Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LUPAKAN produksi minyak buat negara atau lifting sejuta barel per hari. Mimpi indah itu tampaknya masih susah diwujudkan. Itulah yang tecermin saat Presiden Yudhoyono membacakan Nota Keuangan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2011 di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Senayan, Jakarta, Senin siang pekan lalu.
Dalam pidatonya—memakai teleprompter dan disiarkan langsung sejumlah televisi—di depan khalayak Majelis Permusyawaratan Rakyat itu, Presiden memastikan lifting minyak kita tak jauh berbeda dengan tiga periode sebelumnya: tak bisa menembus angka sejuta barel. ”Lifting minyak tahun depan 970 ribu barel per hari,” kata Presiden, yang sesekali membasuh mukanya dengan sapu tangan.
Terakhir kalinya, lifting minyak bisa menembus sejuta barel sehari pada 2006. Selama itu pula pemerintah hanya bisa meraup penerimaan negara dari minyak rata-rata US$ 35,5 miliar (sekitar Rp 340 triliun), alias jauh lebih rendah ketimbang penerimaan pajak, yang mampu mencapai Rp 600-an triliun. Dengan kata lain, empat tahun rupanya tak cukup bagi pemerintah untuk meraih angka ideal itu (lihat tabel).
Ihwal capping atau pembatasan cost recovery banyak digunjingkan para pemain sebagai kendala. Cost recovery adalah biaya investasi tatkala mengeksplorasi dan memproduksi minyak atau gas yang dibayarkan pemerintah kepada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) alias kontraktor minyak atau gas saat mereka berhasil memproduksi. Nilai yang dibayar sebesar hasil produksi kontraktor tersebut.
Kepala Badan Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) Priyono mengatakan bahwa pembatasan nilai atau besaran cost recovery membuat produksi minyak nasional terhambat selama tiga tahun terakhir. ”Sejak 2008 sudah kelihatan gejala produksi minyak akan jeblok karena pembatasan itu,” kata Priyono kepada Tempo di kantornya pekan lalu.
Bermula dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan pada 2008. Hasil audit atas 152 kontraktor minyak selama periode 2002-2005 menunjukkan ada indikasi kerugian negara senilai Rp 18 triliun akibat buruknya sistem cost recovery. Modus penyimpangannya beragam. Antara lain, pajak ekspor yang seharusnya dibayarkan kepada negara malah dimasukkan ke kas perusahaan minyak. Biaya main golf, jaminan rumah karyawan asing, dan kepentingan pribadi lainnya, juga diklaim ke pemerintah.
Temuan ini membuat Menteri Keuangan (saat itu) Sri Mulyani terenyak. Bayangkan saja, angka cost recovery terus naik, tapi produksi minyak malah turun. Dalam sebuah rapat antara Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat dan BP Migas serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (kala itu) Purnomo Yusgiantoro, terungkap sejumlah kelemahan. Pemerintah rupanya tidak mengatur secara jelas hal-hal yang boleh dan tidak boleh masuk ke cost recovery. Sri Mulyani lalu meminta dibikin pembatasan besaran biaya yang kudu ditanggung negara itu untuk mengatasi penyimpangan.
Departemen (sebelum kini disebut Kementerian) Energi dan Sumber Daya Mineral kemudian menerbitkan daftar negatif cost recovery pada 2008, yang mengatur 17 item yang tidak bisa diklaim kepada pemerintah. Misalnya pembebanan pajak kepada pihak ketiga, surplus nilai material akibat kesalahan perencanaan, transaksi dengan pihak terafiliasi, pembebanan biaya kepentingan pribadi, serta insentif karyawan dalam jangka panjang.
Kantor Lapangan Banteng—sebutan populer bagi kantor Menteri Sri Mulyani—merasa kebijakan Menteri Energi itu tak cukup. Bu Menteri menginginkan dilakukan pembatasan angka cost recovery, tapi Menteri Purnomo menolak. Pada 2009, pembatasan angka cost recovery akhirnya masuk Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara—sebuah kemenangan bagi Lapangan Banteng. Pembatasan itu pertama kali terjadi sejak sistem kontrak bagi hasil diterapkan pada 1966. Sebelumnya besaran cost recovery tidak pernah dibatasi. Bujet 2009 menetapkan angkanya dibatasi US$ 10,5 miliar, sedangkan pada 2010 naik menjadi US$ 12 miliar.
KINI pembatasan angka cost recovery digugat lagi. BP Migas, lembaga yang bertanggung jawab atas produksi minyak dan gas nasional, getol menyoroti kebijakan itu. Menurut Priyono, ide pembatasan sebenarnya bagus karena kontraktor akan selektif memilih prioritas pengeluaran. ”Tapi itu tidak bisa diterapkan,” ujarnya. Sebab, kontrak minyak dan gas di Indonesia menganut sistem bagi hasil. Jika pemerintah membatasi besaran cost recovery, perusahaan minyak atau gas akan berpikir ulang ketika akan menambah investasi dan memelihara lapangan yang sudah ada.
Dampak pembatasan serangkaian biaya yang bisa diklaim kepada negara itu sudah terasa. Sepanjang tahun lalu, kata Priyono, ada 235 kasus penghentian eksplorasi minyak. Angka itu setara dengan produksi 21,5 ribu barel minyak per hari yang tidak terealisasi. Pembatasan berimbas pula pada realisasi investasi dari kontraktor minyak dan gas. Tahun lalu investasi minyak dan gas turun menjadi Rp 11,4 triliun. Angka ini merosot dibanding pada 2008 sebesar Rp 12,1 triliun.
Tahun ini BP Migas memproyeksikan investasi baru perminyakan sebesar Rp 15,9 triliun. ”Capping itu artinya membatasi investasi, padahal kalau mau menaikkan produksi, investor mesti menambah investasi,” kata juru bicara ExxonMobil Oil Indonesia, Maman Budiman, kepada Tempo di Jakarta pekan lalu. Maman yakin, jika pembatasan dicabut, investasi perminyakan akan naik lagi.
Kontraktor minyak pun mengeluh kepada BP Migas dan Kementerian Energi. Menurut Priyono, ada 60 kontraktor minyak yang merasa terganggu oleh kebijakan pembatasan angka cost recovery, di antaranya Chevron, ConocoPhillips, dan Total EP. Kontraktor minyak jadi malas memelihara lapangan minyak yang sudah ada. ”Kalau tidak ada pemeliharaan, ya, produksi jadi turun,” ujar Priyono.
Awal Januari lalu, BP Migas dan Kementerian Energi kembali bergerilya ke Senayan. Sumber Tempo mengungkapkan, dalam suatu rapat dengan anggota Dewan membahas APBN Perubahan 2010, BP Migas mengajukan target lifting minyak 916 ribu barel per hari. Sementara Komisi Energi meminta lifting mencapai 965 ribu barel. ”BP Migas menyanggupi lifting 965 ribu barel dengan syarat pembatasan angka cost recovery dibatalkan,” ujar sumber Tempo.
Hasil kesepakatan itu kemudian dibawa ke rapat kabinet di Istana Tampak Siring, Bali, pada April lalu. Pemerintah menyanggupi target lifting minyak 965 ribu barel per hari. Dalam Nota Keuangan APBN Perubahan 2010, pemerintah tidak lagi membatasi angka cost recovery. Namun investor minyak dan gas masih waswas aturan itu muncul kembali dalam anggaran tahun berikutnya.
Lobi pun dilakukan. Akhir Juli lalu, Indonesian Petroleum Association menemui Wakil Presiden Boediono. Hadir dalam pertemuan itu Ketua Umum Asosiasi perusahaan minyak itu, Ron Aston, dan para pengurusnya, Menteri Perekonomian Hatta Rajasa, dan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Evita Legowo.
Mewakili 49 perusahaan minyak dan gas di Indonesia, asosiasi meminta pemerintah segera mengesahkan rancangan peraturan pemerintah tentang biaya yang harus ditanggung negara dalam eksplorasi minyak dan gas. Hal ini ditempuh agar ada kepastian hukum investasi. Mereka juga ingin ada pencabutan pembatasan angka cost recovery melalui payung hukum tadi atau lewat aturan yang lebih tinggi. Menteri Hatta memberi sinyal positif. ”Pembatasan angka cost recovery tidak bisa menaikkan produksi,” katanya seusai pertemuan.
Benar saja, rancangan anggaran 2011 yang dibacakan Presiden Yudhoyono pekan lalu tak menyebut pembatasan angka cost recovery. Sumber Tempo di BP Migas membisikkan bahwa Kementerian Keuangan kini tak mempermasalahkan lagi kebijakan pembatasan itu. Pejabat Sementara Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Agus Supriyanto mengatakan bahwa kesimpulan pembahasan undang-undang anggaran 2011 memang tidak menyebutkan pembatasan angka cost recovery. Menurut Agus, Kementerian Keuangan mengandalkan peraturan pemerintah dalam mengontrol daftar negatif cost recovery. ”Ini akan menjadikan struktur biaya kontraktor dan perpajakannya lebih transparan dan berlaku universal,” tuturnya.
Namun perusahaan minyak dan gas belum bisa bernapas lega. Sebab, hingga kini rancangan peraturan pemerintah tentang cost recovery tak kunjung terbit. ”September mendatang akan selesai bersamaan dengan revisi Undang-Undang Minyak dan Gas,” kata Evita. Tapi jantung investor minyak tampaknya masih akan berdebar keras karena Wakil Ketua Komisi Anggaran Harry Azhar Azis masih mempersoalkannya. Harry berkukuh pembatasan angka cost recovery justru harus dicantumkan dalam rancangan peraturan pemerintah. ”Supaya uang negara tidak diselewengkan,” katanya.
Nieke Indrietta
Produksi Minyak Nasional* | |
2005 | 1.062 |
2006 | 1.005 |
2007 | 976 |
2008 | 936 |
2009 | 944 |
2010 | 965 |
*)Ribu barel/hari
SUMBER: BP MIGAS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo