Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEGITU hakim mengetukkan palu, Indra Setiawan bak naik pitam. ”Demi Allah, saya tidak bersalah!” mantan Direktur Utama Garuda Indonesia itu berteriak seusai sidang, Senin pekan lalu. Indra divonis satu tahun penjara dalam kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia, Munir.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu di luar dugaan Indra, yang semula yakin betul akan bebas. Walau cuma setahun, dan sebagian besar masa hukumannya telah dijalani, Indra terlibat perkara yang menarik perhatian tidak saja di tingkat nasional, tapi juga mancanegara. Peranan Indra juga bukan ”figuran”: ia dianggap meluluskan permintaan Badan Intelijen Negara agar Pollycarpus Budihari Priyanto ikut penerbangan Garuda rute Jakarta-Singapura yang ditumpangi Munir.
Menurut Antawirya J. Dipodiputro, kuasa hukum Indra Setiawan, tak ada bukti yang menguatkan keterlibatan kliennya. Pemaparan hakim tentang surat rekomendasi BIN yang dibawa Polly, katanya, tak masuk akal, sebab surat seperti itu tak ubahnya surat biasa yang kerap diterima Indra selaku pimpinan Garuda.
Kesimpulan hakim bahwa Indra berkonspirasi untuk membunuh Munir, menurut Antawirya, juga keliru. ”Itu semua analisis majelis hakim,” katanya kepada Tempo. Dalam analisis majelis hakim yang dipimpin Heru Purnomo, Indra dinyatakan bersalah lantaran menyokong kegiatan Polly. ”Aneh, memutuskan masalah kok dengan analisis,” Antawirya seperti tak habis pikir.
Ia menegaskan, kliennya bertekad mengajukan banding. Peluang menang di pengadilan tinggi nanti, katanya, sangat besar, sebab putusan pengadilan tingkat pertama yang kontradiktif itu akan dijadikan amunisi. Di satu sisi, kata Antawirya, hakim menyatakan Indra terlibat pembunuhan berencana. Di sisi lain, majelis menganggap Indra korban konspirasi intelijen tingkat tinggi. ”Mana yang dipakai, nggak jelas.”
Alasan hakim bahwa Indra selaku Direktur Utama Garuda bertanggung jawab atas surat BIN yang disalahgunakan untuk operasi pembunuhan, menurut Antawirya, juga ajaib. ”Pokoknya, terlalu dipaksakan.”
Ketika membacakan putusannya, hakim Heru Purnomo menguraikan, Indra bersalah karena tidak berupaya mengkonfirmasikan surat BIN. Menurut dia, amat penting mengetahui kebenaran lebih jauh maksud dan tujuan surat yang dibawa Pollycarpus itu. Surat yang isinya ”melegalkan” misi Polly harusnya diperjelas. ”Itu tidak dilakukan oleh terdakwa,” kata Heru.
Dalam menempatkan Polly sebagai staf keamanan penerbangan, kata hakim, Indra juga tidak berkoordinasi dengan atasan langsung Polly, yaitu Karmal Fauza Sembiring. Tindakan Indra ini dikategorikan oleh majelis hakim sebagai sudah memahami maksud lembaga telik sandi menugaskan Polly.
Surat BIN yang ditandatangani M. As’ad, Wakil Kepala BIN, diserahkan sendiri oleh Polly kepada Indra di Restoran Bengawan Solo, Hotel Sahid, Jakarta. Surat itu kemudian, oleh Indra, dinyatakan digondol maling dari mobilnya.
Dalam persidangan, Polly membantah pernah membawa surat BIN kepada Indra. Namun, Budi Santoso, direktur BIN pada 2004, mementahkan bantahan Polly, yang menjalani hukuman 20 tahun penjara itu. Budilah yang mengoreksi surat BIN itu sebelum diserahkan kepada Indra Setiawan. Hakim Heru Purnomo menambahkan, hukuman satu tahun penjara untuk Indra Setiawan juga diharapkan bisa mengungkap misteri pembunuhan Munir.
Menurut Andhy Panca Kurniawan dari Divisi Kampanye Komite Aksi Solidaritas untuk Munir, vonis Indra Setiawan sangat bisa dipakai polisi untuk menyeret tersangka lain. Polisi, katanya, sudah waktunya memeriksa keterlibatan sejumlah orang BIN. ”Keterlibatan BIN tak diragukan lagi,” katanya.
Indikasinya, kata Andhy, selain kesaksian di sejumlah persidangan, adalah puluhan kali hubungan telepon antara Polly dan Muchdi P.R., mantan Deputi Penggalangan BIN. Fakta lain adalah rekaman komunikasi antara Indra Setiawan dan Polly serta hasil pemeriksaan terhadap Raden Muhammad Padma Anwar alias Ucok, yang mengaku pernah turut merencanakan pembunuhan Munir tapi gagal.
Juru bicara Markas Besar Kepolisian RI, Inspektur Jenderal Sisno Adiwinoto, setuju jika kesaksian dalam persidangan dipakai mengungkap kasus Munir lebih jauh. ”Akan dicari siapa lagi yang turut membantu Polly,” katanya. Polisi, menurut Sisno, sedang menyusun agenda pemeriksaan kembali Pollycarpus.
Ia berharap dengan pemeriksaan ini bekas pilot Garuda itu mau berterus terang. Sejumlah calon tersangka sudah di tangan penyidik. Karena itu, polisi sangat membutuhkan keterbukaan Polly. Cuma, ”Nama-nama calon tersangka belum bisa dipublikasikan.”
Kepala BIN, Syamsir Siregar, mempersilakan polisi memeriksa anak buahnya yang diduga terlibat kasus pembunuhan Munir. ”Saya sudah berikan rekomendasi ke polisi,” katanya. Setelah Budi Santoso, menurut Syamsir, polisi belum memeriksa anggota BIN yang lain. ”Kalau ada bukti hukum, silakan proses.”
Ramidi, Fanny Febiana
Siapa Dalang Peracun
Empat tahun kasus pembunuhan Munir berlalu. Pollycarpus Budihari Priyanto bukanlah pelaku tunggalnya. Ia memang sudah diganjar 20 tahun penjara. Tapi sejumlah kalangan berkeyakinan ada dalang di balik pelenyapan aktivis hak asasi manusia itu dari muka bumi.
Munir
Tewas, 7 September 2004
Polisi
Susilo Bambang Yudhoyono
Keterlibatan BIN
Tim pencari fakta menemukan dokumen empat skenario pembunuhan Munir. Ada catatan percakapan telepon antara pejabat BIN dan Polly, sebelum dan sesudah terbunuhnya Munir.
Pollycarpus Budihari Priyanto
Rohainil Aini
Oedin Irianto dan Yeti Susmiarti
Indra Setiawan
M. As’ad
Wakil Kepala BIN
Muchdi P.R.
Deputi Bidang Penggalangan dan Propaganda BIN.
Nurhadi Djazuli
Sekretaris Utama BIN.
Budi Santoso
Deputi I Urusan Luar Negeri BIN
Raden Muhammad Padma Anwar alias Ucok
A.M. Hendriproyono
Bambang Irawan
Raymond Latuihamallo alias Ongen
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo