Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font face=arial size=2 color=#ff9900>Ketua Bidang Pengawasan Hakim Komisi Yudisial Suparman Marzuki:</font><br />Wajar Jika Orang Kecewa

14 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dibebaskannya sejumlah terdakwa koruptor oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah mendapat sorotan masyarakat. Ada yang berpendapat ini akibat lemahnya pengawasan. Berikut ini wawancara wartawan Tempo Jajang Jamaludin dan Bagja Hidayat dengan Suparman Marzuki, Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial.

Bagaimana Komisi Yudisial mengawasi hakim?

Polanya ada yang terbuka, ada yang tertutup. Pengawasan terbuka misalnya kami lakukan dengan hadir di ruang sidang. Hakim mengetahui keberadaan kami. Di luar itu, kami memantau sidang secara tertutup.

Ada yang khusus mengawasi hakim nakal?

Kami memang memantau hakim tertentu yang mencurigakan. Mereka kami awasi secara diam-diam, baik sewaktu berdinas maupun di luar dinas. Dalam pertemuan dengan para hakim, kami selalu mengingatkan, "Anda jangan coba-coba bermain api. Anda kami awasi."

Tapi, faktanya, Pengadilan Tipikor terus membebaskan koruptor?

Putusan bebas itu bisa terjadi karena banyak hal. Bisa jadi karena ada hakim nakal yang bermain mata dengan terdakwa, bisa karena penyidikannya bermasalah, atau karena dakwaannya memang lemah.

Secara umum, bagaimana kualitas hakim Tipikor?

Mereka ada yang hakim karier, ada yang ad hoc. Masing-masing punya problem. Informasi yang kami terima, hakim karier di Pengadilan Tipikor memang bukan hakim terbaik. Soalnya, Mahkamah Agung mempertahankan hakim yang rajin dengan kemampuan terbaik untuk menangani tumpukan perkara di pengadilan umum.

Apakah hakim ad hoc lebih baik?

Justru itu masalahnya. Sebagian dari mereka dilaporkan pernah bermasalah dengan hukum. Kompetensinya pun banyak yang rendah. Ada yang sampai tidak tahu cara membuat putusan. Mereka hanya meneken putusan yang dibuat hakim karier.

Mengapa bisa begitu?

Waktu rekrutmen, tidak banyak calon berkualitas yang melamar. Itu, antara lain, karena mekanisme penempatan hakim ad hoc yang tidak jelas. Dengan gaji sekitar Rp 13 juta, orang akan berpikir ulang bila harus tinggal jauh dari keluarga. Bisa saja pindah satu keluarga, tapi tak ada fasilitasnya.
Akhirnya, yang banyak melamar itu pencari kerja, yang kehilangan pekerjaan, atau sudah bolak-balik ditolak di tempat lain. Bisa dibayangkan apa motivasi mereka. Mereka pun tak punya ideologi yang jelas dalam pemberantasan korupsi.

Ada usul Pengadilan Tipikor di daerah dibubarkan....

Saya kira itu puncak kejengkelan saja. Wajar kalau orang kecewa menyaksikan pengadilan yang dirancang untuk membasmi korupsi malah meloloskan koruptor. Tapi pembubaran itu tidak mudah. Pembentukan Pengadilan Tipikor itu amanat undang-undang.
Yang paling mungkin, sembari dievaluasi, Pengadilan Tipikor daerah lebih baik "off" dulu, jangan menangani perkara. Perkara yang telanjur jalan ditarik ke Jakarta, agar ditangani hakim-hakim berkualitas. Dengan begitu, pengawasan akan lebih mudah. Kami yakin, Mahkamah Agung bisa melakukan itu.

Lantas, apa terobosan Komisi Yudisial?

Kami masih memetakan masalah. Kami melakukan riset bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Hasil riset ini kami pakai untuk merumuskan kebijakan pengawasan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus