Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hiburan

Perjalanan Panjang Bernama Pernikahan

Setelah pernikahan, ternyata, perjalanan hari itu masih panjang.

2 Agustus 2018 | 16.28 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pagi itu, tak biasanya Mama cemberut. Padahal, hari itu merupakan hari spesial untuk kami, atau khususnya untuk saya yang sedang berulang tahun dan akan melangsungkan pernikahan pada hari yang sama. Namun, bukannya ucapan selamat atau kecupan yang saya dapatkan dari Mama, melainkan…

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“TADI MALAM DARI MANA?”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aduh, gawat, sepertinya saya akan kena amuk sebentar lagi. Menghadapi seorang wanita yang sedang emosi, apalagi gemini, saya setuju dengan Slank yang bilang ‘ngebohong salah, jujur malah tambah salah’, namun berbekal pelajaran PMP yang saya dapatkan sewaktu kecil, saya memilih untuk jujur “Nganu…nganu, Mah. Semalam aku tidur sama Galang.”.

Jujur, bahwa saya tidur dengan pria lain di malam sebelum pernikahan saya.

“KAMU ITU…”

“Ganteng?” Saya berbisik.

“…BUKANNYA TIDUR SAMA MAMA, MALAH SAMA GALANG!”

Oh, ternyata Mama cemburu. Saya menunduk dan membatin, wajar bila Mama kesal, karena saya lebih memilih tidur bersama pria yang baru saya kenal tiga tahun dibanding bersamanya yang sudah membesarkan saya selama 3o tahun. Di hari terakhir saya melajang, mungkin Mama berpikir bahwa saya seharusnya meluangkan lebih banyak waktu bersamanya, bukan malah tidur dengan pria brengsek seperti Galang.

“Maaf Ma, aku pikir semalam kamarnya ramai.” Saya beralasan, karena memang ada banyak saudara yang menginap di Hotel Wirton ini. “Jadi aku tidur sama Galang deh di bawah.”

YA UDAH, BURUAN MANDI, TERUS DI-MAKE UP-IN!

Perjalanan di Hari Pernikahan – 14 Februari 2016

06.20

Saya menyelesaikan mandi sunnah, tanpa sempat buang air besar karena diburu-buru keadaan. Berikutnya, saya berpakaian dengan segera. Setelan jas menjadi pilihan saya untuk akad, supaya terlihat rapi dan profesional. Bukan setelan jas yang dijahit custom sesuai ukuran badan, namun setelan jas yang dibeli di mal karena diskon.

“Ayo kalau sudah buruan dibedakin.”

“Aduh.”

06.30

Proses bedak-membedak ini ternyata berlangsung singkat, tidak sakit, dan tidak menimbulkan trauma masa kecil bagi saya. Setelah selesai, saya tampak seperti seorang eksekutif muda dengan wajah yang putih dan leher yang hitam muda.

“Sebentar, pakai lipstick dulu, Mas.”

Saya pasrah, ketika sebuah lipstick mendarat di bibir saya yang ranum. Tanpa peduli apakah itu lipstick 50.000 atau 500.000, saya menikmatinya.

07.10

Saya telah siap, Mama dan keluarga pengiring calon pengantin pria telah selesai didandani dan dibedaki. Tidak sepucat mayat, dan tidak seputih Sinta, riasan hari itu terasa pas di wajah. Apalagi di wajah Mama yang sudah tidak cemberut, riasan tersebut sangat terlihat cantik.

“Kalau sudah siap, langsung kumpul di bawah ya.” Pinta salah seorang kru dari wedding organizer yang bertugas pada hari itu.

Aduh, mana belum sarapan pula. Untung saja semalam saya sudah cukup puas melahap sepasang ayam

McDonald’s.

07.30

Tak berapa lama, dan tanpa drama, kami telah siap di lobi Hotel Wirton. Dengan para pria yang mengenakan setelan jas gelap semua, kami lebih mirip serombongan mafia dibanding rombongan pengantar pengantin. Untung saja, para wanitanya mengenakan pakaian muslimah, sehingga kami menjadi terlihat seperti rombongan mafia syariah.

07.40

Sebenarnya, Masjid Nurul Jamil yang menjadi lokasi resepsi pernikahan saya saat itu dapat dicapai dengan berjalan kaki dari hotel, namun berhubung banyak yang bilang “Masa pengantin kok jalan kaki.”, akhirnya kami bergerak menuju masjid dengan menggunakan mobil pengantin.

Ya kami, saya, mama, Om Nono sebagai wali menggantikan papa, dan Rico sebagai sopir tembak.

07.50

DHEG!

Untuk pertama kalinya dalam hari itu, jantung saya berdetak lebih kencang dari biasanya. Aneh, padahal saya tidak ngopi pagi itu, dan tidak sedang menatap wajah Dian Sastro. Ataukah ini yang dinamakan sindrom pernikahan? Entahlah.

Perlahan, mobil memasuki pelataran parkir Masjid Nurul Jamil. Saya semakin dag-dig-dug. “Is this the day? The day when I end my single and miserable life?”

Seperti Leonardo DiCaprio yang baru saja tiba di malam Oscar, pagi itu saya turun dari mobil dengan sambutan kamera para fotografer pernikahan.

“Maaf Mas, ulang lagi Mas, turun dari mobilnya. Yang tadi kurang ganteng.”

Asem.

08.00

Dengan diapit Mama dan Om Nono, saya menaiki undakan tangga kecil ke arah tempat akad. Pada halaman masjid yang telah disulap dengan dekorasi serba putih tersebut, telah menanti mamam dan daddy yang sudah tidak terlihat gahar lagi. Kali ini, raut haru dan bahagia terpancar di wajah mereka, menyambut kedatangan keluarga saya.

