Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Proses pembersihan Istana Gyeongbokgung, Korea Selatan dari grafiti membutuhkan biaya mahal. Polisi sudah menangkap pelakunya, mereka dituntut melanggar Undang-Undang Perlindungan Warisan Budaya, dan kemungkinan ganti rugi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aksi vandalisme di Istana Gyeongbokgung terjadi pada Sabtu 16 Desember 2023 dini hari. Pelakunya membuat tulisan "Film Gratis" dan alamat situs berbagi video ideal di dekat Gerbang Yeongchumun Istana Gyeobokgung, gerbang samping Museum Istana Nasional Korea. Sehari kemudian, ditemukan serangkaian grafiti baru sehingga memperluas area yang terkena dampak hingga 44 meter.
Pelaku berhasil ditangkap
Kedua pelakunya ternyata berbeda. Kepolisian Seoul Jongno berhasil menangkap pelaku aksi pertama, yang ternyata adalah dua remaja laki-laki dan perempuan. Mereka mengaku diimingi-imingi 100 ribu Korea Won atau sekitar Rp 1,2 juta untuk melakukan kejahatan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara pelaku kedua adalah seorang pria berusia 20-an. Dia secara sukarela menyerahkan diri dan mengakui kejahatannya. Dia mengecat nama penyanyi dan album tertentu di dinding kiri Gerbang Yeongchumun. Namun itu bukan untuk promosi, tapi karena sentimen penggemar.
Pria itu membuat unggahan di blog, yang berisi permintaan maaf atas perbuatannya. Dia juga mengungkapkan alasannya melakukan tindakan itu karena terinspirasi oleh Mischief, grup seniman AS yang dibentuk pada tahun 2019.
Biaya penghapusan grafiti
Sementara itu, biaya penghapusan grafiti dari tembok Istana Gyeongbokgung diperkirakan melebihi 4,5 juta Korea Won per hari atau sekitar Rp 53 juta. Awalnya dijadwalkan selesai dalam waktu seminggu, tapi proses restorasi memakan waktu lebih lama dari yang diperkirakan karena insiden peniruan grafiti dan kondisi cuaca yang menantang.
Upaya pemugaran melibatkan pakar dari Museum Istana Nasional dan Balai Penelitian Peninggalan Budaya Nasional. Para ahli menggunakan bahan kimia seperti tiner cat, laser, dan uap bersuhu tinggi. Mereka juga menyewa tiga perangkat khusus untuk mencegah cat semprot merembes ke batu. Jika memperhitungkan biaya bahan kimia dan tenaga kerja, total biaya restorasi harian mencapai sekitar 5 juta Korea Won atau sekitar Rp 59 juta.
Pihak Administrasi Warisan Budaya sedang menjajaki kemungkinan meminta penggantian biaya dari orang tua pelaku. Namun, karena pelaku pertama adalah remaja, memicu perdebatan tentang apakah orang tua harus bertanggung jawab atas biaya restorasi.
Sementara itu Profesor Seo Kyung Deok dari Universitas Wanita Sungshin, yang secara aktif terlibat dalam mengoreksi distorsi sejarah, menegaskan perlunya kesadaran kolektif mengenai tantangan memulihkan warisan budaya yang rusak ke kondisi aslinya. Dia juga menekankan perlunya hukuman yang tegas sebagai tindakan pencegahan.
ALLKPOP | NAVER
Pilihan editor: 7 Situs Tradisional Korea Selatan yang Wajib Dikunjungi