Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ramen telah lama menjadi simbol makanan lezat yang terjangkau bagi wisatawan maupun penduduk lokal di Jepang. Hidangan yang sederhana namun kaya rasa ini bukan sekadar mi, melainkan bagian dari identitas kuliner Jepang yang mudah dijangkau masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, harga yang terus melonjak menimbulkan kekhawatiran bahwa ramen kini tidak lagi bisa dinikmati semua kalangan, bahkan menjadi cerminan dari krisis biaya hidup yang semakin terasa di Negeri Sakura ini.
Keluhan Pengusaha
Salah satu pelaku usaha yang paling merasakan dampak kenaikan harga adalah Taisei Hikage, pemilik kedai ramen di Tokyo. Sejak membuka kedainya satu setengah tahun yang lalu, Hikage telah menaikkan harga menu sebanyak tiga kali. “Ramen Spesial” yang menjadi favorit di kedainya kini dijual seharga 1.250 yen atau sekitar Rp 128 ribu, naik 47 persen sejak awal. Meskipun harga meningkat, biaya bahan baku dan bahan bakar yang terus naik membuatnya masih kesulitan untuk menjaga keseimbangan usaha.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Secara tradisional, kedai ramen seharusnya menawarkan sesuatu yang murah dan lezat. Kini bukan lagi makanan murah untuk masyarakat umum,” katanya, seperti dilansir Reuters, pekan lalu.
Tantangan ini dialami banyak pemilik usaha ramen, yang juga harus berjuang dengan penurunan nilai yen serta menambah biaya impor bahan baku, terutama terigu yang digunakan dalam pembuatan mi. Banyak kedai bahkan bangkrut. Pada tahun ini, 49 operator toko ramen di Jepang sudah mengajukan kebangkrutan karena terlilit utang.
Alternatif Makanan Murah Pengganti Ramen
Karena harga ramen yang semakin mahal, masyarakat Jepang mulai mempertimbangkan alternatif makanan yang lebih terjangkau. Soba misalnya, menjadi pilihan yang populer sebagai hidangan mi yang lebih ekonomis dibandingkan ramen. Mi soba yang terbuat dari tepung gandum hitam biasanya lebih murah karena bahan bakunya dapat dihasilkan di dalam negeri, sehingga tidak terlalu bergantung pada bahan impor.
Selain itu, beberapa jaringan restoran cepat saji di Jepang juga berusaha menawarkan menu-menu dengan harga terjangkau, seperti gyudon (daging sapi dengan nasi) dan onigiri (nasi kepal). Meski tidak seikonik ramen, hidangan-hidangan ini tetap memberikan kenyamanan bagi masyarakat dengan harga yang lebih ramah di kantong.
Meski ada pilihan lebih murah, Taisei Hikage tetap menjual ramen dan mempertahankan kualitas hidangan yang disajikannya meski harus mengorbankan margin keuntungan. Dengan antrean panjang di tokonya, ia percaya bahwa pelanggan masih menginginkan ramen berkualitas. Ia berharap pemilu yang digelar di Jepang kali ini membawa perubahan positif bagi pemilik usaha kecil di Jepang. "Tugas kami sekarang sedang menyelesaikan ini dan fokus menawarkan sesuatu yang lezat, dengan menundukkan kepala kepada pelanggan," katanya.
PUTRI ANI | REUTERS
Pilihan Editor: Sushi Termahal di Dunia Seharga Rp36 Juta, Apa Isinya?