Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

SOS Pengadilan Korupsi

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi daerah mendapat sorotan tajam karena kerap membebaskan terdakwa koruptor. Seleksi yang lemah membuat rekam jejak hakim pengadilan antikorupsi itu tak terdeteksi.

14 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA kali berurusan dengan orang yang sama di pengadilan tak terbayang sedikit pun bagi Yuniati. Perempuan 46 tahun asal Way Kanan, Lampung, itu terkejut ketika menghadiri sidang pembacaan vonis Haidir, kerabatnya yang didakwa korupsi duit bantuan operasional sekolah, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tanjung Karang, Jumat dua pekan lalu.

Hakim yang mengadili Haidir adalah Surisno, sosok yang tak asing bagi Yuniati. Pada 2006, Yuniati pernah melaporkan Surisno ke polisi. Surisno, yang saat itu dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, dilaporkan karena tak membayar utang Rp 50 juta. Yuniati melaporkan juga Sri Herawati, istri Surisno. Namun hanya Sri yang menjadi tersangka. Surisno dianggap tak terlalu berperan dalam utang-piutang modal usaha itu.

Tatkala istrinya diadili di Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Surisno menjadi saksi. Di sidang itulah Yuniati dan Surisno terlibat tanya-jawab seputar kasus mereka. Hakim membebaskan istri Surisno karena menilai kasusnya perdata, bukan pidana penggelapan seperti laporan Yuniati. "Sekarang ketemu lagi. Dia malah jadi hakim," kata Yuniati. Ia makin geram karena Surisno memvonis Haidir 16 bulan penjara plus denda Rp 200 juta. Kepala Sekolah Dasar Bhratayuda Way Kanan itu dinilai terbukti menilap BOS 2005-2010 sebesar Rp 35 juta.

Saat ini Surisno jadi buah bibir di Lampung setelah meruyak berita bebasnya para koruptor di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi daerah. Beberapa orang bersaksi tentang masa lalu hakim ad hoc Pengadilan Korupsi Tanjung Karang yang dilantik pada April lalu itu. "Dulu dia sering didemo mahasiswa karena jual-beli nilai," kata Aan, seorang advokat, bekas murid Surisno.

Selain Surisno, ada Haridi. Hakim ad hoc seruangan dengan Surisno ini juga pernah tersangkut kasus penipuan. Kini ia tengah menunggu vonis majelis etik Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Lampung, yang tengah memeriksa laporan Sabilal Bahri. Pada 2008, petani sawit ini menyewa Haridi sebagai pengacara untuk menangani sengketa lahan 100 hektare miliknya di Padangratu, Lampung Tengah. Dengan alasan untuk mengurus perkara itu di pengadilan, Haridi meminta "dana operasional" Rp 450 juta.

Alih-alih menang, harta Sabilal kian tergerus karena menuruti permintaan Haridi. "Ketika saya minta kembali uangnya, dia menolak," katanya. Melihat Haridi menjadi hakim korupsi, ia pun melaporkannya ke polisi dan Peradi.

Haridi dan Surisno menolak berkomentar seputar kasusnya, dengan alasan sebagai hakim dilarang bicara sembarangan. Menurut Yulia, pengacara Haridi, kasus itu sudah selesai pada 2010. "Uang itu ongkos pengacara dan biaya sidang," ujarnya.

l l l

LOLOSNYA Surisno dan Haridi menunjukkan betapa lemahnya sistem seleksi hakim korupsi yang digelar Mahkamah Agung pada 2009-2010. Belakangan, beberapa hakim Pengadilan Tipikor daerah lainnya terbukti juga pernah tersangkut kasus rasuah.

Rahman Comel, misalnya. Hakim ad hoc pada pengadilan korupsi Bandung itu tersangkut dua kasus pada 2005 di Riau. Ia didakwa menggelapkan uang PT Riau Siak Pusako senilai Rp 1,8 miliar dan divonis dua tahun penjara dalam kasus korupsi pembangunan gedung Satuan Polisi Pamong Praja Pekanbaru.

Hakim kasasi dua kasus itu membebaskan Comel. Maka, ketika tim Mahkamah menyigi Comel ke Pekanbaru, tak ada yang tahu bahwa pengacara 60 tahun itu pernah tersangkut kasus. Orang baru ribut setelah Comel membebaskan Bupati Subang Eep Hidayat dan Wali Kota Bekasi Mochtar Mohamad. Eep diduga menilap upah pungut pajak bumi dan bangunan senilai Rp 14 miliar dan Mochtar didakwa korupsi APBD Rp 3,1 miliar. Comel pasrah ketika diungkit masa lalunya. "Silakan dicek. Saya ikhlas kalau dipecat sekalipun," katanya.

Comel mengaku telah menempuh prosedur seleksi sebagai hakim korupsi menurut aturan. Dalam setiap tahap ujian, katanya, ia selalu lolos dan menempati urutan pertama. Soal vonis bebas, ia bilang sudah membuat pertimbangan matang. Jaksa, ujar Comel, tak bisa membuktikan dua kepala daerah itu korupsi.

Selain membebaskan Eep dan Mochtar, pengadilan Bandung membebaskan Wakil Wali Kota Bogor Ahmad Ru'yat. Ketua majelis yang menangani perkara ini adalah Joko Siswanto, yang juga ketua majelis untuk kasus Eep dan Mochtar. Selain sebagai Ketua Pengadilan Negeri Bandung, Joko adalah Ketua Pengadilan Korupsi.

Kabar miring tentang Joko juga kencang. Alumnus Universitas Islam Indonesia yang meniti karier hakim sejak 1985 itu diduga menerima Rp 500 juta sebelum membebaskan para terdakwa. Joko menampik soal ini. "Silakan diperiksa. Tak seperak pun saya terima dari mereka," katanya.

Menurut Joko, Ru'yat mesti bebas karena Gubernur Jawa Barat tak mengoreksi APBD yang uangnya dipakai untuk keperluan pribadi 40 anggota DPRD Kota Bogor. Sebagai ketua, Ru'yat menerima Rp 122 juta. Vonis Ru'yat bertolak belakang dengan 39 anggota yang dibui empat tahun oleh hakim Pengadilan Negeri Bogor.

Sebagai hakim karier, Joko memang mendapat jalan lempeng menjadi hakim korupsi. Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi mengharuskan ketua pengadilan negeri merangkap ketua pengadilan korupsi di tiap daerah. Hakim karier juga bisa menjadi hakim korupsi jika ditunjuk atasannya. Artinya, tanpa lewat ujian layaknya hakim ad hoc.

Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa mengakui adanya bolong-bolong dalam penjaringan hakim korupsi. Seleksi yang diburu tenggat, ujar Harifin, membuat rekrutmen tak optimal. "Kami kecolongan," kata Harifin.

Anggaran seleksi pun amat minim, hanya Rp 2,5 miliar untuk pengadaan hakim di 33 provinsi. Masyarakat Pemantau Peradilan Universitas Indonesia (Mappi), misalnya, dilibatkan secara dadakan. "Kami diberi waktu dua pekan untuk mengungkap latar belakang 75 calon hakim," kata Hasril Hertanto, Ketua Mappi.

Dengan waktu sempit dan ketiadaan data, Hasril tak bisa mengorek terlalu jauh latar belakang calon hakim. Proses seleksi pada akhir 2009 saat libur panjang juga menyulitkan tim seleksi. Saat uji publik, tak banyak juga masukan dari masyarakat. "Data yang masuk hanya dukungan terhadap calon," kata Hasril.

Tak hanya yang nonkarier, Komisi Yudisial mencatat hakim karier tak sedikit yang reputasinya sumir. "Pengadilan enggan menugaskan hakim-hakim terbaik mereka," kata Suparman Marzuki, Wakil Ketua Komisi Bidang Pengawasan. "Hakim korupsi hanya residu."

Karena itulah hakim seperti Polin Tampubolon ditunjuk jadi hakim Pengadilan Korupsi Samarinda. Pekan lalu ia menjadi salah satu hakim yang membebaskan 14 orang bekas anggota DPRD Kutai Kartanegara. Catatan Pokja 30, lembaga swadaya pemantau korupsi di Kalimantan Timur, menunjukkan Polin pernah membebaskan terdakwa korupsi dengan pertimbangan sumir.

Pada 2006, Polin membebaskan pengusaha dalam pengadaan alat pemindai di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Syahrani. Padahal enam panitia sudah divonis bersalah dalam proyek yang merugikan negara Rp 6 miliar itu. "Kalau panitianya bersalah, harusnya pengusahanya juga kena, karena ini persekongkolan," kata Direktur Pokja Carolus Tuah.

Karut-marut Pengadilan Korupsi daerah ini membuat cemas banyak orang. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. menyarankan pengadilan itu dibubarkan saja. Ia beralasan, dalam uji materi Undang-Undang Antikorupsi, tak ada klausul pembentukan Pengadilan Korupsi di daerah.

Tak semua seperti Mahfud. Suparman menyarankan Mahkamah Agung menghentikan sementara sidang di Pengadilan Korupsi. Kasus korupsi yang mendesak diserahkan kembali ke pengadilan negeri dengan hakim terbaik di daerah. "Stop dulu, sekarang pengadilan korupsi sedang darurat, SOS," katanya.

Bagja Hidayat (Jakarta), Nurochman Arrazie (Lampung), Erick P. Hardi (Bandung), Firman Hidayat (Samarinda)


Temuan Komisi Yudisial

  • Ketidakjelasan penempatan membuat banyak aktivis hukum yang bersih dan kompeten tak mau mendaftar.
  • Sebagian besar hakim bermasalah secara moral sebelum menjabat.
  • Hakim ad hoc pencari pekerjaan, sehingga tak punya ideologi hukum.
  • Kompetensi kurang karena Mahkamah Agung enggan melepas hakim berkualitas bagus.
  • Proses seleksi kurang cermat karena biaya yang sangat kurang, sehingga investigasi terhadap latar belakang calon sangat minim.

    Cacat dari Lahir

    PENGADILAN Tindak Pidana Korupsi kini sudah ada di 33 provinsi. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 mewajibkan keberadaan pengadilan khusus ini di setiap kabupaten/kota. Tapi, baru bekerja sembilan bulan, hakim-hakim di pengadilan ini sudah membuat kejutan: membebaskan para koruptor. Kajian Komisi Yudisial mensinyalir para hakim memang bermasalah sejak awal.

    29 Oktober 2009
    Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi lahir.

    14 Desember 2009
    Mahkamah Agung mulai menyeleksi calon hakim ad hoc korupsi tingkat pertama hingga Mahkamah Agung untuk tujuh ibu kota provinsi: Bandung, Makassar, Semarang, Surabaya, Samarinda, Medan, dan Palembang.

    Proses Seleksi

  • Daftar
  • Tes tulis
  • Tes Wawancara
  • Lulus
  • pengecekan lapangan oleh tim Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia

    Biaya Seleksi

  • Rp 2,5 miliar.

    Gaji

  • Rp 13 juta take home pay.

    Komposisi Hakim
    Satu majelis terdiri atas lima hakim (3 karier dan 2 ad hoc) atau tiga hakim (2 karier 1 ad hoc)

    Tempat
    Menyatu dengan pengadilan negeri setempat. Akibatnya, daya tampung kurang.


    Putusan

    JAKARTA

    Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta (I Made Hendra, Hendra Yospin, Herdi Agusten) membebaskan Mieke Henriett Bambang pada 21 Februari 2011. Mieke adalah Sekretaris Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah. Dia dituduh menyembunyikan dokumen aliran dana Yayasan Pendidikan BI senilai Rp 100 miliar, yang menjebloskan Burhanuddin ke penjara. ' FOTO MIEKE

    Alasan bebas: Dakwaan tak cermat.

    Catatan: Tiga hakim ini memvonis ringan para penerima cek pelawat dengan vonis di bawah empat tahun.

    BANDUNG

  • 9 Hakim karier
  • 6 hakim ad hoc
  • 77 kasus
  • 29 kasus telah vonis

    Membebaskan tiga terdakwa korupsi:
    -Wakil Wali Kota Bogor Ahmad Ru'yat, yang didakwa korupsi APBD Rp 122 juta
    -Bupati Subang Eep Hidayat, yang didakwa korupsi upah pungut PBB senilai Rp 14 miliar.
    -Wali Kota Bekasi Mochtar Mohamad, yang didakwa korupsi uang makan-minum serta menyuap anggota BPK, panitia Adipura, dan DPRD senilai total Rp 3,1 miliar.
    -Hakim Ramlan Comel, yang membebaskan Eep dan Mochtar, sebelum menjadi hakim, tersangkut dua kasus korupsi pada 2005. Pertama, Ramlan didakwa korupsi di PT Bumi Siak Pusako, Pekanbaru, Rp 1,8 miliar. Kedua, korupsi pembangunan kantor Satuan Polisi Pamong Praja Pekanbaru. Di tingkat pertama, Ramlan divonis dua tahun dan dibebaskan oleh hakim tinggi.
    -Ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung Joko Siswanto, yang membebaskan Ru'yat dan Eep, diduga bertemu dengan terdakwa sebelum sidang dan menerima Rp 500 juta. "Silakan dicek, saya tak terima seperak pun," katanya kepada Tempo.

    Alasan bebas: Dakwaan jaksa tak terbukti, tak ada audit BPK, sesuai dengan peraturan gubernur.

    SEMARANG

  • 9 hakim karier
  • 6 hakim ad hoc
  • 63 kasus
  • 41 kasus vonis 1-7 tahun
  • 22 kasus masih sidang

    Meski tak ada yang divonis bebas, vonis di Pengadilan Korupsi Semarang tak ada yang sama atau melebihi tuntutan jaksa. Padahal kasus-kasus korupsi merugikan negara di atas Rp 5 miliar.

    Alasan vonis rendah: Bukti jaksa lemah, dakwaan sumir.

    Temuan Komisi Yudisial
    -Ketidakjelasan penempatan membuat banyak aktivis hukum yang bersih dan kompeten tak mau mendaftar.
    -Sebagian besar hakim bermasalah secara moral sebelum menjabat.
    -Hakim ad hoc pencari pekerjaan, sehingga tak punya ideologi hukum.
    -Kompetensi kurang karena Mahkamah Agung enggan melepas hakim berkualitas bagus.
    -Proses seleksi kurang cermat karena biaya yang sangat kurang, sehingga investigasi terhadap latar belakang calon sangat minim.

    SURABAYA

  • 9 Hakim karier
  • 6 hakim ad hoc
  • 116 kasus
  • 70 kasus telah diputus
  • 21 terdakwa divonis bebas
  • 48 terdakwa divonis 1-3 tahun
  • 1 terdakwa divonis 7 tahun dalam pengadilan in absentia

    Hakim yang paling banyak mengeluarkan putusan bebas adalah I Gde Astawa (6 terdakwa), sisanya oleh Titik Budi Winarti, Anas Mustakim, Supriyono, Sutjahyo Padmo Wasono, Gusrizal, dan Yahya Syam.

    Alasan bebas: Dakwaan tak menyertakan audit keuangan, kedaluwarsa, bukti lemah, dan dakwaan dikembalikan.

    SAMARINDA

  • 9 Hakim karier
  • 6 Hakim ad hoc

    Membebaskan 14 terdakwa dari 36 anggota DPRD Kutai Kartanegara karena korupsi dana APBD senilai Rp 2,98 miliar.

    Naskah: Bagja Hidayat
    Sumber: Komisi Yudisial, Wawancara

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus