Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI atas podium, lelaki itu tampak tenang. Mengenakan baju safari cokelat muda, Subardi, 55 tahun, anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, membacakan dua lembar pernyataan sikap.
Tapi, sampai di butir ketiga, suaranya ngadat. ”Enggak ada terusannya, mohon maaf. Lembar berikutnya tidak tercetak,” katanya tersipu. Anggota Dewan lainnya cekikikan. Tak lama kemudian, ia turun panggung, lalu duduk tak jauh dari kursi Gusti Kanjeng Ratu Hemas, istri Sultan Hamengku Buwono X, yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah.
”Kecelakaan” ketika dibacakan, isi pernyataan itu sesungguhnya serius. Empat senator asal Yogyakarta yang membuat pernyataan itu meminta pemerintah membuat payung hukum untuk mengantisipasi berakhirnya masa jabatan Gubernur Yogyakarta pada 9 Oktober. Saat ini Gubernur Yogyakarta dijabat Sultan Hamengku Buwono X, dengan wakil Sri Paduka Paku Alam IX. Intinya, keempat senator, termasuk Ratu Hemas, ingin jabatan Gubernur Yogyakarta tetap otomatis dipegang Sultan—tanpa pemilu seperti di daerah lain.
Sikap ini sesungguhnya berbeda dengan sikap Dewan Perwakilan Daerah pada November 2007. Ketika itu, Dewan mengesahkan usulan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta yang intinya justru menyatakan gubernur tidak otomatis dijabat Sultan.
Soal sikap keempat senator yang berbeda dengan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang lain, Subardi beralasan ia dan kawan-kawan dari Yogyakarta ”harus menyerap aspirasi masyarakat yang berkembang”. Menurut dia, rakyat Yogyakarta masih ingin gubernur dijabat Sultan.
Gusti Kanjeng Ratu Hemas mengungkapkan inisiatif pernyataan sikap keempat senator datang dari dirinya. Dua hari sebelum sidang paripurna, Ratu Hemas mengundang tiga koleganya melakukan rapat di ruang kerjanya di lantai II gedung Dewan Perwakilan Daerah untuk merumuskan pernyataan sikap itu.
Saat itu, kata Ali Warsito, salah satu anggota Dewan Perwakilan Daerah itu, Ratu Hemas sempat mengusulkan ada poin yang meminta pembatalan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta yang telah rampung dan disahkan. Namun, karena takut dianggap mbalelo terhadap Dewan, formulasi tuntutan itu dihaluskan menjadi permintaan dibuatkan ”payung hukum” tadi.
Menurut Ratu Hemas, ia tidak sejak awal memprotes karena saat rancangan undang-undang itu dibuat ia bukan anggota Panitia Ad Hoc I—kelompok yang membahas rancangan tersebut. Mungkin karena merasa kecolongan, ia kini bersuara. Katanya, ”Semua pihak harus melihat konteks sejarah bergabungnya Kesultanan Yogyakarta dengan Republik.”
Provinsi Yogyakarta dibentuk pada 1950 berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950. Saat itu Sultan Hamengku Buwono IX ditetapkan menjadi gubernur hingga wafat. Saat ia menjadi wakil presiden, jabatan gubernur masih pula ia sandang.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyonolah yang menyiram minyak ke tungku politik Yogyakarta yang memang sudah panas. Awal September lalu, kepada koran tertua di Yogyakarta, Kedaulatan Rakyat, ia mengatakan rangkap jabatan hanya ada di dunia ketoprak. Apalagi, demikian Yudhoyono, jika rangkap jabatan itu dilakoni oleh orang yang ingin maju sebagai calon presiden pada pemilu tahun depan. Yang disindir Yudhoyono siapa lagi kalau bukan Sultan.
Menurut Muhammad Wafiek, wartawan senior Kedaulatan Rakyat, Yudhoyono sendirilah yang mengundangnya untuk sebuah wawancara khusus. Tempat interview dipilih di kediaman pribadi Presiden di Cikeas, Jawa Barat. Wafiek mengenal Yudhoyono sejak sang Presiden masih menjabat Komandan Resor Militer 072/Pamungkas, Yogyakarta, pada 1995.
Pernyataan ”dunia ketoprak” ini muncul pada 8 September lalu di koran yang beredar di Yogyakarta dan sekitarnya itu. Provinsi Gudeg pun gempar. Amien Rais, bekas Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat yang tinggal di Yogyakarta, menilai ucapan itu tidak etis. Ali Warsito menganggap ucapan itu melecehkan keraton.
Soal ini, Ketua Departemen Komunikasi dan Informasi Partai Demokrat Roy Suryo membantah. Menurut kerabat Pakualaman ini, ucapan itu terlontar dalam suasana rileks dan tak bermaksud mengolok-olok. ”Saya sudah dengar rekamannya,” kata Roy. Adapun Sultan mempertanyakan tokoh ketoprak mana yang pernah merangkap jabatan.
Soal Pemilu 2009, meski belum mendeklarasikan diri sebagai kandidat presiden, Sultan Hamengku Buwono X dipercaya akan maju. Jika itu dilakukannya, ia akan bersaing dengan Yudhoyono, yang bakal diusung Partai Demokrat.
Aroma persaingan ini membuat seorang petinggi Partai Demokrat mencurigai sikap Sultan. ”Kita sedang membaca maunya apa,” ujar sumber itu. Bisa saja, kata dia, langkah Sultan maju sebagai calon presiden itu sebagai upaya tawar-menawar dengan Yudhoyono. ”Kalau Sultan mundur, kan, suara dari Jawa bisa dialihkan ke Yudhoyono,” katanya. Kompensasinya: ”Kepentingan Sultan diakomodasi Yudhoyono,” kata sumber itu.
Soal masa jabatan gubernur yang bakal habis Oktober ini, pemerintah sempat mengusulkan perpanjangan dua tahun. Setelah itu, mengikuti Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta, gubernur provinsi itu ditentukan melalui pemilihan kepala daerah. Tapi Sultan tak setuju. Pekan lalu, ia meminta pemerintah memperhatikan Piagam Kedudukan dan Maklumat 5 September 1945 yang dikeluarkan Presiden Soekarno mengenai kedudukan sultan. ”Posisi kepala daerah itu melekat,” katanya.
Lebih dari sekadar menolak usul itu, Sultan terkesan ”mengancam” Jakarta. Mengabaikan Piagam 5 September 1945, kata dia, sama saja meminta bercerai. ”Bercerai artinya pemutusan hubungan secara sepihak. Karena itu, (pemerintah pusat) harus bertanya kepada rakyat Yogya,” katanya lagi.
Budi Riza (Jakarta), Heru C.N., M. Saifullah (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo