Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tunisia bakal menjadi Roma baru di Afrika Utara. Usai reformasi, negeri itu memiliki energi dari kebebasan berekspresi. Dan semangat untuk melestarikan warisan budaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Biaya pelesiran di Tunisia juga relatif murah. Bila ingin memasuki Colosseum di Roma, wisatawan antre selama tiga jam, dengan membayar 12 Euro. Sementara, dengan waktu yang sama, menurut catatan BBC, wisatawan bisa terbang dari Italia ke Tunisa selama 80 menit. Berlanjut ke Chartage atau Kartago dengan taksi sejauh 15 kilometer, dengan biaya taksi hanya 12 Dinar Tunisia atau 12 Euro. Di Kartago, reruntuhan Romawi sama apiknya dengan di Roma.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tunisia pernah muram, sebelum penggulingan Presiden Zine al-Abidine Ben Ali pada tahun 2011. Sebelum tahun itu, destinasi wisata tempat menyepi wisatawan dan seniman serta intelektual Eropa (Paul Klee, Michel Foucault, dan Simone de Beauvoir) sepi turis.
Walhasil Tunisia yang indah itu, hanya bisa dinikmati dengan keamanan terisolasi dari paket wisata all-inclusive. Dengan kondisi keamanan yang rawan, wisatawan hanya dapat menikmati keindahan di resor Mövenpick dan spa di Sousse.
Reputasi Tunisia kian rusak pada 2015, saat ISIS melakukan teror. Setelahnya, Pemerintah Inggris masih menyarankan wisatawan berhati-hati di kawasan itu.
Meskipun sedang menuju demokrasi, sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengunjungi ibu kota Tunisia. Suasana yang demokratis, ekonomi yang stabil dan pariwisata sedang dikembangkan.
Tunisia menjadi satu-satunya negara berbahasa Arab yang menikmati kebebasan berekspresi, dan ibu kotanya ramai dengan orang-orang muda yang mengekspresikan ide-ide baru melalui konser, demonstrasi politik, pertunjukan seni dan festival film, yang satu dekade sebelumnya tidak mungkin mereka lakukan.
Reruntuhan Romawi, Antonine Baths, di Carthage Tunisia. Foto: @emiyokoshima
Masih ada reruntuhan Romawi dan Punisia kuno untuk dijelajahi, pantai untuk dinikmati dan barang seni dan kerajinan yang luar biasa. Apa yang paling menarik adalah bahwa Tunisia dipenuhi dengan energi kreatif dari generasi baru. Mereka memanfaatkan sepenuhnya kebebasan berekspresi dan semangatnya untuk melestarikan warisan budaya dengan cara-cara baru dan tak terduga.
Leila Ben Gacem, salah satu warga yang mempelopori kebebasan seni dan budaya. Ia seorang wirausahawan sosial yang berkomitmen untuk menyelamatkan kerajinan dan kesenian lokal yang berisiko menghilang.
"Ketika orang-orang bepergian, mereka menginginkan sebuah cerita, mereka ingin menjadi bagian dari sesuatu," kata Ben Gacem kepada Erin Clare Brown dari BBC.
Sebagai langkah awal, ia merenovasi Dar Ben Gacem Kahia, salah satu dari dua rumah abad pertengahan. Rumah itu merupakan bagian dari Madinah (Kota tua) di Tunisia, yang telah dengan susah payah direnovasi menjadi wisma selama dekade terakhir.
Ben Gacem tahu cerita ketika dia melihatnya. Setelah berkarier sebagai insinyur di Eropa dan Afrika Utara, ia menjadi skeptis terhadap pengembangan dan investasi asing di Tunisia. Saat ia kembali ke kampung halamannya pada 2013, ia berusaha mendorong pertumbuhan ekonomi warga dengan melestarikan warisan budaya.
Dia menghabiskan waktu berbulan-bulan mencari dan mendengarkan kisah-kisah ratusan pengrajin di Madinah yang terdaftar sebagai Warisan Dunia Unesco di Tunisia - pembuat sepatu, pembuat parfum, pekerja kayu, penjilid buku, pembuat topi, penenun - dan mendirikan organisasi akar rumput terkemuka, Blue Fish, untuk membantu mereka menjaga bisnis tetap bertahan dan kerajinan mereka hidup.
Salah satu cara untuk melakukannya adalah bawa pembeli ke mereka. "Pasar lokal kami terlalu kecil untuk melestarikan seni dan kerajinan kami," katanya. Tetapi dengan mengembalikan rumah-rumah bersejarah sebagai wisma, ia membawa ribuan pengunjung dari seluruh dunia ke bengkel dan etalase para pengrajin Madinah.
"Pada awalnya para pengrajin tidak mengerti mengapa orang ingin melihat bengkel mereka atau menonton mereka membuat topi atau sandal," katanya, tetapi sekarang itu menjadi hubungan simbiosis. Para tamu menerima peta yang disesuaikan dengan lokasi lusinan bengkel dan toko yang penuh dengan barang-barang kulit buatan tangan, permadani, parfum, dan beragam kerajinan hingga makanan tradisional.
Seni tembikar dari Tunisia yang kini jadi incaran wisatawan. Foto: @tourism.in.tunisia
Walhasil, wisatawan menjadikan produk-produk warga sebagai barang buruan. Aktivitas wisata itu mendukung bisnis mikro yang menjaga warisan Tunisia tetap hidup.
Ben Gacem juga menempatkan sekelompok kecil pengrajin untuk bekerja memulihkan guest house. Butuh tujuh tahun bagi para pemahat gipsum, keramik, pekerja kayu, dan lapisan batu untuk mengembalikan guest house pertama ke kejayaannya sebelumnya. Seperti bagian lain dari Madinah yang mempesona, setiap elemen bangunan memiliki cerita. Marmer-marmer itu ditata di halaman guset house yang luas. Suasananya seperti mengembalikan Madinah Tuniasia yang dibangun kembali dari reruntuhan Romawi oleh orang-orang Arab pada abad ke-7.
Ben Gacem percaya bahwa warisan budaya Tunisia tidak hanya harus dilestarikan, itu harus diturunkan. Guest House telah menjadi pusat budaya, menyelenggarakan makan malam, kuliah, dan konser yang terbuka untuk umum dan penuh dengan penduduk lokal dari lingkungan sekitar. Dia juga mendorong pengrajin muda untuk mengambil magang dan melatih remaja lokal di industri perhotelan, sehingga warisan budaya Madinah akan tetap berada di tangan penduduknya.
Jauh sebelum ada Tunisia, ada Carthage (Kartago), kota pelabuhan Fenisia kuno yang merupakan saingan berat Roma selama berabad-abad. Dalam puisi epik Aeneid, penyair Romawi Virgil menceritakan bagaimana pendiri Carthage, ratu Dido, melarikan diri dari Tirus -- Libanon saat ini -- dan mendarat di Afrika Utara.
Ketika dia memohon sepotong tanah dari pemimpin suku setempat, dia melemparkan kulit sapi ke tanah, mengatakan dia bisa memiliki tanah yang ditutupi kulitnya. Ia mengiris kulit itu menjadi pita tipis dan mengelilingi seluruh bukit tepat di atas pelabuhan. Ini adalah Byrsa Hill, tempat terbaik untuk memulai hari menjelajahi reruntuhan Punisia dan Romawi di Carthage.
Persembahan Manusia
Sekilas, Byrsa Hill, yang dihuni villa dan rumah besar, lebih mirip Beverly Hills daripada situs Warisan Dunia UNESCO. Tetapi tidak seperti Beverly Hills, jika Anda ingin membangun kolam di halaman belakang, sebaiknya memanggil arkeolog terlebih dahulu. Selama berabad-abad, satu per satu peradaban membangun rumah di atas Byrsa Hill. Hanya dengan menggali beberapa meter ke bawah, siapapun dapat menemukan tembikar merah Afrika atau sisa-sisa mosaik Romawi.
Sementara puncak bukit Byrsa Hill menawarkan pemandangan Laut Mediterania dan beberapa puing era Punisia dan Romawi, dengan daya tarik utamanya, The Carthage Museum. Situs-situs itu bisa dikunjungi dengan satu tiket terusan untuk delapan situs. Dan semuanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki.
Pemandangan sejumlah rumah yang tersembunyi di bawah tanah. Sepintas, rumah orang Berber itu tampak seperti rumah atau sarang semut. Meski dibuat dengan alat sederhana, namun rumah-rumah ini mampu bertahan selama berabad-abad untuk dijadikan tempat tinggal. REUTERS/Zohra Bensemra
Dari delapan situs, mungkin yang paling menarik adalah pemakaman Tophet, atau Punic. Meskipun kecil, tetapi sejarah yang ia simpan cukup mengerikan. Di sana terbaring para anak-anak Punisia. Pasalnya, orang-orang Fenisia kuno mengorbankan anak mereka kepada Dewi Tanit. Setiap satu anak diwakili dengan batu nisan, yang terukir wajah sang anak. Lusinan batu-batu ini berkerumun di antara rerimbunan palem, dalam adegan yang tenang tapi menakutkan.