Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Kegiatan susur sungai di Sungai Sempor, Kabupaten Sleman pada 21 Februari 2020 lalu, menuai petaka. Susur sungai itu menewaskan 10 anak. Sejumlah pihak menyayangkan kegiatan tersebut dengan berbagai alasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka beralasan, kegiatan seperti susur sungai mestinya tidak melibatkan anak-anak Pramuka tingkat Penggalang atau setara SMP, melainkan tingkat Pandega atau setara SMA.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Susur sungai seharusnya juga tidak dilakukan ketika musim penghujan, tetapi ketika musim kemarau. Alasan lainnya, hanya boleh diikuti oleh orang-orang berpengalaman, bukan anak-anak.
Lantas, apakah memang susur sungai tak boleh diikuti anak-anak sebagai edukasi mengenal lingkungan di luar sekolah? “Kapan lagi memperkenalkan anak-anak tentang sungai dan biotanya?,” kata Ketua Forum Komunitas Winongo Asri (FKWA) Endang Rohjiani saat dihubungi TEMPO, Selasa, 25 Februari 2020.
FKWA, sebuah komunitas penggiat Sungai Winongo di Kota Yogyakarta telah menggelar kegiatan susur sungai, untuk anak-anak usia PAUD hingga mahasiswa sejak 2014. Susur sungai menjadi media edukasi, untuk memperkenalkan anak-anak pada sungai serta flora dan fauna yang ada di dalamnya.
Namun terkait insiden itu, ia menyayangkan opini-opini yang dinilai malah menjauhkan anak dari edukasi tentang sungai, “Bukan susur sungainya yang salah, yang konyol itu persiapannya,” kata Endang.
Berkaca dari musibah yang menimpa siswa-siswi SMP Negeri 1 Turi, Sleman pekan lalu, Endang menyampaikan sejumlah catatan. Ia menilai persiapan yang dihimpun pihak pembina dan pendamping susur sungai Sempor tak matang.
“Mestinya para siswi pakai celana panjang ketika susur sungai. Bukan rok. Itu menyulitkan gerak,” kata Endang. Para peserta juga harus dilengkapi dengan perlengkapan keselamatan. Seperti rompi pelampung, topi, dan sepatu boot.
Jumlah pendamping pun harus menyesuaikan jumlah peserta yang didampingi. Satu pendamping mengampu maksimal 5-10 peserta. Sementara yang terjadi dalam insiden di Sungai Sempor ada tujuh pembina untuk mendampingi 248 siswa.
Tujuh orang tersebut tak semuanya mengawal peserta di dalam sungai, “Selain itu juga mesti menerjunkan relawan SAR,” kata Endang.
Pembina dan pembimbing harus memahami karakter sungai, baik kedalaman sungai, titik-titik akses ke sungai, lokasi-lokasi yang berbahaya, lama waktu aliran dari atas jika terjadi hujan hingga titik kegiatan.
Peserta pun tak perlu dipaksa masuk ke dalam sungai, jika kondisi sungai tidak memungkinkan secara morfologis. Semisal, sungai bertebing tinggi sehingga tidak ada tempat untuk menyelamatkan diri jika terjadi kecelakaan di sungai, “Jika harus masuk ke dalam sungai, pendamping harus memilih titik-titik yang dangkal,” kata Endang.
Dalam edukasi yang diterapkan komunitasnya, susur sungai untuk anak-anak usia PAUD dan SD diterapkan di lokasi sungai dengan kedalaman sebatas mata kaki. Kemudian untuk usia SMP hingga SMA sebatas lutut.
Persiapan yang matang dan prosedur keselamatan yang diperhatikan, membuat susur sungai aman untuk segala usia. Dok. Forum Komunitas Winongo Asri (FKWA)
Sementara menurut Ketua Forum Komunitas Sungai Sleman (FKSS) AG Irawan, pihaknya tengah mencari skema susur sungai yang tepat untuk siswa sekolah berdasarkan jenjang pendidikannya. Semisal, untuk siswa sekolah dasar cukup mengenal sungai dengan cara melakukan observasi vegetasi, biota air, dan mengamati morfologi atau kondisi fisik sungai.
“Cukup anak-anak mengenal atau mengidentifikasi keberadaan dan fungsi sungai bagi keseimbangan alam,” kata Irawan kepada TEMPO.
Kegiatan pun tak harus menceburkan diri ke dalam sungai. Rekomendasinya adalah dibuat track di tepian sungai bagian atas, “Jadi enggak perlu nyemplung ke sungai,” kata Irawan.
PITO AGUSTIN RUDIANA