Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PISAU-pisau itu berkelebat cepat, melayang sekejap di atas tangan seseorang, lalu berpindah pemilik ke tangan lain di sebelahnya. Kadang-kadang pisau itu melesat ke talenan kayu. Sebuah demonstrasi kungfu? Bukan. Demonstrasi memasak? Tidak sama sekali. Dengarlah empat pasang tangan menepuk-nepuk panci, kuali, saringan minyak, mangkuk baja tahan karat (stainless steel), sampai gagang sapu. Alih-alih menimbulkan chaos, yang tercipta justru alur ritmik yang padu: musik.
Tepatnya, musik dari peralatan dapur. Atraksi itu memukau ribuan warga Jakarta yang menonton di Mangga Dua Square, 2-4 Desember lalu. Lima personel kelompok Nanta dari Korea Selatan mengelus telinga penonton sembari mengocok perut dengan visualisasi adegan yang ringan dan enak dilihat.
Cerita dimulai saat tiga koki diperiksa kebersihan kukunya oleh manajer hotel (Yo Han Wang) yang galak, sok berkuasa, dan sering dikadali anak buahnya. Mereka diberi tugas menyiapkan hidangan pesta pernikahan. Repotnya, manajer galak ini penganut nepotisme kelas berat. Ia mengikutsertakan keponakannya yang bengal (Myng Min Kim).
Dari situ, dimulailah tingkah polah mereka yang terbirit-birit mempersiapkan masakan sambil memainkan perkakas dapur dengan lihai. Ketiga koki memiliki karakter berbeda. Dae Hee Kwon adalah kepala koki yang serius. Min Goo Jung sebagai jagoan ganteng. Dan ada Eun Young Kim, koki perempuan nan cantik. Di tangan kelima ”aktor” dan ”musisi” itulah sayuran tak lagi menjadi seonggok benda dingin di lemari es. Sayuran menjadi ”aktor pembantu” yang bernyawa.
Penonton dibuat geli saat para koki mengiris-iris—dengan kecepatan luar biasa—bawang bombay, ketimun, wortel, dan kol sambil melagukan nama-nama itu dalam bahasa Indonesia secara a capella. Gaung tawa penonton tak habis-habis menyimak betapa lidah Korea mereka terpontal-pontal menyebut nama sayur-mayur yang akrab di telinga penonton itu. Sempat pula si anak nakal salah menyebut kol sebagai kangkung, dengan penuh keyakinan. Dan tawa penonton kembali membuncah.
Nanta, yang berarti ”menggebuk tiada henti”, pertama kali tampil di Seoul tahun 1997. Tiket penjualan selalu ludes. Tiga tahun kemudian, Nanta mampu memiliki gedung teater sendiri dan menjadi salah satu daya tarik bagi turis yang berkunjung ke Korea. Sejak tahun 2000 mereka sudah tampil di 150 kota di 25 negara, termasuk di panggung prestisius Broadway. Nanta menggabungkan keindahan ritmik dan olah tubuh menjadi sebuah Hiburan dengan ”H” besar.
Teknik ini sebenarnya sudah lebih dulu diperkenalkan oleh duo pemuda Brighton, Inggris, bernama Luke Creswell dan Steve McNicholas, ketika mendirikan Stomp pada 1991. Didukung delapan pemain (termasuk Creswell dan McNicholas), mereka melahirkan antara lain ”Broom”. Komposisi itu mendapat penghargaan prestisius Tony Award untuk efek-efek bunyi sensasional dan keindahan koreografi. Stomp mengolah sensasi perkusif dari hampir semua benda di sekitar kita sehari-hari, dan terus menggelar pertunjukan keliling dunia sampai sekarang.
Kelompok sejenis juga muncul di New York pada periode hampir bersamaan. Dimotori oleh tiga sekawan Chris Wink, Phil Stanton, dan Matt Goldman, mereka membentuk Blue Men Group, yang kini memiliki 60 anggota blue men. Kelompok ini selalu mengecat biru wajah anggota dan tampil pelontos saat beraksi di panggung sehingga semua anggota terlihat sama. Mereka juga menggali beragam bunyi perkusif dari sebuah benda dengan dibalut pertunjukan drama yang lebih bersifat akrobatik dan mengocok perut.
Untungnya, Nanta tak hanya mengulang formula dua kelompok beken di atas. Mereka mencari setting dan instrumentasi yang boleh jadi tak pernah terpikirkan oleh Stomp dan Blue Men Group: dapur! Tapi, bagaimanapun orisinalnya, dapur tetap merupakan sebuah wilayah universal sehingga Nanta selalu membuka dan mengakhiri konser 90 menit mereka dengan menampilkan Salmunori, tradisi permainan perkusi Korea, untuk menegaskan identitas mereka sebagai kelompok Negeri Ginseng.
Tiba-tiba kelima pemain jenaka itu berubah menjadi penabuh perkusi profesional. Entakan tangan mereka mendentum genderang telinga dan jantung penonton. Tak sadar, kepala pun lantas bergoyang mengikuti intensitas kecepatan tangan, gerakan kepala, dan tubuh para pemain. ”Kami yakin penonton akrab dengan bunyi yang menyerupai jantungnya sendiri,” ujar pendiri Nanta, Song Seung Hwan.
Tempo, yang pernah menonton konser mereka di Blackburn Templeton Memorial, Ohio, pada tahun silam, menyaksikan konsep pertunjukan yang sama dengan yang mereka tampilkan di Jakarta. Perbedaannya hanya saat koki cantik Eun Yong Kim menabuh gendang solo dengan intensitas cepat sambil berteriak-teriak dan meliuk-liukkan tubuhnya—yang menampilkan imaji sensualitas. Di Jakarta adegan itu masih ada, hanya durasinya diperpendek. Dan itu tak mengurangi kesegaran ”konser” yang mereka tampilkan.
Kurie Suditomo/Akmal Nasery Basral
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo