Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mutiara di Duit Prajurit

Pengusaha properti Tan Kian ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi dana Asabri. Bersama Henry Leo, ia diduga memakai duit prajurit untuk membeli plaza milik sendiri.

18 Februari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMANYA memang tak semencorong Ciputra atau Mochtar Riady, yang kerap menghiasi halaman depan media massa. Tapi, di kalangan ”raja-raja” properti Ibu Kota, dia cukup disegani. Harta karunnya antara lain Hotel J.W. Marriott, Plaza Mutiara, dan Apartemen Syailendra, yang terletak di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Selain itu, ia juga pemilik dan pengelola Hotel Ritz Carlton, Apartemen Airlangga, dan Sudirman Mansion.

Tan Kian, pemilik sederet properti itu, Selasa pekan lalu seharusnya muncul di Gedung Bundar, tempat para jaksa penyidik kasus korupsi berkantor, di Kejaksaan Agung. Dua jaksa penyidik sedari pagi sudah bersiap menginterogasi pengusaha 51 tahun ini. Tapi hingga petang bapak tiga anak itu tak terlihat. Yang datang justru pengacaranya, Denny Kailimang. Menurut Denny, kliennya sedang ke Eropa dan Amerika untuk mengurus bisnisnya.

Tan tengah dirundung urusan gawat. Kejaksaan Agung, awal Februari lalu, menetapkannya sebagai tersangka kasus korupsi dana PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri). Status cekal juga sudah diberikan Direktorat Imigrasi awal bulan lalu. Hanya, sebelum perintah cekal itu muncul, ternyata Tan sudah melesat lebih dulu ke luar negeri.

Selain terus memburu mereka yang terlibat dalam penilapan dana Rp 410 miliar milik Asabri, kejaksaan juga sudah mengirim dua tersangkanya ke pengadilan: Mayor Jenderal (Purn.) Subarda Midjaja, mantan Direktur Utama Asabri, dan pengusaha Henry Leo. Pekan-pekan ini Pengadilan Negeri Jakarta Timur masih menyidangkan kasus dua terdakwa itu. ”Subarda menjadi korban konspirasi Henry Leo, Bank BNI, dan oknum-oknum di Departemen Pertahanan dan Keamanan,” kata pengacara Subarda, Rifwaldi Rivai M. Noer.

Lantaran terpikat iming-iming Henry Leo inilah, menurut jaksa, pada 1996 duit Asabri, yang dihimpun dari potongan gaji prajurit, masuk ke BNI dan lantas menyebar ke mana-mana. Duit ini dikembangbiakkan ke berbagai ladang usaha yang ternyata lebih banyak buntung ketimbang untungnya. Misalnya bisnis batu bara di Kalimantan Timur, reklamasi pantai Ancol, dan properti. Lewat bisnis properti inilah Tan Kian ikut mencicipi gurihnya duit Asabri.

Syahdan, pada 1996, Henry Leo, lewat perusahaannya PT Cakrawala Karya Buana, membeli calon Plaza Mutiara milik Tan Kian. Disebut calon karena plaza berlantai 17 tersebut kala itu belum berwujud. Hanya berupa tanah sekitar 17 ribu meter persegi. Harga plaza disepakati US$ 26 juta (kini setara sekitar Rp 24 miliar).

Pada 17 April 1997 Cakrawala membayar tanda jadi US$ 3 juta. Sepekan kemudian, uang muka US$ 10 juta dikirim lagi ke rekening PT Permata Birama Sakti, pemilik Plaza Mutiara. Di PT Permata, Tan Kian menjabat direktur utama. Adapun kekurangannya, US$ 13 juta, Cakrawala meminjam ke Bank Internasional Indonesia (BII) lewat mekanisme kredit construction loan. Menurut sumber Tempo, untuk meminjam dana itu, 40 sertifikat milik PT Permata dijadikan jaminan.

Lantas, dana BII pun mengucur. Tidak langsung, tapi secara bertahap, dimulai sejak April 1997. Namun, setelah turun sebelas kali dengan jumlah total sekitar US$ 10 juta, pada Februari 1998 dana itu terhenti. Menurut pengakuan Tan, penghentian itu dilakukan sepihak oleh Henry Leo, yang mengirim surat ke BII pada 16 Desember 1997. Jual-beli ini pun batal. ”Pemilik Plaza Mutiara yang sah adalah PT Permata Birama Sakti,” kata Tan Kian sewaktu diperiksa Kejaksaan Agung pada Juni 2007. Kepada jaksa yang memeriksanya pada awal Juni 2007 Henry mengakui BII memang menghentikan dana pinjaman itu. ”Berhenti karena uang tersebut tiba-tiba dimasukkan ke rekening PT Permata,” katanya.

Urusan kredit Cakrawala di BII ini lalu berbuntut panjang. Dihajar krisis moneter, BII yang oleng lantas menyerahkan utang Cakrawala ini ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Nah, belakangan, menurut sumber Tempo, hak tagih construction loan ini dibeli oleh perusahaan yang ternyata ujung-ujungnya milik Tan Kian juga. ”Dibeli dari BPPN hanya sekitar US$ 2,5 juta lewat sejumlah perusahaan, termasuk perusahaan di British Virgin Island yang sebenarnya ada hubungannya dengan Tan juga,” ujar sumber itu. ”Jadi, negara sudah rugi sekitar US$ 8 juta.”

Kejaksaan sendiri menemukan sejumlah keganjilan dalam kasus Plaza Mutiara ini. Di PT Cakrawala Karya Buana, Tan ternyata juga memiliki saham. Bahkan di perusahaan ini ia menjabat komisaris utama, sedangkan Henry Leo direktur utama. ”Apakah dia mengetahui uang yang digunakan Henry itu dana Asabri, itu yang sedang kami sidik,” kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Kemas Yahya. Tapi sumber Tempo yang tahu persis kasus ini menyatakan, sulit bagi Tan berkelit tak mengetahui bahwa duit itu dari Asabri.

Kejaksaan memang menetapkan Tan sebagai tersangka dalam tiga kasus: menyelewengkan dana Asabri, terlibat kredit bermasalah di BII, dan pengambilalihan hak tagih di BPPN. Menurut Kemas Yahya, dalam pengambilalihan hak tagih Plaza Mutiara, Tan diduga membeli hak tagihnya. ”Jadi, diduga, dia sebagai penjual dan pembeli,” tutur Kemas.

Kepada Tempo, Denny Kailimang menyatakan kliennya tak bersalah dalam kasus ini. Tan, ujarnya, tidak tahu bahwa dana yang digunakan membeli Plaza Mutiara adalah duit Asabri. Menurut Denny, dua kasus lainnya yang ditimpakan ke Tan juga sebenarnya kasus perdata, bukan pidana. Denny mengakui, Tan memang memiliki saham di Cakrawala. ”Wajar saja, dia kan ingin ada jaminan, supaya bisa mengontrol.”

Kejaksaan segera mengirim panggilan ketiga kalinya ke Tan. Menurut Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung, Muhammad Salim, pihaknya sudah mengumpulkan semua bukti keterlibatan Tan dalam kasus duit Asabri ini. ”Kalau dia merasa tak bersalah, ya datang saja, segera penuhi panggilan ini,” ujarnya kepada wartawan Tempo Dianing Sari. Inilah yang tak bisa dijamin Denny. ”Saya minta kepada jaksa supaya pemanggilannya ditunda. Saya sendiri sudah minta keluarganya agar menyuruh Tan segera pulang ke Indonesia,” kata Denny.

L.R. Baskoro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus