Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bank BNI seperti tak putus dirundung malang. Belum lagi kasus pembobolan kredit senilai Rp 1,7 triliun beres, manajemen bank terbesar kedua di Indonesia itu harus menghadapi gugatan karyawannya sendiri. Adalah Ifkar Hajar yang mulai menabuh kapak perang dengan para bosnya di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Bekas pemimpin Bidang Pelayanan Bank BNI Cabang Sampit, Kalimantan Tengah, itu meminta pengadilan membatalkan surat keputusan direksi BNI yang memindahkan dirinya dari Sampit ke Jakarta. Sidang Ifkar mulai dilaksanakan Senin pekan lalu. Saat ini, Ifkar tercatat sebagai karyawan di Bagian New Core Banking (NCB) BNI Pusat.
Ifkar tak cuma dilengserkan dari jabatannya di Sampit, tapi juga dipotong gajinya sampai 20 persen. Hak cuti dan bonusnya pun tak lagi genap. Pendek kata, Ifkar merasa dizalimi oleh manajemen Bank BNI. Ifkar menduga, semua kemalangannya itu berasal dari laporannya kepada manajemen BNI tentang penyelewengan yang dilakukan atasannya di BNI Cabang Sampit. Penyelewengan ini menyebabkan BNI berpotensi menderita kerugian sampai Rp 8 miliar. ”Masa, saya yang melaporkan penyelewengan malah di-nonjob-kan dan penghasilan saya dipotong Rp 1,5 juta per bulan,” katanya.
Kasus ini bermula dari niat Pemerintah Daerah Kotawaringin Timur menyimpan dana sebesar Rp 30 miliar dalam bentuk giro di Bank BNI pada September 2001. Ketika itu bunga simpanan giro hanya enam persen per tahun. Tapi, oleh pimpinan BNI Sampit yang bekerja sama dengan pejabat Pemda Kotawaringin Timur, duit itu malah disimpan dalam bentuk deposito dengan bunga 17 persen. Dari bunga sebesar itu, 15 persen masuk ke rekening pemerintah daerah dan sisanya masuk ke kantong pejabat teras Pemda Kotawaringin Timur. Pimpinan BNI setempat juga kecipratan Rp 5 juta per bulan. ”Tapi, dalam laporan ke DPRD Kotawaringin Timur, duit tersebut disimpan dalam bentuk giro,” kata Ifkar.
Ifkar tak cuma membongkar praktek tersebut. Dia juga mengungkapkan bagaimana pemimpinnya menyulap transaksi tanah antara BNI dan pemiliknya. Awalnya, pemilik tanah di belakang BNI hendak menjual tanahnya ke BNI yang memang akan memperluas kantornya. Tapi, tawaran tersebut ditolak oleh pimpinan BNI Sampit karena BNI akan pindah kantor dan lagi pula dana investasi masih belum tersedia. Tak dinyana, tanah tersebut justru dibeli oleh bos Ifkar seharga Rp 225 juta. Dan yang lebih tak disangka, tanah tersebut akhirnya dibeli oleh BNI dengan harga Rp 600 juta.
Tak tahan melihat praktek seperti itu, Ifkar akhirnya melaporkan soal ini ke manajemen BNI pada Maret lalu. Bank BNI kemudian mengirim Satuan Pengawas Internal ke Sampit.” Semua laporan saya dibenarkan oleh tim itu,” katanya. Dia menambahkan bahwa pemimpin BNI tersebut akhirnya dipindahkan. Anehnya, kata Ifkar, dia juga kena sambit. Dengan alasan tak bisa bekerja sama dengan Kepala Cabang BNI Sampit sejak tahun 2000, Ifkar dipindahkan ke kantor wilayah Banjarmasin.
Dari Banjarmasin, Ifkar akhirnya ditugasi menjalani pelatihan di Jakarta dalam proyek implementasi new core banking. Tapi, Ifkar merasa bahwa pelatihan ini tak lain adalah pe-nonjob-an dirinya. ”Itu tempat baru yang dibentuk untuk pelatihan bagi 30 karyawan untuk cuci otak karena dianggap tak bisa bekerja sama,” tuturnya. Dia menambahkan bahwa peserta yang dimasukkan ke dalam lembaga baru ini a dalah karyawan BNI yang mempunyai dokumen penyimpangan di daerahnya masing-masing.
Bukan sekali ini saja Ifkar melaporkan penyimpangan yang terjadi di wilayahnya. Pada 1986, Ifkar melaporkan penyimpangan dalam jumlah yang lumayan besar di cabang New York. Ketika itu, ia mengetahui BNI dibobol oleh Seno Adji dan Rudi Demsi. Kedua orang itu berhasil membobol BNI US$ 18 juta (sekitar Rp 30 miliar) dengan menggunakan fasilitas Internet, yang kala itu masih jarang digunakan orang. Dari sebuah kamar hotel di New York, mereka mentransfer uang BNI Pusat dan BNI Cabang New York ke beberapa bank di Panama, Hong Kong, dan Luksemburg. Berkat laporannya itu, Ifkar diberi penghargaan kenaikan pangkat serta keliling dunia selama lima minggu plus uang saku.
Tapi, berbeda dengan yang diperolehnya pada 1986, sekarang Ifkar merasa mendapat perlakuan yang tidak adil. Harapan untuk mendapatkan hadiah yang sama pupus sudah. Karena itu, Ifkar lalu menggugat direksi BNI. Namun, Hakim Is Sudaryono terpaksa menunda sidang karena tergugat atau wakilnya tidak ada yang menghadiri persidangan. Bahkan BNI tidak mengetahui adanya gugatan ini. ”Saya sudah mencari informasi ke mana-mana. Tapi tidak ada yang tahu soal ini. Bagian hukum sedang sibuk di Mabes Polri untuk urusan L/C Rp 1,7 triliun itu,” kata Sekretaris Perusahaan BNI, Lilies Handayani. Agaknya, harga yang harus dibayar Ifkar atas laporannya terlalu mahal.
Agus S. Riyanto, Bernarda Rurit (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo