Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Kerja Keras, Juga Mimpi Buruk

Mahasiswa indonesia di luar negeri umumnya mengalami konflik keagamaan. mereka yang mau melakukan ibadat baik muslim maupun non muslim terbentur oleh tantangan lingkungan. (ag)

3 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG mahasiswa dari Bali, duduk bersila di apartemennya di California, AS. "Saya membayangkan diri saya di rumah -- di depan sebuah pura, di kampung saya." Dan ia mulai sembahyang. Ia, I Wayan Lendra dari University of Southern California (USC), barangkali memang tidak secara persis mewakili "konflik keagamaan" dalam diri para mahasiswa kita di luar negeri. Maklum Hindu Dharma yang Bali itu memang sangat khas "tak punya kawan" di negeri asing. Tapi tidak berarti mahasiswa kita yang Islam -- bahkan Kristen -- tidak menghadapi semacam konflik. Memang ada organisasi keagamaan: Moslem Student Association (MSA) di banyak kampus di AS, misalnya, Young Moslem Association (YMA) di Eropa, atau perkumpulan Immanuel yang terlihat di Berlin dan beberapa lagi. Tapi organisasi memang belum usah identik dengan kehidupan keagamaan di kalangan yang dianggap warga. Pertama: jadwal pelajaran para mahasiswa memang padat. Bukan hanya jam-jam kuliah -- juga tugas-tugas universitas yang memang bisa jauh lebih berat dari yang dihadapi para mahasiswa di tanah air. Jangan pula dibayangkan kegiatan akademis selalu berhenti persis di siang bolong di hari Jumat. Di kampus USC misalnya, di Los Angeles (terdapat sekitar 200 mahasiswa kita, dengan lebih 80% nonpribumi), hanya dua orang turut sembahyang Jumat. "Dulu ada empat, tapi yang dua lagi sudah balik ke tanah air," kata Doddy Abdassah, salah seorang dari yang dua. Juga di Masjid Agung London, tempat sebagian staf KBRI rajin sembahyang, mahasiswa yang datang hanya beberapa. Jadi Kanibal Para mahasiswa sendiri memang terserak-serak -- dan kelihatannya yang Islam tidak terorganisir benar. Beberapa yang di Liverpool, tempat kelahiran mendiang John Lennon dari The Beatles itu, ataupun Edinburg, dua-duanya di Inggris, dikatakan bergabung dengan Ikatan Mahasiswa Malaysia -- termasuk untuk acara-acara keagamaan. Anak Malaysia memang lebih banyak, jauh lebih giat, dan secara resmi mendapat bantuan pemerintah di samping penyediaan asrama. Ada juga mahasiswa kita yang tampaknya sengaja "menghilang". Bila ia ingin "merasakan hidup model sana", katakanlah dengan menyewa apartemen bersama seorang mahasiswi negeri lain, sedang ia kebetulan Islam, tentu saja ia akan surut dari acara-acara keagamaan. Beberapa pasangan hidup bersama di California misalnya (biasanya lewat semacam iklan di kampus untuk "berbagi sewa apartemen"), mengaku tindakan itu mereka ambil "untuk praktisnya saja". Memang sebagian terlihat rajin salat -- bahkan seorang ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) seperti Iqbal Thahir di Paris. Toh anak Serang (Banten) itu "tidak ramai-ramai" alias sendirian. Sedang Ketua Permias (Persatuan Mahasiswa Indonesia di AS) di Los Angeles misalnya, Bambang Isriyanto, barangkali mewakili pendapat sebagian mahasiswa yang lain, ketika ia berkata: "Saya pikir agama itu masalah saya dengan Tuhan -- bukan dengan masyarakat. Dan saya punya cara sendiri dalam berhubungan dengan-Nya." Ia memang masih berusaha puasa di bulan Ramadhan, tapi "godaan terlalu berat". Risanto Pranatadjaja, bekas ketua Permias di USC, dalam pada itu ikut serta baik acara Natal maupun Lebaran. Seperti juga Rosihan Anwar dari Jawa Tengah, yang menyatakan senang ke gereja "untuk bisa kumpul-kumpul dengan sesama orang Indonesia" -- dan "bisa lihat yang cantik-cantik". Dalam sebuah kuisioner yang dibagikan di Paris, banyak juga kawan kita yang mengisi kolom agama dengan "tidak tahu", atau "apa saja". Bahkan seorang dari latar belakang sangat santri menjadi tak gentar makan babi -- dan berkata: "Di sini saya jadi kanibal." Umumnya jenis ini memang suka berkata "Kalau tidak di sini, di mana lagi." Orang Mabuk Yang Kristen agak mendingan, ternyata. Setidaknya, perbedaan cara hidup memang lebih sedikit antara yang Barat dengan yang Kristen -- dibanding dengan yang Islam, tentunya, yang, kalau mau disiplin harus salat lima kali lengkap dengan buka sepatu segala. Bahkan ada juga pasangan hidup bersama di Los Angeles yang rajin datang ke pertemuan sembahyangan -- yang di lingkungan Islam takkan mungkin. Tapi kejutan bukan tak ada Daniel Adikurniawan misalnya, koordinator mahasiswa Kristen Indonesia di Inggris, menuturkan keheranan banyak rekannya: masyarakat Inggris ternyata tidak setaat beragama seperti yang mereka kira tadinya. Maklum mereka dulu menyangka "Barat adalah Kristen". Padahal, bukan hanya di stasiun orang mabuk gentayangan. Bahkan berbagai lelucon di tv seolah mempermainkan Tuhan dengan menjadikannya lelucon. Itu juga barangkali salah satu sebab mereka membentuk Persekutuan Kristen Indonesia (Perki), sejak empat tahun lalu. Bukan organisasi, dan tak punya anggota, tapi diatur seperti gereja dan mengadakan kebaktian tiga kali sebulan. Para pendeta mereka undang bergantian dari gereja-gereja yang juga bergerak di Indonesia. Untuk mengurus sekitar 100 warga di London, mereka tidak kekurangan uang. Bahkan bisa mengadakan retraite Perki se-Eropa, April 1979 di Kota Wycombe --dihadiri sekitar 140 utusan dari berbagai kota di Belgia, Inggris, Jerman Barat, Swiss dan Uni Soviet. Datang juga waktu itu Irjen Departemen Agama H.A. Timur Djaelani, wakil DGI Pdt. Wirakotan di samping Dubes RI di sana, Saleh Basarah. Juga di Kalifornia. Di Fullerton, sekitar 40 km dari Los Angeles, didirikan gereja khusus untuk siapa saja yang berbahasa Indonesia -- mahasiswa dan umum -- dengan jemaat lebih seribu orang. Di hari Paskah yang lalu perayaan oikumene diadakan untuk Protestan dan Katolik bersama-sama, dihadiri sekitar 1.200 orang selama tiga hari berturut-turut. Dalam kesempatan itu didatangkan para penyanyi Franz Daromes dan Sandra Sanger dari Jakarta. Mereka juga mengadakan persekutuan doa dari rumah ke rumah. Antar Agama Tapi pergaulan mahasiswa berbagai agama umumnya baik, maklum di rantau. Itu terutama tampak di hari-hari Lebaran, Natal, di samping hari-hari nasional seperti 17 Agustus: sama-sama mengatur acara, atau memasang tenda buat salat -- seperti di London. Di bulan puasa, tarawih bergilir diselenggarakan, diiringi pengajian -- di Washington, London, New York dan tentunya banyak tempat lain, meskipun peserta mahasiswa juga tak banyak. Biasanya orang KBRI atau konsulat banyak memegang peranan. Bahkan Fadol Arovah dan Drs. Abdul Hadi Adnan dari KBRI London sudah enam bulan membuka pengajian ibu-ibu dan anak-anak. Dan di Berlin Barat, bahkan mahasiswa kita yang turut dalam Young Moslem Association diminta pihak konsulat kita untuk membantu dalam acara Idul Fitri -- dan itu pernah menyebabkan kurang sukanya pihak PPI, yang sebagai "badan resmi yang diakui Pemerintah RI" merasa "disaingi". Acara seperti Idul Fitri itulah yang boleh menjadi tanda bahwa betapapun, mahasiswa yang berlatar belakang Islam misalnya masih banyak yang menautkan diri dengan kampung halaman, dengan "akar". Memang, mereka toh nantinya akan pulang. Biasanya -- untuk kedua kalinya -- mengalami kejutan. Tapi mereka toh akan kembali ke masjid -- atau gereja, atau pura, kalau memang akarnya dari sana. Masa belajar dan kerja keras, di samping barangkali "mimpi buruk", sudah lewat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus