Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CERITA ini berawal ketika rupiah terjungkal. Saat itu, 1997, krisis ekonomi baru saja dimulai. Untuk menyelamatkan rupiah yang babak-belur, Bank Indonesia menyatakan tak lagi mengontrol mata uang melainkan menyerahkannya pada mekanisme pasar, tapi tak berhasil. Rupiah makin liar tak terkendali.
Sejurus dengan itu, rekening giro banyak bank di BI bersaldo minus. Masyarakat kehilangan kepercayaan pada bank dan menarik uangnya seketika. Untuk memulihkan situasi, 1 November 1997 pemerintah melikuidasi 16 bank. Alih-alih menenangkan masyarakat, nasabah bertambah panik. Untuk mempertahankan kepercayaan publik, bank sentral mengucurkan dana talangan Rp 23 triliun untuk membantu bank-bank yang kolaps.
Inilah pertama kali keluarnya dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dikucurkan. Skema bantuan ini terbit setelah Indonesia dan IMF (Dana Moneter Internasional) mengikat janji untuk mengatasi krisis ekonomi. Itulah sebabnya, bekas Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli menuding IMF sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam kasus BLBI. ”Saran IMF menutup 16 bank memicu masyarakat berbondong-bondong menarik tabungannya,” kata Rizal setelah diperiksa Tim Jaksa Penyelidik Kejaksaan Agung, Selasa dua pekan lalu.
Hingga Desember 1998, Bank Indonesia menggerojokkan dana Rp 144,5 triliun dana BLBI kepada 48 bank. Belakangan, audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan ada penyimpangan, kelemahan sistem, dan kelalaian dalam proses pengucuran bantuan itu. Akibatnya, negara rugi Rp 138,4 triliun—95,7 persen dari total dana BLBI yang telah dikucurkan.
Penerima BLBI beragam. Mereka di antaranya adalah Marimutu Sinivasan (Bank Putera Multikarsa), Fadel Muhammad (Bank Intan), Agus Anwar (Bank Pelita), Samadikun Hartono (Bank Modern), Kaharuddin Ongko (Bank Umum Nasional), dan Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian). Ada pula Atang Latief (Bank Indonesia Raya), Lidia Muchtar dan Omar Putihrai (Bank Tamara), Adisaputra Januardy dan James Januardy (Bank Namura Yasonta).
Nama lain adalah Santosa Sumali (Bank Metropolitan dan Bank Bahari), Baringin M.H. Panggabean dan Joseph Januardy (Bank Namura Internusa), Trijono Gondokusumo (Bank Putera Surya Perkasa), Hengky Wijaya dan Tony Tanjung (Bank Tata), I Gde Dermawan dan Made Sudiarta (Bank Aken), Tarunojo Nusa dan David Nusa Wijaya (Bank Umum Servitia).
Di zaman Presiden Habibie, ada tiga opsi menyelesaikan kasus BLBI. Semua adalah penyelesaian di luar pengadilan. Ketiganya adalah Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) alias Perjanjian antara Debitor dan Kreditor untuk menyelesaikan utang di luar pengadilan, Master Refinancing and Notes Issuance (MRNIA) atau Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, dan Akta Pengakuan Utang (APU).
Saat itu, program MSAA ditandatangani lima obligor besar: Anthony Salim, Sjamsul Nursalim, M. Hasan, Sudwikatmono, dan Ibrahim Risyad. Perjanjian MRNIA diteken empat obligor lain: Usman Admajaja (Rp 12,5 triliun), Kaharudin Ongko (Rp 8,3 triliun), Samadikun Hartono (Rp 2,7 triliun), dan Ho Kiarto serta Ho Kianto (Rp 297,6 miliar).
Presiden Abdurrahman Wahid pernah ingin menyelesaikan kasus BLBI dengan mengganti Gubernur BI Sjahril Sabirin, tapi gagal karena tersandung Undang-Undang Independensi BI. Di masa pemerintah Megawati, keluar Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002, yang isinya para obligor tadi diberi Surat Keterangan Lunas karena dinilai kooperatif.
Dengan mekanisme ini, para pengutang itu diberi diskon gede. Anthony Salim yang berhutang Rp 52,7 triliun, misalnya, hanya mengembalikan 37 persennya (Rp 19,4 triliun). Sjamsul Nursalim cuma membayar Rp 4,9 triliun dari utang Rp 28,4 triliun. Kewajiban mengembalikan utang pun selesai di situ. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengaku terus mengejar para obligor yang membandel, tapi sejauh ini hasilnya belum terlihat. Anggota Komisi XI DPR Drajad Wibowo menargetkan pada Agustus 2008 ini skandal BLBI tuntas. ”Saya tetap akan tagih,” katanya.
Sunudyantoro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo