Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGAI adegan film koboi, Samuel Hengky Daud mencabut dua pucuk pistol dari dua tempat berbeda: sepatu dan saku baju. Pistol-pistol itu lalu ia lemparkan ke atas meja kerja Direktur Jenderal Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri waktu itu, Oentarto Sindung Mawardi.
Mungkin karena merasa kurang mantap, Direktur PT Istana Sarana Raya itu kemudian mengeluarkan dua ID card. Bukan sembarang tanda pengenal, itulah kartu anggota Badan Intelijen Negara. Dengan gaya jagoan dalam film-film cengeng, seraya menunjuk satu pistol, ia menggeram, ”Selama ikut saya, yang itu belum pernah dikasih makan.”
”Rekaman” adegan itulah yang dibeberkan Oentarto kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi dua pekan lalu. Peristiwanya sendiri terjadi pada November 2002. Berkat ancaman itu pula, antara lain, pada 13 Desember 2002 keluar radiogram Direktorat Otonomi Daerah untuk para gubernur, wali kota, dan bupati tentang pengadaan mobil pemadam kebakaran.
Kepada Tempo, yang mewawancarainya pekan lalu, Oentarto mengaku ancaman Hengky dengan dua pistol itu membuatnya panik. ”Saya tertekan,” katanya. Ia sempat berusaha menemui atasannya, Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno, untuk melaporkan ancaman itu. Tapi Hari tak bisa ditemui. ”Stafnya bilang, ’Sudah, kerjakan saja’,” Oentarto menambahkan.
Radiogram dengan klasifikasi ”amat segera” itu belakangan menuai perkara. Sejumlah kepala daerah berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, dituduh melakukan korupsi, menggelembungkan harga pembelian mobil yang memakai dana anggaran pendapatan dan belanja daerah itu. Oentarto sendiri kini berstatus tersangka. ”Saya dikorbankan,” ujar pria 64 tahun itu.
BAU busuk korupsi pengadaan mobil pemadam itu makin menyengat ketika Komisi Pemberantasan Korupsi mengusut kejanggalan laporan APBD 2002-2006. Wali Kota Makassar Baso Amiruddin Maula, misalnya, mengucurkan hampir Rp 10 miliar buat membeli sepuluh unit mobil pemadam untuk tahun anggaran 2002-2003.
Abdillah, Wali Kota Medan, dan wakilnya, Ramli, mengucurkan Rp 12 miliar hanya untuk satu mobil pemadam. Adapun Saleh Djasit, Gubernur Riau, membeli 20 mobil pemadam dengan harga tak kurang dari Rp 760 juta per mobil. Padahal, menurut Komisi, harga mobil itu di pasaran tak lebih dari Rp 500 juta.
Dalam kasus pengadaan branwir ini, Komisi sudah memeriksa 20-an pejabat dan mantan pejabat. Lima di antaranya kini sudah divonis hukuman penjara. Baso Amiruddin, misalnya, dihukum empat tahun, Abdillah kena lima tahun, dan Saleh Djasit kebagian empat tahun. Semuanya dijerat Undang-Undang Antikorupsi, yakni memperkaya diri sen-diri atau orang lain.
Komisi Pemberantasan Korupsi menghitung, dari total pengadaan branwir selama tahun anggaran 2002 hingga 2005, yang nilainya Rp 100 miliar, separuh di antaranya dikorupsi. Dari jumlah yang dikorupsi itu, Komisi baru bisa menyita Rp 12,5 miliar dari para tersangka.
Saat ini giliran para mantan pejabat Jawa Barat yang berurusan dengan Komisi dalam kasus itu. Ada Danny Setiawan (mantan gubernur), Ijudin Budhyana (mantan Kepala Biro Pengendalian Program), Wahyu Kurnia (mantan Kepala Biro Perlengkapan), dan Yusuf Setiawan (Direktur PT Setiajaya Mobilindo).
Sebagai tersangka, mereka kini ditahan di ruang tahanan Markas Besar Kepolisian Indonesia. Menurut juru bicara Komisi, Johan Budi S.P., dari kasus branwir Jawa Barat itu, Komisi sudah menerima pengembalian uang Rp 8 miliar: Rp 5 miliar dari PT Setiajaya dan Rp 1,3 miliar dari Danny.
Dari semua tersangka itulah belakangan terungkap peran Hengky Samuel Daud. Kepada para penyidik, sejumlah kepala daerah mengaku pernah bertemu dengan pengusaha itu minimal dua kali. Komisi sendiri sudah menetapkan Direktur PT Istana Sarana, perusahaan yang mengimpor branwir dan menjualnya kepada para kepala daerah, itu sebagai tersangka.
Cuma, Hengky sendiri kini raib. ”Sampai sekarang kami masih terus mencari dia,” kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bidang Pencegahan Mochammad Jasin.
Tempo berusaha menghubungi Hengky, tapi rumahnya di Jalan Imam Bonjol 53 dan 55, Jakarta Pusat, hingga Sabtu pekan lalu tak berpenghuni. ”Sepi, sejak digeledah KPK. Sekali seminggu yang ngurusin datang,” kata penjaga rumah sebelahnya. Sedangkan showroom mobil yang menjadi kantor PT Istana Saranaraya–yang tertera dalam surat edaran Departemen Dalam Negeri–di Jalan Batu Tulis Raya 13 A dan 13 B, Jakarta Pusat, juga melompong. ”Showroom pemadam itu hampir setahun kosong,” kata penjaga warung kopi di bangunan berlantai dua itu.
PENGADAAN branwir itu sendiri bukan ide Oentarto. Menurut sumber Tempo, sebelum Hari Sabarno menjadi Menteri Dalam Negeri, sudah ada edaran kepada kepala daerah perihal pengadaan mobil tersebut. Surat pertama dikeluarkan Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri Suryatna Soebrata pada 12 Maret 1997.
Surat itu meminta petinggi daerah membeli branwir baru. Surat itu juga merekomendasikan PT Istana Sarana Raya sebagai penyedia branwir. Tiga bulan kemudian, ”perintah” yang sama dalam bentuk radiogram dilayangkan Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah Oman Sachroni.
Pada 8 Agustus 2000, turun lagi radiogram berlabel ”segera” dari Sekretaris Jenderal Amur Muchasim. Lantaran tak ada tanggapan dari daerah, pada Desember 2002, Direktur Jenderal Oentarto Sindung Mawardi mengirim radiogram mengatasnamakan menteri. Kali ini dengan catatan: ”amat segera”.
Dari keempat surat itu, hanya surat pertama yang menegaskan pembelian melalui PT Istana Sarana. Sedangkan spesifikasi kendaraan, yakni tipe V80 ASM, kapasitas tangki air 4.000 liter, dan daya dorong 2.000 liter air per menit, hanya tercantum dalam dua radiogram terakhir yang dikirimkan Amur dan Oentarto.
Nah, menurut Komisi Pemberantasan Korupsi, spesifikasi teknis barang yang harus dibeli itu sudah mengerucut pada penyedia barang. ”Penyedianya ya Samuel Hengky Daud itu,” kata Jasin. Artinya, tanpa tender, para kepala daerah dipaksa membeli mobil itu dari perusahaan Hengky.
Oentarto menolak jika radiogramnya dikatakan menyebutkan spesifikasi mobil yang dimiliki perusahaan Hengky. Radiogram yang ia kirim, ujarnya, hanya mengikuti isi radiogram yang sudah-sudah. Adapun klasifikasi ”amat segera” itu, katanya, dibuat karena ia merasa ditekan. ”Tekanan internal dari menteri, tekanan eksternal ada ancaman, ya ditodong pistol itu.”
Menurut Oentarto, setelah Hengky memaksa dia membuat radiogram yang meminta kepala daerah membeli branwir, ia sudah menemui Hari. Saat itu, ujar Oentarto, Hari menjawab, ”Ya, buatkan saja, ikuti surat semacam itu.”
Hengky sendiri, ujar Oentarto, memang terlihat dekat dengan Hari Sabarno. Ia sering ikut menteri ke daerah. ”Bahkan, kalau menteri ke luar negeri, dia kerap ikut,” Oentarto menambahkan. Jika datang ke Departemen Dalam Negeri, Hengky menggunakan mobil dengan pelat Markas Besar Tentara Nasional Indonesia. Sejumlah pejabat Departemen, ujar Oentarto, malah mengira Hengky anggota staf khusus Hari.
Hari Sabarno menampik tuduhan membawa Hengky ke Departemen Dalam Negeri. Ia juga membantah kerap membawa Hengky ke daerah dan mengenalkannya kepada para kepala daerah. Menurut Hari, ia tidak pernah memerintahkan Oentarto mengirim radiogram dengan isi seperti itu. ”Idenya bukan dari saya,” ujar pensiunan letnan jenderal itu.
Sampai saat ini, status Hari memang belum berubah. Mantan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat dari Fraksi TNI/Polri itu masih sebatas saksi. ”Pemeriksaan kami belum selesai,” kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Mochammad Jasin. Tapi, menurut Jasin, setelah memeriksa kasus branwir itu, instansinya menemukan sejumlah indikasi korupsi lain yang berkaitan dengan pengadaan mobil. ”Jadi ternyata ada penyimpangan lain lagi.”
Anne L. Handayani, Adek Media, Martha Warta, Munawwaroh, Agung Sedayu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo