Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPALA Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji muncul di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, Jumat pekan lalu. Kedatangan Susno tak hanya mengejutkan para wartawan, melainkan juga pegawai komisi antikorupsi itu. Sudah bukan rahasia lagi, hubungan dua lembaga penegak hukum itu kini sedang mendidih.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Mochamad Jasin menjelaskan bahwa Susno datang untuk mengoptimalkan kerja sama antara kepolisian dan Komisi. Susno, yang datang bersama beberapa anggota staf, juga mengklarifikasi beberapa isu kasus Bank Century yang menyerempet dirinya.
Pada hari yang sama, keresahan melanda Komisi. Penyebabnya, satu pesan pendek masuk ke telepon seluler salah satu direktur Komisi. Isinya: meminta sang direktur menarik dua anak buahnya yang tengah melakukan penyelidikan sebuah kasus di Jawa Timur. Jika tak segera ditarik, dua penyidik tengah dalam ancaman penembak jitu, demikian isi pesan pendek itu.
Kuasa hukum Komisi Pemberantasan Korupsi, Achmad Rivai, membenarkan adanya pesan pendek bernada mengancam itu. Tapi Achmad menolak menyebut pengirimnya. Sumber Tempo menyebut kasus yang disidik di Jawa Timur itu berkaitan dengan seorang petinggi kepolisian. Juru bicara Markas Besar Polri, Inspektur Jenderal Nanan Soekarna, meminta mereka yang menerima SMS itu segera melapor kepada polisi. ”Akan segera kami tindaklan-juti,” katanya.
Bisa jadi tak ada kaitan antara SMS itu dan kedatangan Susno, tapi langkah Susno mendatangi Komisi agak membingungkan. Tawarannya memperbaiki kerja sama yang sebenarnya cukup simpatik bisa dianggap kurang tepat ketika Komisi sedang ”panas”, sebab polisi dinilai sewenang-wenang menetapkan status tersangka terhadap dua pimpinannya, yakni Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto.
Kasus kedua petinggi Komisi terus menggelinding. Kamis pekan lalu giliran dua pemimpin Komisi, Mochamad Jasin dan Haryono Umar, diperiksa sebagai saksi untuk kasus dua kolega mereka itu. Praktis tak ada pimpinan Komisi yang lolos dari pemeriksaan polisi. Hari berikutnya, berkas perkara Chandra Hamzah dikirim ke Kejaksaan Agung.
Walau ramai dikecam dan dituduh melakukan kriminalisasi, polisi tak juga menghentikan penyidikan terhadap Chandra dan Bibit. Akhir pekan lalu polisi bahkan mengirim surat ke Kejaksaan Agung untuk meminta kejaksaan mencegah Chandra dan Bibit pergi ke luar negeri.
Bibit menyatakan tuduhan polisi bahwa ia melakukan pelanggaran wewenang tak jelas. Dalam surat panggilan pertama, misalnya, disebutkan ia diperiksa berkaitan dengan suap. Lalu, dalam pemanggilan kedua, isi surat berubah, ia diperiksa dalam kaitan dengan penyalahgunaan wewenang. ”Ini sudah tidak masuk akal,” kata bekas Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur ini. Menurut Bibit, penyidik tidak independen karena, ”Setiap kali didebat akhirnya mengatakan hanya menjalankan perintah atasan.”
Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Brigadir Jenderal Dikdik Mulyana Arif Mansyur, mengatakan bahwa laporan suap untuk Bibit datang dari Antasari Azhar. Namun, dalam perjalanan penyidikan, kata Dikdik, yang dapat dibuktikan polisi baru tindak pidana yang dilakukan Ary Muladi—kurir bos PT Masaro, Anggoro Widjojo. Belakangan baru polisi menemukan tindak pidana lain, yakni penyalahgunaan wewenang. ”Inilah yang dikatakan seolah-olah kami mencari-cari kesalahan,” ujar Dikdik.
Menurut Dikdik, Chandra dianggap menyalahi kewenangan karena mencekal Anggoro dalam status yang tidak jelas. Pencekalan mestinya ditujukan untuk penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan kasus yang berhubungan dengan orang yang dicekal. Tapi dasar cekal oleh Chandra adalah surat penyidikan Tanjung Api-api dengan terdakwa Yusuf Emir Faisal. ”Ini yang tak benar. Putusan untuk mencekal dan mencabut pencekalan juga tidak diputuskan secara kolektif,” kata Dikdik.
Polisi yakin, langkah menetapkan Chandra dan Bibit sebagai tersangka sudah tepat. Menurut Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri, polisi memiliki cukup bukti, di antaranya keterangan 16 saksi, seperti Antasari, Anggoro Widjojo, Anggodo (adik Anggoro), dan pengakuan Ary Muladi. Di luar itu ada pula keterangan saksi ahli dan bukti penerimaan uang oleh Ary Muladi, yang disebut-sebut mengalir ke pimpinan Komisi.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Marwan Effendi, mendukung fakta yang dimiliki polisi. Menurut Marwan, dalam gelar perkara polisi menyodorkan sejumlah fakta dan petunjuk yang menguatkan pelanggaran hukum dua pemimpin Komisi itu. Namun Marwan enggan memerinci fakta hukum itu. ”Itu substansi, tidak untuk dibeberkan,” katanya kepada Tempo.
Kejaksaan, menurut Marwan, tinggal menunggu apakah fakta-fakta dalam gelar perkara itu masuk dalam berkas perkara. Jika tidak masuk berkas, kejaksaan akan meminta polisi untuk melengkapi. ”Jika tidak bisa melengkapi, polisi harus menghentikan kasus tersebut,” kata Marwan.
Sebenarnya ada perubahan dalam soal pengakuan yang akan menjadi amunisi polisi menyeret Chandra dan Bibit. Ary Muladi, yang pada Juni lalu memberikan keterangan telah menyerahkan uang ke sejumlah pemimpin Komisi, mencabut keterangannya dalam berita acara pemeriksaan yang dibuat pada Agustus lalu.
Ary mengaku tidak pernah langsung menyerahkan uang kepada pimpinan Komisi. Ia menyerahkan uang itu kepada seseorang bernama Julianto. Orang ini dianggap Ary dapat menjembatani dirinya dengan pimpinan Komisi. Hanya, Ary tak mengenal jelas sosok Julianto ini. Ia hanya mendengar bahwa Julianto adalah pengusaha asal Surabaya. ”Saya sudah minta Ary untuk melaporkan Julianto ke polisi,” ujar Sugeng Teguh Santoso, pengacara Ary.
Pemeriksaan oleh polisi ternyata juga tak dapat mengungkapkan profil Julianto dan aliran dana Rp 5,15 miliar milik Anggoro. Menurut Sugeng, kliennya hanya menikmati US$ 30 ribu. Menurut Sugeng, sisa uang dibawa Julianto dengan janji akan diserahkan ke pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kapolri Bambang Hendarso Danuri tak ambil peduli dengan pencabutan pengakuan Ary Muladi. ”Silakan saja. Kami tidak mengejar pengakuan. Yang jelas, ada proses penyuapan dan uang keluar,” ujar Kapolri.
Tapi Sugeng punya pengalaman berbeda soal pencabutan pengakuan Ary. Menurut Sugeng, Selasa malam pekan lalu, seorang penyidik polisi ”mendekati” Ary Muladi di tahanan. Ia bertanya tentang pengakuan Ary yang berubah. ”Mengapa tidak seperti keterangan semula saja,” ujar Sugeng menirukan ucapan penyidik itu. Penyidik itu juga ”mengingatkan” Ary bahwa kalau ia memberikan keterangan tidak benar, ia bisa dikenai pidana. Kepada Sugeng, Ary menyatakan resah dengan ancaman halus itu.
Polisi memang terkesan ”habis-habisan”. Agaknya ini bukan hanya soal bukti di tangan. Sumber Tempo menyatakan, polisi seperti bisa membaca suasana batin pimpinan negara.
Ketika Aulia Pohan, besan Presiden Yudhoyono, diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus suap kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kabarnya seorang pemeriksa berbintang satu sempat sesumbar bahwa Komisi tak peduli pada siapa pun di negeri ini. Presiden memang tidak mendapat pemberitahuan tentang penetapan status tersangka terhadap besannya itu. Dalam keadaan seperti itu, para menteri hukum di kabinet pun tidak ada yang bersuara sedikit pun.
Benarkah Kepala Negara berpihak kepada polisi dalam kasus ini? Juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng, kepada media, menjelaskan bahwa Presiden Yudhoyono tak akan mencam-puri urusan semacam ini. Semuanya diserahkan ke penegak hukum, demikian Andi Mallarangeng.
Ramidi, Cornila Desyana, Cheta Nilawaty
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo