Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bakal Gembos di Ronde Terakhir

Setelah interpelasi, sejumlah wakil rakyat menyiapkan tiga senjata untuk menjerat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Cuma gertak sambal.

18 Februari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENENTENG sebuah berkas, Alvin Lie maju dan merapatkan badan ke meja pimpinan sidang. Kepada Muhaimin Iskandar yang tengah memimpin rapat, politisi Partai Amanat Nasional itu berujar, ”Ini bukan jawaban Presiden, tapi jawaban menteri.” Sesudah itu ia ngeloyor pergi.

Langkah Alvin diikuti sekitar 20 anggota Dewan Perwakilan Rakyat lainnya. Beramai-ramai mereka maju dan menyerahkan berkas itu. Sejumlah anggota Dewan berteriak, ”Yudhoyono mau cuci tangan.” Ada pula yang lantang berseru, ”Yudhoyono tidak jantan.”

Walhasil, suasana ruang rapat paripurna dengan agenda mendengarkan jawaban pemerintah atas interpelasi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Selasa pekan lalu itu, gaduh bak tawon reriungan.

Menteri Koordinator Perekonomian Boediono, yang sudah siap membacakan jawaban, terlihat seperti orang linglung. Dia hanya bisa menatap Muhaimin dan puluhan anggota Dewan yang tengah beraksi. Beruntung, sesaat kemudian suasana sedikit mereda. Muhaimin lalu meminta Pak Menko melanjutkan pembacaan jawaban. Namun, belum lagi Boediono mulai membaca, protes kembali berhamburan.

Di tengah keriuhan itu, Muhaimin memilih jalan pintas: sidang diskors selama 30 menit. ”Semua pimpinan fraksi kumpul di belakang,” kata Muhaimin. Para pemimpin fraksi lalu menuju ruang belakang untuk negosiasi. Sejumlah anggota legislatif memilih ngerumpi di sudut ruang. Ada pula yang ngeloyor pergi begitu saja. Sidang kemudian dilanjutkan pukul satu siang.

Pangkal protes anggota DPR cuma satu, yakni soal tanda tangan Boediono dalam berkas jawaban interpelasi itu. Mereka bisa memaklumi bila Presiden Yudhoyono tidak hadir, tapi berkas jawaban pemerintah mestinya ditandatangani Presiden, bukan Boediono. ”Jawaban yang ditandatangani Menko Perekonomian ini sangat tidak layak,” kata Azlaini Agus dari Fraksi Amanat Nasional. Mereka yang protes kompak menuntut pemerintah merevisi jawaban itu.

Tampaknya anggota Dewan sejak awal sudah siap protes dalam rapat ini. Ade Daud Nasution dari Fraksi Bintang Reformasi bahkan membawa sendiri megafon dari rumah. Katanya, megafon dibutuhkan karena kalau rapat sedang genting terkadang pelantam suara alias speaker ruangan dimatikan panitia. Pegawai Dewan, katanya, ”Pegawai pemerintah. Jadi, mungkin mereka disuruh mematikan speaker.”

Riuh di dalam, ramai juga di luar. Di gerbang gedung DPR, sekitar 500 orang juga berteriak-teriak. Mereka menuntut pemerintah segera menyeret para penerima dana negara itu ke muka pengadilan.

Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang diributkan itu adalah dana talangan yang diinjeksi pemerintah ketika sejumlah bank terkulai koma saat krisis ekonomi melanda pada 1997. Total dana yang diberikan sekitar Rp 144,5 triliun. Walau sudah diinfus fulus segunung, sejumlah bank tetap saja sekarat bahkan tewas. Pemilik yang mengaku jatuh bangkrut tidak sanggup melunasi pinjaman itu.

Sejak awal pemerintah memilih jalur out of court settlement alias penyelesaian di luar pengadilan guna mengakhiri sengketa ini. Para pemilik bank diminta menyerahkan sejumlah aset guna menutup utang. Aset-aset itu kemudian dinilai auditor independen.

Rupa-rupa hasilnya. Ada yang nilai asetnya memadai, ada pula yang masih kurang. Yang nilai asetnya cukup kemudian menerima Surat Keterangan Lunas (SKL). Mereka yang menerima surat itu merasa perkara utang itu selesai sudah. Ternyata tidak. Belakangan, setelah dijual, harga aset yang disetor itu sangat rendah. Bank Central Asia, misalnya, menerima dana talangan sebesar Rp 60 triliun. Si pemilik, Anthony Salim, sudah menyerahkan sejumlah aset guna melunasi utang itu. Auditor independen yang ditunjuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sudah pula menilai bahwa aset-aset itu bisa menutup utang Salim. Ternyata setelah dijual, harga seluruh aset itu masih di bawah total utang.

Selain harga jual aset yang rendah, banyak pula pengusaha yang tidak kooperatif. Bahkan sejumlah penerima fulus memilih kabur ke luar negeri. Walhasil, total kerugian negara dari kasus ini sekitar Rp 138,4 triliun (lihat ”Riwayat Duit Kemplangan”).

Ditangani empat presiden dan delapan Jaksa Agung, kasus ini tidak jelas juga ujungnya. Sejumlah pengamat menuduh bahwa perkara yang menyangkut taipan raksasa ini sengaja diambangkan untuk menjadi sapi perah para politisi. Jaksa Agung Hendarman Supandji bertekad menyelesaikan kasus ini secara hukum. Itu sebabnya, sejak akhir 2007, sejumlah pengusaha seperti Anthony Salim sudah diperiksa.

Selain Kejaksaan Agung, anggota DPR juga beraksi. Sejak tahun lalu mereka menggalang dukungan guna mengajukan hak interpelasi. Aksi gerilya itu sukses: 71 anggota Dewan meneken hak interpelasi itu. Desember 2007, rapat paripurna Dewan menyetujui penggunaan hak itu. Selasa pekan lalu itu, pemerintah memberi jawaban, tapi jawaban itu dinilai tak memuaskan.

Syak wasangka pun merebak. ”Ada indikasi kuat pemerintah tebang pilih,” kata Ganjar Pranowo, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Sejumlah obligor diperiksa, tapi, ”Yang tidak kooperatif tidak pernah disentuh hukum. Ada apa?” protes seorang anggota Dewan.

Proses kasus ini memang masih panjang. Setelah sidang paripurna Selasa pekan lalu itu, pimpinan fraksi akan memberi tanggapan. Semua tanggapan itu akan disampaikan dalam rapat paripurna yang hingga kini belum diagendakan.

Sejumlah partai lain segera mengkaji jawaban itu. Fraksi PDI Perjuangan, misalnya, sudah membentuk tim penyisir. Anggota tim sekitar 10 orang. Tim ini yang bertugas memilah mana jawaban yang disetujui dan mana yang ditolak. Dari hasil pengkajian itulah partai akan menentukan sikap.

Sejumlah sumber menuturkan, pentolan fraksi PDI Perjuangan dan sejumlah fraksi kini tengah merapatkan barisan guna menggalang dukungan. Target mereka cuma satu: mengajak sebanyak mungkin fraksi untuk menolak jawaban pemerintah.

Pentolan sejumlah fraksi itu kini rajin melakukan lobi. Bila mayoritas fraksi menolak jawaban itu, maka ada tiga peluru yang siap dibidik ke arah pemerintahan Yudhoyono, yakni hak angket, hak bertanya, dan membentuk panitia khusus. Bobot tekanan politik dari tiga senjata terakhir itu memang lebih kuat dari interpelasi.

Ganjar Pranowo membenarkan adanya lobi itu, tapi cuma person to person, bukan level fraksi. ”Kami sudah ngobrol secara pribadi dengan sejumlah orang dari beberapa fraksi,” kata Ganjar. Namun, dia melanjutkan, upaya lobi itu belumlah gencar.

Drajad Wibowo dari Fraksi Partai Amanat Nasional juga mengaku sudah melakukan lobi secara perorangan. Lobi itu biasanya, menurut Drajad, dilakukan di gedung Dewan. Namun, dia menambahkan, ”Kami cuma bicara biasa-biasa saja, belum terlalu jauh.”

Sejumlah politisi kurang yakin interpelasi ini berlanjut. Mereka menduga manuver itu bakal loyo di ronde terakhir. ”Pak Drajad Wibowo memang teriak lantang di paripurna, tapi di pemerintahan mereka punya Hatta Rajasa,” kata Ganjar. Hatta, kini menteri sekretaris negara, adalah politisi dari PAN.

Politisi PDIP ditengarai juga memainkan politik gertak sambal. Soalnya, pada masa pemerintahan Presiden Megawatilah, melalui Instruksi Presiden Nomor 8/2002, banyak obligor nakal yang diampuni. Dengan kata lain, gebrakan PDIP ini, jika diteruskan, bakal menghantam kandang banteng sendiri. Walhasil, kuat diduga kasus ini bakal gembos di ronde terakhir. Itulah saat ketika para pemimpin fraksi memberi tanggapan. Pada saat itu, kata Ganjar, ”Interpelasi ini akan menguap begitu saja.”

Wenseslaus Manggut, Budi Riza, Anton Septian dan Retno Sari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus