Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEDUA tangan Rosnita Wati memeluk erat Irfan Renaldo, seolah tak mau lepas dari pinggang bocah enam tahun itu. Ia mengaku masih mengalami trauma atas penculikan yang sempat menimpa putra bungsunya yang masih duduk di kelas satu sekolah dasar itu. ”Maaf, saya masih takut sekali,” kata Rosnita kepada Tempo, yang menyambangi rumahnya di Jalan Puri Indah, Kelurahan Rejo Sari, Kulim, Pekanbaru, Selasa pekan lalu.
Kecemasan Ros—begitu ia biasa dipanggil—berawal dari telepon Ujang, Senin menjelang tengah hari pekan lalu. Keponakannya itu mengabarkan, Irfan tidak ada di sekolah. Ros bergegas menyusul ke sekolah. Semua guru, orang di sekitar sekolah, dan sanak famili ditanyai tentang keberadaan Irfan. Tak satu pun memberikan petunjuk terang.
Selang dua jam, telepon seluler Ros berderit. Dari seberang terdengar suara keras seorang pria: ia mengaku menculik Irfan. Ros diancam agar tidak melaporkan penculikan ini ke polisi. Tubuh Ros lunglai begitu telepon ditutup. Tak sampai satu jam kemudian, si ”penculik” menghubungi kembali. Ia minta tebusan Rp 3 miliar, dengan ancaman keselamatan Irfan. ”Saya benar-benar lemas,” tutur Rosnita. ”Dari mana kami mencari uang sebesar itu?”
Di rumahnya yang bercat oranye tua dan bertembok pagar putih itu, keluarga Ros berunding. Sempat timbul debat, apakah dilaporkan ke polisi atau tidak. Akhirnya tercapai mufakat: penculikan harus dilaporkan ke polisi. Bersama empat saudara kandungnya, janda beranak tiga itu datang ke Kepolisian Kota Besar Pekanbaru. Selasa dinihari pekan lalu, polisi berhasil membebaskan Irfan. Tiga orang yang diduga pelaku, yakni Elfa Yanti, Abdul Hamid, dan Hendro Prayogo, dibekuk tanpa perlawanan.
UJANG Dayat, 39 tahun, bersandar di dinding teras rumahnya. Kesepuluh jari tangannya saling mengait di atas kedua kaki yang sedang selonjoran beralas karpet. Wajahnya kuyu menahan kantuk. Lima kali dia menguap dalam 15 menit berbincang dengan Tempo, Kamis siang pekan lalu. Istrinya, Suryani, 35 tahun, sedang tidur di kamar.
Kenangannya bersama Jefri Andriansyah terus membayang sejak putra keduanya yang berusia sembilan tahun itu menghilang, akhir Mei lalu. Saat-saat bersama menghabiskan malam adalah hal yang tak bisa dia lupa kan. Mereka berdua selalu tidur bersama di ruang tamu, persis di depan pesawat televisi. ”Sekarang saya tidur sendiri,” kata Ujang, lirih.
Ahad petang, 30 Mei lalu, Jefri menghilang dari kediamannya di Gang Kubur, RT 08 RW 03, Joglo, Kembangan, Jakarta Barat. Jejaknya tak tercium meski telah dicari ke semua tempat. Hingga Senin esoknya, rentetan pesan pendek mendarat di telepon seluler Ujang. Pengirim pesan meminta uang tebusan Rp 35 juta kalau Ujang ingin Jefri selamat.
Bagi Ujang, yang memiliki toko ke lontong di rumahnya dan menyewakan tiga andong, uang sejumlah itu bukan perkara gampang. Sambil tetap berusaha mengumpulkan uang, keluarga Ujang melaporkan kasus ini ke Kepolisian Sektor Kembang an. Berbekal nomor telepon pengirim pesan, sepekan berselang dari hilangnya Jefri, polisi berhasil menangkap Umar, 25 tahun, dan Idris, 27 tahun, yang diduga pelaku penculikan.
Dari keduanya diperoleh keterangan, Jefri telah dibunuh dan jenazahnya dibuang di sepetak lahan kosong, sekitar satu kilometer dari rumah korban. Jenazah Jefri ditemukan sudah membusuk.
SEKRETARIS Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait menyatakan kasus penculikan anak di Indonesia sudah masuk kategori mengkhawatirkan. Laporan kasus penculikan anak yang masuk ke Komisi Nasional mencatat, pada kurun Januari sampai Mei 2010, telah terjadi 67 kasus—dan hanya 27 yang terungkap. ”Keadaan ini sangat mencemaskan,” kata Arist.
Sebagian besar kasus penculikan terjadi di seputar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Selebihnya di beberapa kota besar, seperti Surabaya, Bandung, dan Semarang. Arist menyatakan penculikan anak umumnya dilatarbelakangi persoalan ekonomi. Misalnya, pelaku meminta tebusan atau menjual korban untuk diadopsi secara ilegal, dipekerjakan, atau untuk tujuan seks komersial.
Memang, tak sedikit pula yang bermotif dendam atau rebutan hak asuh. Ada lagi dugaan untuk tujuan perdagangan organ tubuh. ”Namun belum ada buktinya,” kata Arist. Pelaku penculikan biasanya orang yang juga dekat dengan korban, seperti pembantu rumah tangga, tetangga atau kerabat dekat, dan teman orang tua korban.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Metropoli tan Bekasi Komisaris Ade Ary Syam Indradi sependapat dengan Arist. Orang-orang dekat, menurut Ade, lebih leluasa membawa kabur korban. ”Sebab, sudah kenal dengan korban ataupun orang tua nya.”
Penculikan anak, menurut Arist, tak jarang juga dilakukan oleh kelompok sindikat jual-beli anak, seperti yang belum lama ini terungkap di Bekasi dan Semarang. Juru bicara Kepolisian Daerah Metro Jaya, Komisaris Besar Boy Rafli Amar, tak menampik kecurigaan itu. ”Kemungkinan melibatkan sindikat ada,” kata Boy.
Pada akhir Februari lalu, Unit Reser se Mobil Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya menciduk pelaku sindikat penculikan dan penjual an anak bernama Hermanto di Rangkas Bitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Ban ten. Warga Tanah Abang, Jakarta Pusat, itu tertangkap ketika akan membawa kabur Indah, 7 tahun, dan Fani, 8 tahun. Dua gadis cilik itu diculik di sekitar rel kereta api dekat Gang Setia, RT 4 RW 12, Duri Pulo, Jakarta Pusat. Hermanto mengambil paksa kedua anak itu, lalu menaikkan mereka ke dalam kereta.
Kasus ini terungkap setelah Polisi Khusus Kereta Api, yang melihat gelagat Hermanto yang mencurigakan, segera berkoordinasi dengan Kepolisian Daerah Metro Jaya. Kepada polisi, Hermanto mengaku akan menjual Indah dan Fani seharga Rp 3 juta per anak. Dia juga mengaku pernah menjual satu anak beberapa bulan sebelumnya.
Penanganan kasus penculikan anak, menurut Ade Ary, terbilang sulit. Polisi baru bisa bertindak setelah peristiwa terjadi dan setelah menerima laporan orang tua korban. Prosedur normatif kepolisian mengatakan laporan anak hilang baru akan ditindaklanjuti setelah menunggu 1 x 24 jam.
Sebagai langkah pencegahan dini, polisi mengimbau orang tua yang memiliki anak selalu awas, menjaga anaknya setiap saat, dan tidak mudah percaya kepada orang yang menawarkan jasa perawat. Sebelum mengangkat pembantu, kata Ade, sebaiknya menyeli diki asal usulnya, latar belakang keluarganya, dan sebagainya. Supaya aman, kata Ade, lebih baik meminta bantuan keluarga sendiri, orang tua, atau orang yang memiliki pertalian saudara sebagai pengasuh anak.
Erwin Dariyanto, Jupernalis Samosir (Pekanbaru), Hamludin (Bekasi)
Teror Mengintai Si Bocah
Kasus penculikan Raisah Ali, 5 tahun, pada 2007 sempat menghebohkan masyarakat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pun turun tangan. Semestinya peristiwa itu menjadi momentum bagi aparat untuk memerangi maraknya kasus penculikan dan perdagangan anak.
Tapi faktanya, dari tahun ke tahun penculikan anak justru makin meningkat. Dari Januari hingga Mei 2010, Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia menerima 67 laporan kasus anak hilang. Tak sampai separuhnya yang dapat diungkap oleh aparat.
Erwin Dariyanto
Terus Meningkat
2007: 37 Kasus
2008: 72 Kasus
2009: 102 Kasus
2010*: 67 Kasus
* sampai Mei
Dugaan motif
1. Meminta uang tebusan
2. Menginginkan anak
3. Dijual
4. Sakit hati/dendam kepada orang tua korban
5. Penjualan organ
Sejumlah yang Terungkap
2007
Raisah Ali, 5 tahun, putri pasangan Ali Said, 43 tahun, dan Nizmah Mucksin Thalib, diculik dan empat pelakunya meminta uang tebusan Rp 1 miliar. Sembilan hari kemudian polisi berhasil membongkar kasus ini.
Februari 2008
Yasmin Arijna, bocah perempuan berusia 4 tahun, warga Perumahan Panorama Indah, Purwakarta, diculik Laila, pengasuhnya. Laila diduga anggota sindikat penculik anak balita dengan modus berpura-pura menjadi pembantu rumah tangga. Polisi berhasil mengendus keberadaan pelaku dari sinyal telepon selulernya. Yasmin ditemukan di Garut.
28 September 2009
Muhammad Haikal, 10 hari, diculik saat mengikuti ajang lomba bayi sehat di ITC Depok, Jawa Barat. Pelaku, yang diketahui bernama Yuliani dan Ratna, 29 tahun, mengaku menculik karena ingin mempunyai momongan.
Januari 2010
Baru beberapa jam melahirkan, Murtanti kehilangan bayinya yang diambil seorang perempuan yang menyamar sebagai bidan Puskesmas Kembangan, Jakarta Barat. Pelakunya, Suryani, yang pernah bekerja di puskemas itu, mengaku menculik karena ingin mempunyai anak.
30 Mei 2010
Jefri Ardyansyah, 9 tahun, hilang dari rumahnya di Gang Kubur, Kembangan, Jakarta Barat. Penculik meminta uang tebusan Rp 35 juta. Sepekan kemudian polisi berhasil menciduk dua orang yang diduga sebagai pelaku. Jefri ditemukan sembilan hari kemudian dalam keadaan sudah tak bernyawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo