Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PINTU rumah tipe 36 di Perumahan Bintang Metropol, Bekasi Utara, Jawa Barat, itu kini selalu tertutup. Dari jendela terlihat Amar Fadil, 3 tahun, bermain kejar-kejaran bersama kakaknya. Adiknya, Najma Nailal Husna, 3 bulan, terlelap di gendongan neneknya.
Kamis pekan lalu, ketika Tempo mengetuk pintu pagar rumah milik pasangan Khairil Anwar dan Dahlia itu, Amar dan kakaknya langsung kabur. Sesekali keduanya mengintip dari balik daun jendela. Yang keluar sang nenek. ”Saya tidak tahu apa-apa. Orang tua mereka masih kerja,” ujar perempuan tersebut. Blak, pintu lalu ditutup.
Amar dan Najma adalah dua dari sekian korban penculikan yang dapat diselamatkan. Akhir Mei lalu, kedua bocah itu diculik Wiji Astuti, 20 tahun, yang tak lain pembantu Khairil. Wiji baru sebulan bekerja di keluarga Khairil. Perempuan itu membawa kabur Amar dan Najma ketika kedua orang tua mereka bekerja. Khairil bekerja di Bea-Cukai dan Dahlia di kantor pajak.
Dengan menumpang becak, sekitar pukul 07.00, Wiji membawa dua anak tersebut keluar kompleks. Dari sana ia melanjutkan perjalanan ke Stasiun Bekasi. Di situ sudah menunggu pacarnya, Riyan, dengan tiga tiket kereta kelas ekonomi jurusan Semarang pukul 09.00. Kepada Amar yang mulai rewel, Wiji menyatakan mereka akan pelesir ke rumah nenek bocah itu di Solo. Sewaktu kereta api sampai Stasiun Tambun, Bekasi, Riyan menghilang. Sebelumnya, kepada Wiji, pria itu berpesan untuk menemuinya nanti di pasar malam Kecamatan Tegowanu, Grobogan, Jawa Tengah.
Tiba di Stasiun Tawang, Semarang, Wiji bergegas menuju angkutan umum. Saat itu, tanpa ia sadari, enam orang berseragam Bea-Cukai tengah mengamati dirinya. Mereka rekan-reman Khairil. Begitu mengetahui dua anaknya hilang, Khairil memang mengontak rekan-rekannya di Semarang. Ketika satu dari enam orang itu menanyakan apakah dirinya bernama Wiji, perempuan itu menggeleng dan mempercepat langkahnya.
Tingkah laku Wiji ini justru makin mencurigakan. Berboncengan sepeda motor, keenam pegawai Bea-Cukai itu mengejar angkutan umum yang ditumpangi Wiji dan menyetopnya. Mereka membawa perempuan itu ke kantor polisi. Di sana barulah ia mengaku. Kepada polisi, ia menyatakan anak-anak itu akan diserahkan kepada pria bernama Yanto. Dari pria ini ia dijanjikan akan mendapat duit Rp 2 juta.
Ditemui Tempo di ruang tahanan Polres Bekasi, perempuan asal Desa Gundih, Purwodadi, Jawa Tengah itu menunjuk Riyan sebagai otak penculikan Amar-Najma. ”Semua yang mengatur dia,” ujarnya. Penculikan itu, katanya, sudah direncanakan sejak ia bekerja di rumah Khairil pada 10 Mei lalu.
Kepala Reserse Kriminal Polres Metropolitan Bekasi Komisaris Ade Ary Syam Indradi menyatakan bahwa Wiji adalah bagian dari sindikat penculikan anak. ”Ini kasus besar. Kami akan terus menyelidiki,” ujarnya. Pihaknya, katanya, menengarai sindikat ini beroperasi di sejumlah kota besar di Indonesia.
Polisi sampai kini belum berhasil membongkar sindikat tersebut. Lima reserse yang dikirim ke Semarang dan Grobogan pulang dengan tangan kosong. Menurut Ade, Wiji tidak dapat menunjukkan rumah Riyan. Enam pemilik rumah yang ditunjuk Wiji mengaku tidak mengenal Riyan.
Kamis pekan lalu, Tempo mendatangi Desa Tegowanu, yang disebut Wiji sebagai kediaman Riyan dan Yanto. Desa ini berjarak sekitar 30 kilometer dari Semarang. Sejumlah penduduk yang ditemui menyatakan tak tahu-menahu perihal penculikan yang disebut-sebut dilakukan warga dari desa mereka. ”Saya baru tahu kabar ini dari Anda,” kata Waryoto, Kepala Desa Tegowanu. Menurut Waryoto, tak ada warganya bernama Riyan atau Yanto.
Kini Wiji meringkuk sendirian di tahanan. Ia berharap polisi bisa menangkap Riyan dan Yanto. Perempuan yang pernah dipenjara enam bulan karena terlibat kasus pencurian itu menyatakan salah satu rumah yang ia tunjukkan ke polisi adalah rumah orang tua Riyan. Ia mengaku sudah dua kali ke rumah itu. ”Tapi kemarin orang tuanya pura-pura tidak kenal,” ujarnya.
Sutarto (Jakarta), Hamludin (Bekasi), Muhammad Rofiudin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo