Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KASUS likuiditas kering yang terjadi pada Bank Century pastilah meningkatkan kecemasan masyarakat. Apalagi bila tidak cukup informasi tentang dampak ikutan yang mungkin terjadi. Maka, yang pertama kali perlu dilakukan Bank Indonesia sebagai pengawas adalah menjelaskan secara gamblang kondisi perbankan kita sekarang. Ini penting agar orang banyak tak gampang termakan isu dan melakukan tindakan tak perlu.
Penyelamatan yang dilakukan, dengan menetapkan Lembaga Penjamin Simpanan sebagai pengelola sementara, cukup meredakan ketegangan para nasabah. Tapi masuknya lembaga pemerintah itu masih akan diuji, terutama dalam memastikan suntikan dana Rp 2,5 triliun untuk mengamankan rasio kecukupan modal bank tersebut. Pengelola baru juga dituntut menyiapkan dana untuk menutupi aneka kewajiban kepada pihak ketiga.
Dalam jangka pendek, apalagi dengan alasan terjadi krisis finansial global, solusi begini boleh-boleh saja. Tapi pemerintah tak perlu setiap kali mengulurkan bantuan untuk bank yang kekeringan likuiditas. Apalagi negeri ini pernah menelan pil pahit akibat krisis perbankan pada 1998, yang menghabiskan lebih dari Rp 600 triliun dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Sampai kini beban dana BLBI masih ditanggung rakyat banyak lewat anggaran negara. Dalam sengkarut penyalurannya, beberapa pejabat BI dimejahijaukan.
Seharusnya pelajaran mahal itu membuat Bank Indonesia meningkatkan fungsi pengawasannya. Lebih lagi sejak tiga tahun lalu BI telah mengetahui bahwa Century melakukan berbagai langkah berisiko tinggi. Komposisi dana pihak ketiganya didominasi deposito jangka pendek—yang kurang strategis untuk menjamin kelangsungan bisnis bank dalam jangka panjang.
Century juga memiliki aset surat berharga senilai US$ 203 juta yang tidak likuid. Bank Indonesia telah mengingatkan Century agar segera menjual aset bermasalah itu. Tapi BI kurang tegas melarang Century, yang mengalihkan aset bermasalah tadi dengan membeli surat-surat berharga valas yang tidak masuk kategori layak investasi (non-investment grade). BI juga seharusnya melacak kabar bahwa pemilik dan pengelola bank diduga menggunakan asetnya untuk kepentingan sendiri.
Bank Indonesia tidak kunjung bertindak. Ada dua alasan yang mungkin. Pertama, para pejabat BI lebih memilih posisi aman. Mereka enggan tersangkut jerat hukum andai keputusan mereka suatu hari nanti dipersoalkan. Kedua, sistem peringatan dini BI kurang berjalan.
Bank sentral perlu melihat lagi semua sistemnya. Sebab, Century berjalan seperti tanpa pengawasan bertahun-tahun. Akibatnya bank itu dibelit persoalan kronis. Krisis keuangan global sesungguhnya hanyalah pukulan terakhir yang membuatnya roboh.
Kejadian pada Jumat tiga pekan lalu, ketika bank ini terlambat menyetor dana Rp 5 miliar kepada BI, sudah diramalkan banyak pengamat. Karena tak sanggup menyetor pre-fund—syarat keikutsertaan transaksi antarbank pada hari itu—Century dinyatakan kalah kliring. Likuiditas pun kering, sehingga nasabah tak bisa menarik dana.
Penyelamatan Bank Century sudah dilakukan. Tapi pemerintah tak boleh hanya berhenti sampai di situ. Pemilik dan pengelola bank harus diusut tuntas. Kalau ditemukan indikasi pelanggaran aturan, mereka harus diproses secara hukum.
Kasus Bank Century, sebelumnya juga kasus Bank Indover, mengharuskan BI memperbaiki sistem peringatan dini dalam dirinya. Langkah demi langkah dalam penanganan bank yang krisis juga perlu ditinjau ulang. Ini perlu agar pejabat BI tak ragu mengambil keputusan—satu hal yang begitu mahal akibatnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo