Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Sleman- Sutradara film Nyanyian Akar Rumput, Yuda Kurniawan menceritakan awal mula ia menyutradarai kisah pentolan kelompok band Merah Bercerita, Fajar Merah. Menurut dia, hal ini dimulai dari kecintaannya pada puisi-puisi karya ayah Fajar sendiri, tak lain penyair Wiji Thukul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yuda ingat saban omnya yang kuliah di Universitas Gadjah Mada pulang sering membawakan fotokopian puisi-puisinya. Lantaran itu pula, Yuda mengenal Wiji Thukul. Di bangku kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Yuda terpikir membuat film tentang sosok si aktivis yang dihilangkan oleh rezim Orde Baru itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Tapi belum tahu mau ambil dari sudut pandang apa,” kata Yuda mengisahkan awal mula membesut film Nyanyian Akar Rumput dalam diskusi dan pemutaran screening trailernya di Hall Baroroh Baried Gedung Lantai 4 Universitas Aisyiyah (Unisa), Sleman, Ahad, 12 Januari 2020 sore.
Hingga kemudian Yuda mendengar kisah tentang Fajar Merah yang berencana merekam album dengan kelompok bandnya, Merah Bercerita. Ia pun memburu sosoknya hingga ke laman-laman Youtube. Dimulai dari lagu-lagu karyanya, termasuk Bunga dan Tembok yang merupakan puisi Wiji Thukul yang dilagukan Fajar.
Lagu itu banyak diunggah ulang warganet di Youtube. Kemudian ada single Kebenaran akan Hidup yang masuk dalam album kompilasi dengan sejumlah penyanyi indie lainnya. “Gila, ini lagu bagus sekali,” kata Yuda.
Videografer Lexy Rambadetta mengunggah aksi Fajar Merah yang manggung di ulang tahun Kontras di Jakarta di akun YouTubenya. Sama seperti terhadap bapaknya, Yuda pun jatuh cinta pada anaknya. “Akustikan. Saya benar-benar jatuh cinta pada Fajar. Saya putar terus lagunya,” kata Yuda.
Ia pun berancang-ancang menggarap film dokumenter tentang Fajar Merah. Jalan pun dipermudah. Lexy membantunya dengan memberikan beberapa footage dari film dokumenternya berjudul Batas Panggung yang belum dipakai. Film dokumenter tentang aktivis yang dihilangkan itu terdapat beberapa rekaman gambar tentang Fajar ketika masih kecil.
“Kalau mau bikin dokumenter Fajar, bisa pakai punyaku,” kata Lexy kepada Yuda.
Pembuatan film ini bertepatan dengan momentum Pemilihan Presiden 2014. Ada Jokowi yang mendapat dukungan ibu Fajar, Siti Dyah Sujirah alias Sipon yang sama-sama dari Surakarta. Rivalnya Prabowo, mantan Komandan Tim Mawar Kopassus yang diduga menghilangkan Wiji Thukul. Yuda yang sudah lulus dan tinggal di Jakarta pun harus rela bolak-balik Jakarta-Surakarta.
“Dinamika politik di Jakarta yang mempertemukan Jokowi dan Prabowo jadi trigger cerita ini,” ungkap Yuda.
Yuda tidur bersama Fajar di kamarnya selama proses pengambilan gambar. Malam-malam awal, Yuda dibuat kaget dengan teriakan Sipon tengah malam. Perempuan itu seperti tengah menggugat dalam igauannya ketika tengah tidur. Esoknya, Fajar menjelaskan hal itu kepada Yuda.
“Ntar juga terbiasa,” kata Fajar.
Sutradara film Nyanyian Akar Rumput, Yuda Kurniawan. TEMPO | Pito Agustin Rudiana
Yuda pun menangkap ada tekanan emosional yang naik turun yang masih dirasakan keluarga itu. Meskipun telah belasan tahun peristiwa penculikan 13 aktivis, termasuk Wiji Thukul itu terjadi. Berbeda dengan Fajar maupun Wani yang punya media pelampiasan ketika emosi mendera. Lewat karya-karya seni mereka. Fajar dengan musiknya, Wani dengan puisinya. Dan hal biasa ketika Fajar suntuk kemudian main musik sekencangnya hingga terdengar di ujung jalan. Sipon pun tak melarang.
“Saya baru sadar kalau penyintas enggak punya penyaluran, entah seperti apa nasibnya. Saya pun merasa tak bakal sekuat Fajar,” kata Yuda.
Rupanya selama empat tahun bolak-balik Jakarta-Surakarta turut mempengaruhi emosi Yuda. Ia selalu mengumpat tiap kali pulang dari rumah Sipon. Melihat Sipon dan kedua anaknya berusaha tegar menjalani hidup sehari-hari berbalut masa lalu yang tidak baik-baik saja.
“Saya misuh-misuh. Di mana sih negara ini? saya tak melihat negara hadir di sana. Saya kesal,” ujar Yuda.
Pada masa awal pengambilan gambar, Yuda sama sekali tak menyinggung tentang sosok bapaknya. Ia khawatir Fajar akan menjaga jarak. Yang diobrolkan adalah apapun tentang musik. Kebetulan keduanya sama-sama suka John Lennon.
“Jadi nyambung,” kata Yuda mengisahkan awal perkenalan dengan Fajar.
Hingga di pertengahan shooting, Yuda mengutarakan keinginannya agar Fajar bicara soal bapaknya. Fajar sempat merasa tak nyaman. Yuda pun menjelaskan, sesi itu bukan semata keinginan pribadi. Melainkan untuk penonton. Sesi khusus untuk wawancara pun digelar di sebuah taman sepi di kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Fajar bercerita sambil merokok dan Yuda merekamnya.
“Kalau gambarnya dianggap bermasalah, peduli setan. Kalau dia nyaman dengan merokok, ya bagaimana lagi,” kata Yuda. Fajar pun bilang, bapaknya adalah sosok yang menginspirasi.
“Dengan membawakan puisinya itu adalah cara saya berkenalan dengan beliau lewat lisan. Bukan untuk eksistensi saya semata. Dengan begitu, saya bisa memperkenalkan beliau kepada anak-anak muda lewat musik saya,” kata Fajar dalam film itu.
Musik adalah bahasa universal, demikian keyakinan Yuda. Siapapun yang mendengarkan music, enggak peduli apa genrenya, tapi kalau nadanya terdengar asik akan manggut-manggut. Merasa menikmati. Begitu pula dengan film. Ia berharap, film Nyanyian Akar Rumput itu menjadi penyambung lidah pemerintah dan penonton.
“Mereka mungkin salah satu dari sekian banyak orang di dunia ini yang dianggap taka da oleh negara ketika anggota keluarganya dihilangkan,” kata Yuda.
PITO AGUSTIN RUDIANA