Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA jaksa Suwarji menuntutnya enam tahun penjara, raut wajah Anggodo Widjojo tampak mengeras. Seraya meninggalkan ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin pekan lalu, ia tak menggubris pertanyaan wartawan. Adik Anggoro Widjojo, buron korupsi pengadaan radio komunikasi di Departemen Kehutanan, itu hanya mendesis, ”Saya tak terima, tuntutan jaksa tak sesuai fakta.”
Suasana ini berbeda dengan sesaat sebelum sidang. Di ruang tunggu terdakwa, Anggodo menebar senyum kepada keluarga dan handai tolan yang memberikan dukungan. Senyumnya kian merekah ketika Bonaran Situmeang, pengacara yang dilarang mendampinginya di sidang, memberikan pelukan mesra. ”Sukses, ya, Pak,” kata Bonaran.
Sidang pembacaan tuntutan itu juga menjadi puncak kekesalan Anggodo. Dalam sidang-sidang sebelumnya, ia selalu cuek dan ringan hati. Dalam sidang dua pekan lalu, misalnya, dia bahkan terlelap ketika jaksa Suwarji membacakan pengakuannya yang tertuang dalam berkas acara pemeriksaan. Kini ia terlihat gusar. ”Atas nama diri sendiri, saya akan mengajukan pembelaan,” kata Anggodo, ketus.
Pengacaranya, Otto Cornelis Kaligis, menilai tuntutan jaksa tak tepat. Menurut dia, tuntutan itu mestinya dialamatkan kepada Bibit Samad Rianto, Chandra Martha Hamzah, dan Ade Rahardja—para petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi. Karena permintaan merekalah, kata Kaligis, Anggodo dan Anggoro mau menyediakan Rp 5,15 miliar sebagai ”biaya” penghentian kasus Anggoro.
Kaligis berkukuh pada kesaksian Ary Muladi pada 15 Juli 2009. Laki-laki 53 tahun itu mengaku menyerahkan uang secara bertahap kepada ketiga pejabat itu di Pasar Festival dan Apartemen Bellagio, Jakarta. Kesaksian yang dituangkan dalam kronologi ”Pengurusan Kasus di KPK” itu kemudian disangkal sendiri oleh Ary Muladi. Ia mengaku diminta Anggodo mengaku telah menyampaikan uang suap tersebut.
Pengakuan ini kadung menyeret Bibit dan Chandra ke tahanan polisi, lalu dibebaskan karena tak cukup bukti. Ary Muladi memang menerima uang itu dari Anggodo di Hotel Peninsula. Namun duit sebanyak itu kemudian ia titipkan kepada orang bernama Yulianto, yang disebutnya mengenal dekat para petinggi Komisi. Yulianto ini raib hingga kini: polisi dan jaksa tak bisa menemukan jejaknya.
Kubu Anggodo kemudian menuding Yulianto tak lain dari Ary Muladi sendiri. Anggodo menuduh Ary telah menipunya. Tapi Kaligis yakin betul uang suap itu sampai ke tangan para pejabat. Buktinya, kata dia, ada percakapan telepon antara Ary dan Ade Rahardja ketika mengatur penyerahan uang—meski polisi dan jaksa telah menyangkal memiliki rekamannya.
Dalam persidangan Anggodo, tuduhan penyuapan memang tak bisa dibuktikan. Bibit menyodorkan alibi ia berada di Peru pada tanggal Ary mengaku menyerahkan uang dan bertamu ke Komisi. Sinyal telepon Chandra juga tak berkedip di sekitar Pasar Festival. Bahkan Ade Rahardja mengaku tak pernah bertemu atau mengenal Ary Muladi, meski ada kesaksian bekas anak buahnya, Sigit Winarno di Kepolisian Daerah Jawa Timur yang menyebut keduanya memang akrab dan sering kongko.
Kesaksian itu diberikan kepada polisi pada 8 Oktober 2009. Persidangan Anggodo memakai hasil penyelidikan dan penyidikan KPK yang tak memeriksa kesaksian dan pengetahuan anak buah Ade Rahardja sewaktu menjadi Kepala Direktorat Reserse pada 2002-2003 itu. ”Jadi saya tak tahu kalau ada pengakuan seperti itu,” kata Suwarji. Padahal kesaksian ini penting untuk mengungkap aliran duit dan mengklarifikasi pengakuan Ade ataupun Ary Muladi.
Dengan bahan hasil penyidikan Komisi, tim jaksa hanya menjerat Anggodo, Anggoro, dan Ary Muladi sebagai perekayasa kriminalisasi pemimpin KPK. Nama-nama lain yang muncul di sekitar Anggodo dan Ary, seperti Eddy Soemarsono dan bekas jaksa agung muda intelijen Wisnu Subroto, tidak digubris. ”Mereka kan muncul belakangan, setelah rekayasanya diatur,” kata Suwarji.
Anggodo dituduh menjadi inisiator, karena sejak awal tahu penggeledahan dan penyitaan dokumen di kantor kakaknya, PT Masaro Radiokom, oleh penyidik KPK. Fakta menunjukkan Anggodo menelepon Ary Muladi agar mengembalikan dokumen-dokumen itu, dengan cara melobi pemimpin KPK. Berawal di sinilah kemudian disusun skenario penyuapan.
Tapi kubu Anggodo menyodorkan alibi sebaliknya. Menurut Bonaran, yang meminta uang adalah pejabat Komisi melalui Ary Muladi, setelah penggeledahan kantor Masaro. ”Jadi Anggodo ini korban pemerasan,” katanya. Indikasinya, penggeledahan Masaro tak dilengkapi surat perintah penyelidikan. Lagi pula, ”Pada waktu itu Anggoro Widjojo belum punya kasus di KPK. Kenapa digeledah?”
Bonaran menyimpulkan penggeledahan hanya upaya pemimpin KPK menakut-nakuti Anggoro, yang baru jadi saksi dalam kasus konversi lahan hutan lindung Tanjung Api-api, Sumatera Selatan. Anggodo mengutus Ary Muladi untuk menanyakan kepada KPK kenapa kakaknya yang tak punya urusan dengan Tanjung Api-api ikut diperiksa dan dokumennya disita. Penyitaan ini kemudian menguak kasus korupsi pengadaan radio komunikasi.
Ary Muladi, yang kini tersangka untuk kasus yang sama, menurut Bonaran, kembali ke Anggodo dengan membawa pesan Ade Rahardja agar menyediakan Rp 5,15 miliar. Uang ini akan diberikan kepada pemimpin Komisi dan penyidik, jika dokumen yang disita ingin dikembalikan dan ”tebusan” Anggoro tak akan disidik. Demikianlah, uang suap kemudian disiapkan, skenario penyerahannya lalu direncanakan.
Tim jaksa KPK kukuh pada pendirian bahwa Anggodo adalah sumber segala kisruh suap yang membuat taring KPK tumpul belakangan ini. Sebab, kata Suwarji, fakta-fakta persidangan dan peristiwa-peristiwa setelah Ary Muladi menyangkal kronologi 15 Juli 2009 juga mendukung adanya rekayasa. Misalnya, pertemuan di TIS Square dan Hotel Formula 1, Jakarta, pada akhir tahun lalu. Anggodo dan pengacaranya menawarkan Rp 1 miliar agar Ary mau kembali ke pengakuan semula. Ary menolak, meski tawaran dan bujukan itu kemudian disampaikan lewat pamannya.
Akan halnya tuduhan kubu Anggodo bahwa uang itu dinikmati Ary Muladi atau sampai ke tangan para pemimpin KPK, ”Dalam sidang tak ada bukti mereka terima atau Ary Muladi memakai uangnya,” kata Suwarji. Uang itu putus di Yulianto yang ”gaib” tadi. Dengan Yulianto atau Ary Muladi, bahkan dengan Anggoro dan Anggodo, para pemimpin KPK tak terbukti saling kenal.
Jaksa Suwarji mendakwa Anggodo dengan pasal pemufakatan jahat untuk menyuap pejabat negara. ”Upaya penyuapannya terbukti,” katanya. Fakta lainya, penahanan Bibit dan Chandra membuat kerja Komisi pincang dan Anggoro tak kunjung bisa diperiksa. Inilah bukti yang diajukan Suwarji untuk menjerat Anggodo melanggar pasal menghalangi penyidikan.
Dengan dua pasal itu, Anggodo dituntut enam tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan. ”Saya kira tuntutan ini pas,” kata Suwarji.
Bagja Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo