Ngobaran, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka bersembahyang dengan khusyuk. Hampir setiap hari pura ini kedatangan umat Hindu dari berbagai daerah untuk beribadah. Di dekat pura itu berdiri candi yang stupanya mirip Candi Borobudur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berjarak 400 meter dari candi, terdapat musala. Tempat peziarah ada di balik karang-karang raksasa di pinggir pantai. Dari lokasi peziarah ini, pengunjung bisa melihat cekungan air tawar yang biasa digunakan untuk mandi.
Pantai Ngobaran di Desa Kanigoro Kecamatan Saptosari menjadi simbol keberagaman dan keterbukaan. Di pantai ini, setiap orang bisa mampir ke tempat-tempat peribadatan itu, untuk melihat praktek toleransi. Harmoni terjaga karena peran kelompok sadar wisata atau Pokdarwis Sido Rukun, gerakan sadar wisata sekitar pantai tersebut.
Umat Hindhu membawa kembali air yang sudah didoakan dan diberkati untuk diletakan di Pura mereka seusai ritual larung sesaji pada upacara Melasti di Pura Segara Ukir, Pantai Ngobaran, Gunung Kidul, Yogyakarta, 22 Februari 2016. Enam sifat buruk yang dimaksudkan, yakni kama atau nafsu biologis, rakus, kemarahan, Madha atau kemabukan, kebingungan, serta dan sikap iri hati. TEMPO/Pius Erlangga
“Saling menjaga dan tidak membeda-bedakan agama maupun aliran kepercayaan. Semua kami terima,” kata Ketua kelompok sadar wisata Sido Rukun, Iswanto kepada Tempo, Selasa, 29 Oktober 2019.
Pantai Ngobaran berjarak tempuh 60 kilometer dari pusat Kota Yogyakarta atau perlu 90 menit untuk menjangkaunya dengan kendaraan roda dua dan mobil. Selain kental dengan simbol keberagaman, pantai ini juga berada di daerah karst, kaya akan batu karang, dan berpasir putih. Tebing-tebing dengan bebatuan kapur menjulang, membuat pantai ini indah.
Menurut Iswanto, di pantai tersebut setiap orang dengan latar belakang agama dan kepercayaan yang beragam, hidup nyaman berdampingan. Pura Segara Wukir yang dibangun pada 2004 oleh umat Hindu digunakan untuk upacara Melasti, yakni ritual penyucian menjelang Hari Raya Nyepi umat Hindu.
Dalam sejarahnya, Raja Brawijaya penguasa kerajaan Majapahit melakukan napak tilas di Pantai Ngobaran. Itu mengapa tempat ini menjadi tujuan umat Hindu dari berbagai tempat. Mereka yang datang beribadah, kata Iswanto kebanyakan datang dari Bali, Medan, dan Jakarta. “Hampir setiap hari ada umat Hindu yang sembahyang di pura,” kata Iswanto.
Umat Hindu dan para pemuka melakukan ritual penyucian diri di Pantai Ngobaran, kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, Senin (25/2). Ritual penyucian diri merupakan bagian dari upacara Melasti sebagai salah satu rangkaian perayaan hari raya Nyepi 1935 Saka yang akan jatuh 12 Maret 2013 mendatang. TEMPO/Suryo Wibowo
Selain umat Hindu, penganut aliran kepercayaan Kejawen juga bisa menjalankan keyakinannya di Candi Moyodipo. Penganut Kejawen menjalankan ritual, di antaranya menenangkan diri dan bertapa di sekitar petilasan.
Pantai Ngobaran juga menyelenggarakan seremoni Tahun Baru Jawa 1 Suro dan Labuhan setiap satu tahun sekali. Ada pula upacara nyadran setiap musim tanam tiba. Ritual Nyadran merupakan wujud syukur. Warga pantai menyajikan ingkung ayam dan makanan pendukung.
Umat Muslim pun bisa menjalankan ibadah salat di musala yang tak jauh dari Candi Moyodipo. Musala itu berdiri sejak 2004. Iswanto menuturkan selama ini tak pernah ada benturan. Pasalnya kelompok sadar wisata yang anggotanya berjumlah 65 orang itu, selalu menekankan kepada warga dan pengunjung agar saling menghormati perbedaan.
Peneliti Indonesian Consortium for Religious Studies Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Masthuriyah Sa’dan mengatakan bangunan tempat ibadah di Pantai Ngobaran unik, karena mencerminkan pluralitas dan toleransi. Di satu lokasi pantai terdapat dua bangunan tempat ibadah dua agama. “Sangat jarang menemukan tempat yang seperti itu karena kondisi masyarakat Indonesia dewasa ini rendah toleransi,” kata dia.
Ratusan umat Hindhu dari seluruh Pura di Yogyakarta berjalan dengan membawa gunungan berisi hasil bumi menuju Pura Segara Ukir Pantai Ngobaran, Gunung Kidul, Yogyakarta untuk melangsungkan Upacara Melasti, Gunung Kidul, Yogyakarta, 22 Februari 2016. Upacara Melasti biasanya diawali arak-arakan Pratima dengan gunungan yang diiringi seni jathilan, tetabuhan seni tektek. TEMPO/Pius Erlangga
Dia juga menghormati tempat-tenpat keramat, di antaranya petilasan untuk para peziarah karena menggambarkan keselarasan atau harmoni hidup antara manusia, alam, dan Tuhan. Petilasan menyimbolkan animisme dan dinamisme. Dia prihatin karena kalangan intoleran kerap melabeli ritual-ritual peziarah sebagai musyrik atau syirik. Kelompok intoleran ini melakukan aksi perusakan di sejumlah tempat.
Pada 2018, kelompok intoleran merusak upacara sedekah laut di Pantai Baru Kabupaten Bantul. "Padahal, ritual-ritual itu termasuk puncak keyakinan kepada yang tidak tampak atau Tuhan dalam wujud yang berbeda,” kata Masthuriyah yang juga pengunjung Pantai Ngobaran.
SHINTA MAHARANI