Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font face=arial size=1 color=brown><B>Penyuapan</B></font><BR />Dari Dharmawangsa Duit Mengucur

Pengusaha D.L. Sitorus ditetapkan sebagai tersangka kasus penyuapan hakim. Sang hakim mengajukan gugatan praperadilan atas penangkapannya.

17 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN langkah terhuyung-huyung Darianus Lungguk Sitorus menuju mobil tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi. Pemeriksaan tujuh jam rupanya membuat stamina "raja hutan" Sumatera ini rontok juga. Sejumlah petugas keamanan Komisi memegang lengannya agar dia tidak jatuh. Hari itu, Selasa dua pekan lalu, Komisi menetapkan status D.L Sitorus, demikian biasa ia disebut, sebagai tersangka. Dia dijebloskan ke Rumah Tahanan Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI.

Sitorus terseret kasus penyuapan pengacaranya, Adner Sirait, terhadap hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, Ibrahim. Akhir Maret lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Ibrahim di Jalan Mardani Raya, Johar Baru, Jakarta Pusat, setelah dia menerima uang Rp 300 juta dari Adner. Penyuapan itu diduga berkaitan dengan perkara sengketa tanah di Jalan Kamal Raya, Cengkareng, Jakarta Barat, yang tengah ditangani Ibrahim. Sengketa itu diduga melibatkan perusahaan milik Sitorus, PT Sabar Ganda, yang mengklaim memiliki tanah itu.

Nah, Sitorus dianggap terlibat kejahatan itu. Kepada Tempo, juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi, Johan Budi S.P., menyatakan, dari data Komisi dan keterangan para saksi, Sitorus diduga terlibat secara bersama-sama atau turut serta melakukan penyuapan.

Pengacara Sitorus, Afrian Bondjol, berkeras kliennya tak terlibat penyuapan tersebut. "Klien kami tak tahu-menahu pemberian uang itu," katanya. Menurut Afrian, Sitorus telah memberikan kuasa penuh kepada Adner untuk mengurus masalahnya. "Itu kan gunanya surat kuasa," katanya. Afrian telah datang ke Komisi meminta bukti perihal keterlibatan kliennya. Namun permintaannya ditolak. "Alasannya, soal bukti akan digelar di pengadilan."

Penetapan Sitorus sebagai tersangka terhitung cepat, ujar sumber Tempo, lantaran Komisi telah memastikan duit yang diserahkan ke Ibrahim berasal dari Sitorus. Ia baru diperiksa dua kali. "Asal-muasal uang ini cukup kuat membuktikan keterlibatan Sitorus," kata sumber tersebut. Sumber itu juga memastikan, selain soal uang, ada bukti lain, yakni "serangkaian perbuatan bersama-sama" yang dilakukan Sitorus dan Adner untuk melakukan penyuapan. Apa rangkaian perbuatan itu, sumber ini tak mau buka mulut.

Kepada penyidik, seperti disebutkan sumber Tempo itu, Sitorus membenarkan telah memberikan uang kepada Adner. Dia mengaku uang itu untuk membayar jasa pengacara. Uang diberikan Sitorus melalui notarisnya, Yoko Verra Mokoagow, pada 29 Maret atau sehari sebelum penangkapan Ibrahim.

Duit tersebut diberikan dalam bentuk cek BNI dengan nomor seri CN 338269. Cek diserahkan di Hotel Dharmawangsa. Menurut Sitorus, saat itu ia mengundang notarisnya ke hotel tersebut untuk penandatanganan sejumlah dokumen tanah. Kepada Yoko, pengusaha yang pernah dihukum delapan tahun penjara karena kasus penyerobotan lahan negara itu menitipkan cek senilai Rp 300 juta untuk Adner. Kepada penyidik, Sitorus menyatakan, ia memberikan cek tersebut karena sebelumnya, saat ia menelepon, Adner menanyakan perkembangan gugatan mereka atas tanah di Cengkareng itu. Adner menagih "uang jasa" kepadanya.

Afrian menegaskan, uang dari Sitorus ke Adner itu bukan untuk penyuapan. "Uang itu diberikan sebagai lawyer fee." Tapi, untuk lawyer fee kasus apa, Afrian mengaku tidak tahu. "Karena Adner memegang banyak kasus di perusahaan Sitorus," ujarnya.

Afrian mengakui, para penyidik membidik kliennya dengan pasal "turut serta" melakukan penyuapan. "Penyidik mengejar dari segala sisi," ujarnya. Dalam dua kali pemeriksaan, ujar Afrian, penyidik mencecar Sitorus perihal kepemilikan PT Sabar Ganda. Kepada penyidik, Kamis dua pekan lalu, Sitorus membenarkan di PT Sabar Ganda, selain sebagai direktur utama, dia pemegang saham mayoritas. Sitorus mengaku mengontrol langsung keluar-masuk duit perusahaannya.

l l l

NASIB Sitorus bisa jadi lain jika saja Komisi Pemberantasan Korupsi tak mencium adanya rencana transaksi penyerahan uang dari Adner kepada Ibrahim. Menurut Johan Budi, sepekan sebelum transaksi itu terjadi, lembaganya sudah mendapat sejumlah informasi sahih bakal adanya penyuapan itu.

Pada 30 Maret lalu, sejumlah petugas Komisi diterjunkan memantau pertemuan Adner dan Ibrahim di kantornya, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, di kawasan Cikini. Setengah jam kemudian, keduanya keluar. Ibrahim mengendarai Kijang Innova hitam. Adner mengekor di belakang dengan Honda Jazz-nya.

Gerak-gerik keduanya terus dibuntuti hingga kemudian petugas menghentikan mobil Ibrahim di Jalan Mardani Raya, sesaat setelah ia melakukan "transaksi" dengan Adner. Di mobil Ibrahim, petugas menemukan duit Rp 300 juta dalam pecahan 100 ribu dan 50 ribu rupiah. Adner sendiri lolos. Belakangan, Adner ditangkap di sekitar Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka.

Ibrahim, yang ternyata memiliki penyakit gagal ginjal, sempat dibantarkan ke Rumah Sakit Polri Soekanto, Kramat Jati, sebelum dimasukkan ke ruang tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya. Menurut Junimart Girsang, pengacara Ibrahim, sampai sekarang kliennya masih menjalani cuci darah sepekan dua kali.

Kendati sudah berstatus tersangka, Ibrahim emoh diperiksa. Menurut sumber Tempo, hampir setiap hari petugas Komisi datang ke ruang tahanan Ibrahim, membujuk hakim ini agar bersedia dibuat berita acara pemeriksaannya. "Tapi dia tetap menolak," ujar sumber ini.

Ibrahim memang melakukan perlawanan terhadap penangkapannya itu. Lewat kuasa hukumnya, ia kini mengajukan gugatan praperadilan atas penangkapannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ia membantah duit Rp 300 juta di dalam mobilnya itu dari Adner.

Menurut Junimart, uang itu berasal dari keluarga Ibrahim yang memiliki usaha tambak udang di Kalimantan. Duit itu akan digunakan untuk mengangsur pembelian 308 meter persegi tanah milik mantan Wakil Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Sumatera Utara, yang lokasinya di samping kantor Kecamatan Johar Baru.

Junimart juga membantah kronologi penangkapan Ibrahim versi Komisi. Menurut Junimart, pada pagi sebelum penangkapan itu, Adner menelepon Ibrahim, minta bertemu. Ibrahim mempersilakannya. Pukul 09.30, Adner tiba di kantor Ibrahim di Cikini.

Sempat berbincang sebentar, keduanya kemudian keluar. Adner menawarkan diri ikut mengantar Ibrahim ke Rumah Sakit Angkatan Darat. Hari itu Ibrahim berencana cuci darah. Ibrahim semobil bertiga bersama sopirnya, Harry, dan adiknya, Salim. Sedangkan Adner menguntit di belakang.

Saat tiba di pertigaan Rumah Sakit St. Carolus, Ibrahim menurunkan Harry. Ia meminta sopirnya pergi ke Rumah Sakit Angkatan Darat mendaftarkan dirinya cuci darah. Kemudi diambil alih Salim. Lantaran tak mengetahui jalanan Jakarta, ujar Junimart, Salim hanya mengikuti instruksi Ibrahim.

Ibrahim kemudian menuju Jalan Percetakan Negara. "Ia mau ke kantor notaris karena hari itu akan ada pemecahan sertifikat tanah yang akan dibelinya. Sepanjang jalan itu, menurut Junimart, mobil Ibrahim dan mobil Adner berulang kali saling salip.

Suatu ketika, ujar Junimart, Adner memotong jalan mobil Ibrahim. Salim saat itu sempat marah melihat tingkah Adner. Adner keluar dan menghampiri Ibrahim. Menurut Junimart, saat itu Adner meminta maaf tidak bisa menemani Ibrahim cuci darah karena ada rekannya yang segera bersidang. "Hanya kata-kata itu, tak ada transaksi uang," ujar Junimart. Setelah itu, keduanya berpisah. Sepuluh menit kemudian, mobil Ibrahim dipepet sebuah mobil dan sepeda motor. Itulah para petugas Komisi.

Pengakuan Ibrahim, melalui Junimart, bahwa tidak ada penyerahan uang itu bertolak belakang dengan pernyataan Adner. Menurut Afrian, yang juga menangani kasus Adner, kliennya telah mengakui adanya pemberian uang kepada Ibrahim. Pemberian itu dilakukan, kata Adner, karena diminta Ibrahim. "Alasannya sebagai pinjaman biaya berobat," ujarnya. Jadi, memang tidak-atau belum-klop pengakuan Adner dan Ibrahim.

Ramidi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus