Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Palembang - Rozali yang murah senyum, selalu mengajak bicara setiap orang yang berfoto di Pusat Oleh-oleh dan Kerajinan Tangan Khas OKU Selatan ‘Galeri Desaku’ di bibir Danau Ranau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia biasanya bertanya asal pengunjung, sampai pertanyaan sudah mengambil foto di mana saja? Bapak 60 tahun ini tak segan memberi saran soal spot-spot seru untuk berfoto. Dia bukan pemandu wisata, melainkan petani kopi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lihat juga: Danau Ranau Nan Megah
“Kalau adik berjalan lurus ke timur, pasti akan bertemu persawahan milik warga yang hijau. Ada juga pantai dan tempat-tempat yang cantik untuk difoto. Oiya, perjalanan ke sana naik turun tebing yang curam, tapi enak kok, sudah diaspal," ujarnya pada Rabu 31 Januari 2018. "Sepanjang jalan ke sana, Danau Ranau ini enak sekali dinikmati. Dan Gunung Semenung seolah selalu melihatmu.”
Menurut Rozali, satu tahun terakhir ini, Danau Ranau ini lebih ramai dari biasanya. Tentu alasannya karena fasilitas yang tidak mendukung. Tapi sekarang, pengunjung bisa mengambil foto seindah mungkin dari setiap sudut Danau Ranau yang berlatar Gunung Semenung itu. Pengunjung juga bisa menikmati hijaunya Bukit Barisan yang mengitari danau sekaligus menikmati senja.
Memang, saat ini tempat wisata kebanggaan warga Sumatera Selatan itu bersolek sedemikian rupa. Danau terbesar nomor dua di Pulau Sumatera itu sudah dipasang plang raksasa bernama ‘Danau Ranau’. Ada juga pernak-pernik papan yang bertulisan ‘Alam Tidak Menghianati Kita’, ditambah papan membentuk selancar dengan tulisan ‘The Coffe Lagend’.
Dari Palembang, Danau Ranau dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua atau roda empat, jarak yang ditempuh sejauh 328 kilometer. Letak danau ini tidak jauh dari Kota Muara Dua, ibu kota Kabupaten Oku Selatan.
Dari kota itu, hanya butuh perjalanan 1,5 jam. Sepanjang jalan wisatawan akan disuguhi tikungan, jalan sempit, jarai atau tebing tinggi. Jalan menuju danau itu menelusuri bagian dari Bukit Barisan.
Danau seluas 125,9 kilometer persegi itu juga dapat diputari menggunakan motor atau mobil. Di sepanjang jalan, pohon besar di sepanjang tebing setia memayungi. Bahkan di beberapa tempat, ada mata air gunung yang dialirkan melalui bambu yang dapat langsung diminum.
Dari jalan itu, tampak perahu cadik nelayan lalu-lalang di perairan danau yang berwarna biru kehijauan itu, mereka menangkap ikan, terutama Ikan Mujair Kumbang, Ikan Kepar, dan Patin.
“Warga Danau Ranau bangga dengan Ikan Mujair Kumbang itu. Rasanya lebih enak, apalagi bila dipanggang. Dagingnya akan lebih terasa manis,” lanjut Rozali. Menuju Vila Pusri, pengunjung disuguhi pantai buatan yang teduh. Nama pantai ini Sepuyuh Padang Ratu.
Pantai itu memang tidak lebar, hanya sekitar 50 meter. Panjangnya pun tak lebih dari 200 meter. Namun indah karena dipayungi oleh dahan pohon yang besarnya seukuran paha orang dewasa, dan batang pohonnya dicat dengan warna merah, kuning, hijau, putih, seperti pelangi.
Bupati Oku Selatan, Popo Ali Mortopo, juga sudah berjanji akan menghidupkan Danau Ranau. “Bila perlu setiap bulan akan dibuatkan acara atau festival,” kata dia di sela kata sambutan Peringatan Dirgahayu Kabupaten Oku Selatan ke 14, Rabu 31 Januari 2018 di bibir Danau Ranau.
Menjelang malam, dingin menyelimuti daerah Danau Ranau. Di Dermaga Vila Pusri tampak beberapa orang lalu-lalang. Di tempat inilah fotografer freelance, Muhammad Tohir, sibuk menangkap gambar matahari tenggelam di atas Danau Ranau, di dampingi Gunung Semenung.
“Komposisi yang paling lengkap memang mengambil gambar dari sini. Cahaya merah jingga akan memantul ke air danau. Dalam gambar itu, akan dilengkapi Gunung Semenung yang teduh. Lebih indah lagi bila ada nelayan berperahu cadik lewat di tengah air yang berkilauan warna jingga itu,” ujar Muhamad Tohir membayangkan hasil fotonya.
Tohir saat ini menetap di Palembang, dia sengaja datang ke Danau Ranau bukan hanya ingin menangkap senja di Danau Ranau tapi juga ingin berburu supermoon atau purnama sekaligus gerhana bulan yang hanya muncul 152 tahun sekali itu. Di antara cekrak-cekrek suara kamera Muhamad Tohir menangkap cahaya lembayung, matahari lamat-lamat menjauh dan tenggelam.
Ahmad Supardi