Berikutnya, Mamam mengalungkan rangkaian melati ke leher saya. Kami bersama-sama bergerak menuju tempat duduk yang telah disediakan.

Untuk saya dan Neng, Masjid Nurul Jamil adalah sebuah venue yang tepat untuk melangsungkan hajat pernikahan kami. Masjid merupakan tempat suci bagi umat Islam, sementara halamannya yang hijau dan mungil, sangat cocok dengan konsep white garden party yang diimpikan Neng.

Guna mewujudkan impiannya itu, Neng memilih sendiri vendor untuk mendekorasi lahan yang ada. Semuanya serba putih, seputih wajah saya hari itu.

08.15

Berikutnya, acara dilanjutkan dengan pidato penyampaian maksud kedatangan keluarga saya pada acara ini, –termasuk penyerahan kotak serah-serahan secara simbolis– yang disambut dengan baik oleh keluarga Neng.

Disambut dengan baik, belum tentu diterima nikahnya. Karena masih ada tahapan yang harus saya lakukan, yaitu melangsungkan akad nikah. Setelah acara serah terima selesai, saya digiring ke sebuah meja putih dengan beberapa buah kursi dan sepasang microphone.

Meja putih dengan papan-papan kecil bertuliskan: calon pengantin pria, calon pengantin wanita, saksi 1, saksi 2, wali nikah, dan penghulu.

DHEG! Rintangan apalagi yang harus saya hadapi kali ini?

08.30

Dengan tertunduk, saya mendengarkan pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran yang dilantunkan seorang bapak berpeci tinggi yang membuatnya mirip pengawal Ratu Elizabeth yang mengenakan batik. Di hadapan saya telah duduk Daddy sebagai wali nikah bersama seorang penghulu dari KUA, sementara di kanan kiri kami duduk dua orang saksi, dengan Pakde Wid sebagai saksi dari keluarga saya.

Saya semakin deg-degan ketika Neng belum juga kelihatan batang hidungnya, apa jangan-jangan dia ketiduran tadi malam sehabis party? Atau dia sedang bersembunyi di bawah meja putih ini? Damn, where are you when I need you the most?

“Sudah siap ijab kabul?” Tiba-tiba pak penghulu membuyarkan lamunan saya tentang Marshanda.

DHEG!

Apakah ini saatnya saya untuk menikah? Apakah saya sudah siap hidup dengan seorang wanita pisces yang suka berdiam diri kalau ngambek seumur hidup saya? Apakah Newcastle akan bertahan di Premier League musim ini? Apakah Cinta akhirnya menikah dengan Rangga di AADC2?

Berbagai pikiran muncul di otak saya, sementara Daddy menatap saya tajam. Anjir, kok jadi garang lagi wajah Daddy?

Pak Penghulu menyerahkan sebuah microphone kepada saya, sementara microphone satunya diberikannya kepada Daddy. Gawat, saya belum pernah ijab kabul sebelumnya dan belum latihan apa-apa tentang akad nikah ini. Bagaimana kalau tiba-tiba saya salah sebut nama mantan, atau nama Galang?

DHEG!

Berikutnya, Pak Penghulu menyerahkan sebuah kertas kecil kepada saya yang diiringi kedipan sebelah matanya. “Dibaca saja.”

Sambil bersalaman dengan Daddy, saya membaca tulisan tangan Pak Penghulu di kertas tersebut. Hmm, sebenarnya ini penghulu apa dokter sih? 

“SAYA TERIMA NIKAHNYA POETRY GLADIES KARINA DEWI BIN MOCH. TABRONI DENGAN MAS KAWIN PERHIASAN DIBAYAR TUNAI.”

Sebuah perkataan lantang, yang langsung dibalas dengan kalimat Daddy berupa kesediannya menikahkan putrinya dengan saya.

“BAGAIMANA, SAH PENONTON?” Teriak MC akad kepada semua yang hadir.

“SAAAAAHHHHHHHHHH!” Teriak semua yang hadir kompak dan bersamaan.

Alhamdulillah, sekarang kita keluarkan mempelai wanitanya.”

09.00

Sambil mengenakan kebaya putih yang serasi dengan bedak saya, Neng berjalan ke meja akad untuk kemudian duduk di samping saya. Ini kali pertama kami duduk bersama sebagai suami istri yang sah secara agama, dan sudah halal untuk melangsungkan sebuah hubungan. Hubungan pernikahan.

Saya menyalami tangan Neng, yang ternyata sangat dingin. Aduh Neng, kamu habis mainan es balok di belakang panggung?

Berikutnya, Pak Penghulu menyerahkan sepasang buku nikah dan surat-surat yang harus kami (saya dan Neng, bukan saya dan Daddy yang berkumis tebal) tanda tangani supaya pernikahan ini sah dan diakui oleh negara, juga supaya boleh bulan madu ke Aceh. Pada sesi yang sama pula, kami saling memasangkan cincin yang telah kami beli sebelumnya. Wedding ring, bukan suffe ring.

Acara selanjutnya, adalah prosesi sungkeman kepada orang tua dan sesepuh, yang dilanjutkan oleh saweran. Bukan, saweran yang dimaksud di sini adalah bukan saya goyang kayang dan Neng pole dancing kemudian penonton yang hadir nyawer, melainkan menyebarkan rezeki dan kebahagiaan secara simbolis dalam wujud koin dan permen kepada teman-teman yang hadir.

09.25

Setelah prosesi akad selesai, selanjutnya kami diberikan waktu untuk beristirahat sebentar, coffee break sebelum berganti baju dan mengenakan riasan kembali untuk acara resepsi.

Ternyata, perjalanan hari itu masih panjang.

Tulisan ini sudah tayang di Backpackstory

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus