Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGAN bergegas Nazriel Ilham memasuki ruang tengah kantor manajemen artis Luna Maya di kawasan Pondok Indah, Jakarta. Selasa pekan lalu itu, mestinya pukul dua ia sudah ada di sana mendampingi Luna menerima tiga anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Margiyono, Ezki Suyanto, dan Asep Komaruddin.
Pembicaraan antara Luna Maya dan AJI sudah berlangsung sekitar sepuluh menit saat Nazriel alias Ariel ”bergabung” dengan Luna. Selama sekitar dua jam, didampingi kekasihnya itu, Luna menjelaskan kepada tiga utusan AJI tersebut perihal perkara ”gesekannya” dengan para pekerja infotainment yang berbuntut pelaporan dirinya ke polisi.
Kamis dua pekan lalu, kekasih Ariel itu dilaporkan para pekerja infotainment karena dituduh melakukan pencemaran nama baik. Ini lantaran artis kelahiran Bali itu mengeluh perihal perlakuan para pekerja infotainment di microblog Twitter pribadinya, ”Lunmay”.
Tak hanya dijerat dengan Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang ancaman hukumannya enam tahun penjara, Luna juga dibidik dengan Pasal 310, 311, dan 316 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang mengatur fitnah dan perbuatan tak menyenangkan. Inilah yang dikhawatirkan AJI. ”Kami ingin mencegah kriminalisasi dalam kasus ini,” kata Koordinator Divisi Advokasi AJI Margiyono.
Kepada Tempo, Luna, 26 tahun, menyatakan tak menduga tulisannya di Twitter diadukan ke polisi. Padahal ia sudah minta maaf di media yang sama. ”Saya punya alasan melakukan itu,” kata gadis berkulit bening tersebut. Selasa dua pekan lalu, ujarnya, setelah dia menonton peluncuran film Sang Pemimpi di FX Plaza Sudirman, kamera seorang pekerja infotainment yang hendak mewawancarainya menyenggol kepala Alea, anak Ariel, yang tengah tidur dalam gendongan Luna. Insiden ini membuatnya naik pitam. Dia tumpahkan kejengkelannya itu di Internet. ”Infotainment derajatnya lebih hina daripada pelacur, pembunuh,” demikian antara lain ia menulis.
Pekerja infotainment tersengat mengetahui ”serangan” Luna itu. ”Ini penghinaan,” kata Priyo Wibowo, salah seorang pekerja infotainment, saat melapor ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Priyo, didampingi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jakarta, Kamsul Hasan, didaulat mewakili teman seprofesinya melaporkan Luna. Priyo menegaskan, pihaknya ingin memberikan pelajaran kepada pemain sinetron itu. Tak menyangka berbuntut demikian, Luna segera menutup akun Twitternya.
Kasus ini menyulut reaksi sejumlah kalangan. Apalagi pasal yang dipakai membidik Luna, Pasal 27 UU Informasi dan Transaksi Elektronik, sama dengan yang menimpa Prita Mulyasari, ibu dua anak yang kini diadili gara-gara menulis surat elektronik tentang pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional yang tak memuaskannya. Di dunia cyber, dukungan terhadap Luna—untuk ”melawan” arogansi infotainment dan jerat UU Informasi dan Transaksi Elektronik—hingga akhir pekan lalu sudah di atas 100 ribu orang. Menurut Margiyono, yang disesalkan pihaknya, laporan ke polisi itu justru difasilitasi oleh organisasi wartawan. ”Padahal, sejak awal, jurnalis menolak pasal itu,” katanya.
Sekretaris Dewan Kehormatan PWI Pusat Ilham Bintang menyatakan ada latar belakang kenapa Luna akhirnya dilaporkan ke polisi. Menurut pemilik rumah produksi PT Bintang Advis Multimedia itu, sebelumnya beredar kabar Luna akan meminta maaf sebagai bentuk perdamaian. Karena ”acara” permintaan maaf itu batal, para pekerja infotainment pun membawa kasus ini ke polisi. PWI Jaya sendiri, ujar Ilham, memiliki tanggung jawab mendampingi karena pekerja infotainment merupakan anggota PWI. ”Pasal yang dipakai juga arahan polisi,” kata bos acara infotainment Cek dan Ricek, Kroscek, dan Halo Selebriti ini.
Polisi sendiri sampai kini masih mempelajari pengaduan para pekerja infotainment itu. Menurut juru bicara Polda Metro Jaya, Boy Rafli Amar, pihaknya perlu memperdalam alat bukti yang ada, yaitu kutipan Luna di Twitter dan rekaman di F X Plaza. ”Perlu waktu membuktikannya,” kata Boy.
Lembaga Bantuan Hukum Pers yang mendampingi Luna meminta laporan itu dicabut. Menurut Ketua LBH Pers Hendrayana, pasal yang dipakai itu bisa mematikan kebebasan berpendapat. ”Itu pasal karet,” ujarnya. Menurut dia, selain di UU Informasi dan Transaksi Elektronik, pasal karet yang berpotensi mengekang kebebasan berpendapat itu ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, misalnya pasal tentang penghinaan terhadap kepala negara.
Dalam kasus Luna, menurut Hendrayana, subyek hukum dan legal standing-nya tak jelas. ”Luna tak spesifik menyebut nama,” katanya. Menurut anggota Dewan Pers, Leo Batubara, kasus ini cerminan ketidakprofesionalan dua pihak: Luna dan pekerja infotainment. Luna, kata dia, seharusnya mengadu ke Dewan Pers karena jejaring sosial, seperti Twitter, termasuk ranah media. Adapun pekerja infotainment mengabaikan etika jurnalistik. ”Ini soal prinsip, sudah ada salurannya,” ujar Leo.
Luna mengaku tak tahu mekanisme seperti yang disebut Leo Batubara. Hanya, kata dia, kasus yang menimpanya itu setidaknya telah mendorong pemerintah melongok pasal karet UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar mengatakan pasal 27 ayat 3 itu memang pantas dihapuskan. Tahun depan, ujarnya, pemerintah akan mengajukan revisi undang-undang tersebut. ”Terlalu sensitif, sedikit-sedikit pencemaran,” kata Patrialis.
Anton Aprianto, Vennie Melyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo