SEORANG mahasiswa dari Bali, duduk bersila di apartemennya di
California, AS. "Saya membayangkan diri saya di rumah -- di
depan sebuah pura, di kampung saya." Dan ia mulai sembahyang.
Ia, I Wayan Lendra dari University of Southern California (USC),
barangkali memang tidak secara persis mewakili "konflik
keagamaan" dalam diri para mahasiswa kita di luar negeri. Maklum
Hindu Dharma yang Bali itu memang sangat khas "tak punya kawan"
di negeri asing. Tapi tidak berarti mahasiswa kita yang Islam --
bahkan Kristen -- tidak menghadapi semacam konflik.
Memang ada organisasi keagamaan: Moslem Student Association
(MSA) di banyak kampus di AS, misalnya, Young Moslem Association
(YMA) di Eropa, atau perkumpulan Immanuel yang terlihat di
Berlin dan beberapa lagi. Tapi organisasi memang belum usah
identik dengan kehidupan keagamaan di kalangan yang dianggap
warga.
Pertama: jadwal pelajaran para mahasiswa memang padat. Bukan
hanya jam-jam kuliah -- juga tugas-tugas universitas yang memang
bisa jauh lebih berat dari yang dihadapi para mahasiswa di tanah
air. Jangan pula dibayangkan kegiatan akademis selalu berhenti
persis di siang bolong di hari Jumat.
Di kampus USC misalnya, di Los Angeles (terdapat sekitar 200
mahasiswa kita, dengan lebih 80% nonpribumi), hanya dua orang
turut sembahyang Jumat. "Dulu ada empat, tapi yang dua lagi
sudah balik ke tanah air," kata Doddy Abdassah, salah seorang
dari yang dua. Juga di Masjid Agung London, tempat sebagian
staf KBRI rajin sembahyang, mahasiswa yang datang hanya
beberapa.
Jadi Kanibal
Para mahasiswa sendiri memang terserak-serak -- dan kelihatannya
yang Islam tidak terorganisir benar. Beberapa yang di Liverpool,
tempat kelahiran mendiang John Lennon dari The Beatles itu,
ataupun Edinburg, dua-duanya di Inggris, dikatakan bergabung
dengan Ikatan Mahasiswa Malaysia -- termasuk untuk acara-acara
keagamaan. Anak Malaysia memang lebih banyak, jauh lebih giat,
dan secara resmi mendapat bantuan pemerintah di samping
penyediaan asrama.
Ada juga mahasiswa kita yang tampaknya sengaja "menghilang".
Bila ia ingin "merasakan hidup model sana", katakanlah dengan
menyewa apartemen bersama seorang mahasiswi negeri lain, sedang
ia kebetulan Islam, tentu saja ia akan surut dari acara-acara
keagamaan. Beberapa pasangan hidup bersama di California
misalnya (biasanya lewat semacam iklan di kampus untuk "berbagi
sewa apartemen"), mengaku tindakan itu mereka ambil "untuk
praktisnya saja".
Memang sebagian terlihat rajin salat -- bahkan seorang ketua
Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) seperti Iqbal Thahir di
Paris. Toh anak Serang (Banten) itu "tidak ramai-ramai" alias
sendirian. Sedang Ketua Permias (Persatuan Mahasiswa Indonesia
di AS) di Los Angeles misalnya, Bambang Isriyanto, barangkali
mewakili pendapat sebagian mahasiswa yang lain, ketika ia
berkata: "Saya pikir agama itu masalah saya dengan Tuhan --
bukan dengan masyarakat. Dan saya punya cara sendiri dalam
berhubungan dengan-Nya." Ia memang masih berusaha puasa di bulan
Ramadhan, tapi "godaan terlalu berat".
Risanto Pranatadjaja, bekas ketua Permias di USC, dalam pada itu
ikut serta baik acara Natal maupun Lebaran. Seperti juga Rosihan
Anwar dari Jawa Tengah, yang menyatakan senang ke gereja "untuk
bisa kumpul-kumpul dengan sesama orang Indonesia" -- dan "bisa
lihat yang cantik-cantik". Dalam sebuah kuisioner yang dibagikan
di Paris, banyak juga kawan kita yang mengisi kolom agama dengan
"tidak tahu", atau "apa saja". Bahkan seorang dari latar
belakang sangat santri menjadi tak gentar makan babi -- dan
berkata: "Di sini saya jadi kanibal." Umumnya jenis ini memang
suka berkata "Kalau tidak di sini, di mana lagi."
Orang Mabuk
Yang Kristen agak mendingan, ternyata. Setidaknya, perbedaan
cara hidup memang lebih sedikit antara yang Barat dengan yang
Kristen -- dibanding dengan yang Islam, tentunya, yang, kalau
mau disiplin harus salat lima kali lengkap dengan buka sepatu
segala. Bahkan ada juga pasangan hidup bersama di Los Angeles
yang rajin datang ke pertemuan sembahyangan -- yang di
lingkungan Islam takkan mungkin.
Tapi kejutan bukan tak ada Daniel Adikurniawan misalnya,
koordinator mahasiswa Kristen Indonesia di Inggris, menuturkan
keheranan banyak rekannya: masyarakat Inggris ternyata tidak
setaat beragama seperti yang mereka kira tadinya. Maklum mereka
dulu menyangka "Barat adalah Kristen". Padahal, bukan hanya di
stasiun orang mabuk gentayangan. Bahkan berbagai lelucon di tv
seolah mempermainkan Tuhan dengan menjadikannya lelucon.
Itu juga barangkali salah satu sebab mereka membentuk
Persekutuan Kristen Indonesia (Perki), sejak empat tahun lalu.
Bukan organisasi, dan tak punya anggota, tapi diatur seperti
gereja dan mengadakan kebaktian tiga kali sebulan. Para pendeta
mereka undang bergantian dari gereja-gereja yang juga bergerak
di Indonesia.
Untuk mengurus sekitar 100 warga di London, mereka tidak
kekurangan uang. Bahkan bisa mengadakan retraite Perki se-Eropa,
April 1979 di Kota Wycombe --dihadiri sekitar 140 utusan dari
berbagai kota di Belgia, Inggris, Jerman Barat, Swiss dan Uni
Soviet. Datang juga waktu itu Irjen Departemen Agama H.A. Timur
Djaelani, wakil DGI Pdt. Wirakotan di samping Dubes RI di sana,
Saleh Basarah.
Juga di Kalifornia. Di Fullerton, sekitar 40 km dari Los
Angeles, didirikan gereja khusus untuk siapa saja yang berbahasa
Indonesia -- mahasiswa dan umum -- dengan jemaat lebih seribu
orang. Di hari Paskah yang lalu perayaan oikumene diadakan untuk
Protestan dan Katolik bersama-sama, dihadiri sekitar 1.200
orang selama tiga hari berturut-turut. Dalam kesempatan itu
didatangkan para penyanyi Franz Daromes dan Sandra Sanger dari
Jakarta. Mereka juga mengadakan persekutuan doa dari rumah ke
rumah.
Antar Agama
Tapi pergaulan mahasiswa berbagai agama umumnya baik, maklum di
rantau. Itu terutama tampak di hari-hari Lebaran, Natal, di
samping hari-hari nasional seperti 17 Agustus: sama-sama
mengatur acara, atau memasang tenda buat salat -- seperti di
London.
Di bulan puasa, tarawih bergilir diselenggarakan, diiringi
pengajian -- di Washington, London, New York dan tentunya banyak
tempat lain, meskipun peserta mahasiswa juga tak banyak.
Biasanya orang KBRI atau konsulat banyak memegang peranan.
Bahkan Fadol Arovah dan Drs. Abdul Hadi Adnan dari KBRI London
sudah enam bulan membuka pengajian ibu-ibu dan anak-anak.
Dan di Berlin Barat, bahkan mahasiswa kita yang turut dalam
Young Moslem Association diminta pihak konsulat kita untuk
membantu dalam acara Idul Fitri -- dan itu pernah menyebabkan
kurang sukanya pihak PPI, yang sebagai "badan resmi yang diakui
Pemerintah RI" merasa "disaingi".
Acara seperti Idul Fitri itulah yang boleh menjadi tanda bahwa
betapapun, mahasiswa yang berlatar belakang Islam misalnya masih
banyak yang menautkan diri dengan kampung halaman, dengan
"akar". Memang, mereka toh nantinya akan pulang. Biasanya --
untuk kedua kalinya -- mengalami kejutan. Tapi mereka toh akan
kembali ke masjid -- atau gereja, atau pura, kalau memang
akarnya dari sana. Masa belajar dan kerja keras, di samping
barangkali "mimpi buruk", sudah lewat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini